Pages

Ordered List

Selasa, 05 April 2016

Peran Kepemimpinan Kepala Pemerintah Desa Untuk Mewujudkan Pemerintahan Yang Baik Di Desa Yainuelo Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah



Bergulirnya reformasi membawa angin segar bagi proses demokratisasi di Indonesia. Sebuah rezim yang amat kuat, solid sekaligus juga korup dan sentralistis terpaksa menyudahi perannya sebagai penguasa desa ini. Berarti terbuka sebuah kesempatan emas untuk memulai proses perbaikan di berbagai bidang. Sebagai catatan saja kondisi kita waktu itu adalah kondisi yang amat terpuruk. Tak hanya di bidang ekonomi saja, tapi juga di bidang hukum, birokrasi dan juga moralitas.
Otonomi daerah memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada Daerah. Keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan daerah sangat ditentukan oleh kesiapan dan kemampuan daerah itu sendiri dalam mengelola dan memberdayakan seluruh potensi dan sumberdaya yang tersedia. Masa transisi sistem pemerintahan daerah yang ditandai dengan keluarnya UU No. 22 Tahun 1999 telah membawa beberapa perubahan yang mendasar. Pertama, daerah yang sebelum berlakunya UU No. 22 tahun 1999, hanya memiliki otonomi nyata dan bertanggung jawab saja, dengan berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 menjadi memiliki otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab yang dimiliki oleh pemerintahan daerah perlu adanya aparat birokrasi yang semakin bertanggung jawab pula (Tjokroamidjojo:2001).
Dalam hal otonomi UU No. 32 Tahun 2004, juga mengisyaratkan kepada pemerintah pusat untuk mengakui kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh pemerinta desa agar otonomi ini tetap berjalan dengan baik.Penyempurnaan dalam struktur organisasi juga terjadi.terjadinya peningkatan mutu dan kemampuan aparatur pemerintah desa di bidang administrasi yang tentunya juga akan berpengaruh pada peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum (Dwiyanto, Agus: 2005).
Secara teoritis otonomi daerah akan dapat meningkatkan kualitas pelayanan umum, karena dengan adanya otonomi daerah dapat menciptakan kesetaraan posisi tawar antara pemerintah daerah sebagai penyelenggara jasa pelayanan dengan masyarakat sebagai pengguna jasa.
Keberhasilan organisasi pemerintahan dalam mencapai tujuannya tidak lepas dari peran sumber daya aparatur dalam pengelolaan manajemen organisasi untuk mewujudkan tujuan yang akan dicapai dengan menggerakan fungsi-fungsi yang mencakup fungsi pengorganisasian dan  pengerakan yang transparan dan akuntabel.  Hal menjadi tanggung jawab pimpinan dan staf dalam menyelenggarakan pemerintahan (Dwipayana, Ari dan S. Eko: 2003)
Dengan berlakunya otonomi daerah maka peran pemerintah perlu ditingkatkan, peran kepemimpinan pemerintah di Indonesia diminta untuk berperanan aktif dalam melihat personal mayarakat yang terjadi. Fenomena kepemimpinan peda level desa telah membuktikan bagaimana kepemimpinanberpengaruh sangat besar terhadap kehidupan berpolitik dan bernegara. Dalam dunia organisasi, kepemimpinan berpengaruh sangat kuat terhadap jalannya organisasi dan kelangsungan hidup masyarakat desa.
Kepemimpinan mempunyai fungsi yang harus dilaksanakan secara bersama dalam menjalankan peran sebagai pemimpin sebuah kelompok atau organisasi agar secara operasional berhasil guna. Fungsi tersebut adalah fungsi yang berkaitan dengan tugas dan fungsi sosial atau pemeliharaan kelompok. Fungsi yang berkaitan dengan tugas dapat meliputi pemberian perintah, pendelegasian tugas, pemberian saran pemecahan dan menawarkan informasi serta pendapat. Sedangkan fungsi sosial atau fungsi pemeliharaan kelompok meliputi semua hal yang berkaitan dengan kelompok dalam melaksanakan tugas operasinya untuk mencapai tujuan dan sasaran secara bersama-sama dan atau secara sendiri-sendiri sesuai dengan tugas dan kewajibannya sebagai mata rantai suatu sistem saling membutuhkan (Hening Widiatmoko: 2007).
Pencapain hasil yang baik dalam suatu organisasi kerja, berada pada kunci kepemimpinan. Pemimpin yang baik akan dapat menghasilkan kinerja yang baik, sebaiknya kepemimpinan yang buruk akan menjadikan hambatan yang besar terhadap pencapaian tujuan dari setiap organisasi, termasuk organisasi pemerintahan. Dalam era otonomi yang diwarnai dengan tuntutan reformasi dan demokrasi membuat para pemimpin harus bekerja secara arif dan bijaksana.
Pemimpin sebagain pengambil keputusan dalam organisasi kerja dan setiap keputusan pemimpin akan dilaksanakan oleh para stafnya sesuai dengan tugas dan fungsi dari organisasi yang dipimpinnya dalam rangka pencapaian tujuan. Pengambilan keputusan yang dilakukan setiap pemimpin, diharapkan dapat mengandung unsur-unsur  pemerintahan yang baik (good governance) yang mencakup akuntabel, transparansi, responsive, dan kredibilitas dengan melibatkan staf sebagai mitra yang sekaligus sebagai pelaksana keputusan tersebut.
Tujuan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance),  membuat setiap pemimpin diharapkan dapat berperan aktif dalam pelaksanaan tugas dan fungsi. Tugas untuk melaksanakan kepemimpinan dan fungsi untuk mengawasi dan mengevaluasi hasil kerja staf. Upaya untuk mewujudkan good governance dilaksanakan dari pemerintahan tingkat pusat hingga tingkat desa. Desa merupakan lingkup pemerintahan mikro yang berada dalam pengawasan pemerintahan kecamatan memiliki otoritas untuk menyelenggarakan pemerintahaan dan pembangunan yang berkoordinasi dengan camat dan jajarannya.
Pemerintahan di tingkat desa, menyelenggarakan berbagai kegiatan pelayanan administrasi dan pelayanan masyarakat yang dilaksanakan oleh aparatur pemerintah. Kinerja aparatur didukung oleh sikap, perilaku dan  etos kerja yang diharapkan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan dengan baik. Aplikasi pemerintahan yang baik (good governance) selama ini belum dapat tercapai hasilnya dengan baik dalam penyelengaraan pemerintahan, oleh karena adanya keterbatasan kualitas sumber daya manusia dalam menerapkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik (Moenir: 1997).
Sementara itu perwujudan pemerintahan yang baik telah dikomandangkan di seluruh instansi pemerintah sejak dicetuskannya otonomi daerah untuk memberikan pelayanan yang baik dengan mengutamakan kepentingan masyarakat. Olehnya itu dibutuhkan peranan pemimpin yang mampu melaksanakan dan menyelenggarakan pemerintahan dan bekerja sama dengan para staf yang menjadi rekan kerjanya.
Perwujudan pemerintahan yang baik (good governance) pada tingkat pemerintahan desa merupakan salah satu harapan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya, khususnya kebutuhan masyarakat dalam bidang administrasi dan kemampuan aparatur yang berpendidikan, serta berpengalaman dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya. Desa administrasi Yainuelo merupakan level pemerintahan yang dituntut untuk menyelenggarakan pelayanan kepada masyarakat. Upaya pemerintahan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik di Desa Administratif Yainuelo merupakan bagian penting yang terus diupayakan oleh pemerintah desa, namun kondisi dan kemampuan aparat desa membuat pemimpin harus bekerja keras dalam membina dan mengarahkan serta memotivasi staf dan masyarakatnya.
Dwipayana, A. S  Eko 2003 Mengatakan salah satu aktualisasi nilai dan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik adalah Transparansi. Aparatur dan sistem manajemen publik harus mengembangkan keterbukaan dan sistem akuntabilitas. Bersikap terbuka dan bertanggungjawab untuk mendorong para pimpinan dan seluruh sumber daya manusia di dalamnya berperan dalam mengamalkan dan melembagakan kode etik dimaksud, sehingga dapat menjadikan diri mereka sebagi panutan masyarakat; dan itu dilakukan sebagai bagian dari pelaksanaan tanggungjawab dan pertanggungjawaban kepada masyarakat dan negara. Upaya pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha, peningkatan dan kemitraan, selain: memerlukan keterbukaan birokrasi pemerintah; juga memerlukan langkah-langkah yang tegas dalam mengurangi peraturan dan prosedur yang menghambat kreativitas mereka; memberi kesempatan kepada masyarakat untuk dapat berperan serta dalam proses penyusunan peraturan kebijakan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan. Pemberdayaan dan keterbukaan akan lebih mendorong; akuntabilitas dalam pemanfaatan sumber daya, dan adanya keputusan-keputusan pembangunan yang benar-benar diarahkan sesuai prioritas dan kebutuhan masyarakat, serta dilakukan secara riil dan adil sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakat.
Untuk mengakomodir aspirasi masyarakat yang terus berkembang serta dalam menghadapi perubahan yang terjadi baik dalam lingkungan nasional maupun lingkungan internasional yang secara langsung akan berpengaruh pada roda pemerintahan dan pelaksanaan program pembangunan di negara kita, maka diperlukan adanya suatu pemerintahan kelurahan yang tangguh dan didukung oleh sistem dan mekanisme kerja yang profesional dalam memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Pemerintahan desa harus benar-benar siap dan mampu untuk mengelola setiap potensi yang ada dalam lingkungan masyarakat untuk dapat mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Pemerintah desa juga harus cepat dan tanggap dalam memperhatikan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan warga masyarakatnya. Diharapkan dengan terciptanya pemerintahan kelurahan yang tangguh dan mandiri yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan dapat mewujudkan program-program pembangunan yang terencana secara efektif dan efisien yang pada akhirnya diharapkan dapat mewujudkan cita-cita masyarakat yang adil dan sejahtera
Fenomena penyelenggaraan pemerintahan yang kurang partisipatif, tidak transparan dan tidak akuntabel menyebabkan pelayanan adminsitrasi menjadi tidak efektif, hal ini diperburuk lagi dengan kualitas pendidikan dan keterampilan kerja aparatur pemerintahan desa yang rendah sehingga berdampak pada upaya pencapaian pemerintahan yang baik khusus pelayanan aparatur di Desa Yainuelo.
Pelayanan aparatur di Desa Administratif Yainuelo berlangsung dari pukul 08.00-14.30 WIT, namun staf desa yang bertugas, sering mangkir dari jam kerja bahkan menunda pekerjaan yang pada akhirnya pelayanan masyarakat menjadi tidak efektif dan pelaksanaan tugas tidak produktif. Kenyataan ini memberikan dampak terhadap upaya perwujudan pemerintahan yang baik di Desa Administratif Yainuelo, olehnya itu  dibutuhkan adanya peningkatan peran kepala desa dalam meningkatan kualitas dan kinerja staf sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai.
Tidak transparansi atau keterbukaan pemerintahan administratif Desa Yainuelo dalam membuat kebijakan-kebijakan, sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh masyarakat. Transparansi pada akhirnya akan menciptakan horizontal accountabilility antara pemerintah dengan masyarakat. Ini akan menciptakan pemerintahan yang tidak efektif, efisien, akuntabel, dan responsif terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat.
Fakta yang sangat mencolok sebagai bukti masih lemahnya pemerintahan yang baik (good governance) selama ini adalah Pemerintah Desa Administratif Yainuelo disini berperan dalam perencanaan program pembangunan didaerah harus mampu berkoordinasi dan bekerjasama dengan masyarakat dan mampu menampung segala aspirasi masyakat, agar dapat mengetahui apa yang menjadi kebutuhan masyarakat
Masih banyaknya penyelewengan-penyelewenagn dalam penyelenggaraan pemerintahan di Desa administrasi Yainuelo Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah menunjukkan bahwa kepala desa masih belum melaksanakan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengetahui pelaksanaan pemerintahan yang baik  pada Pemerintahan Desa Administrasi Yainuelo Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah Untuk itu peneliti tertarik untuk mengambil judul penelitian. 
Adapun konsep dasar yang menjadi landasan berpikir penulis dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1.      Teori Kepemimpinan
Dalam bahasa Indonesia “pemimpin” sering disebut penghulu, pemuka, pelopor, pembina, panutan, pembimbing, pengurus, penggerak, ketua, kepala, penuntun, raja, tua-tua, dan sebagainya. Sedangkan istilah Memimpin digunakan dalam konteks hasil penggunaan peran seseorang berkaitan dengan kemampuannya mempengaruhi orang lain dengan berbagai cara.
Istilah pemimpin, kemimpinan, dan memimpin pada mulanya berasal dari kata dasar yang sama “pimpin”. Namun demikian ketiganya digunakan dalam konteks yang berbeda.Pemimpin adalah suatu lakon/peran dalam sistem tertentu; karenanya seseorang dalam peran formal belum tentu memiliki ketrampilan kepemimpinan dan belum tentu mampu memimpin. Istilah Kepemimpinan pada dasarnya berhubungan dengan ketrampilan, kecakapan, dan tingkat pengaruh yang dimiliki seseorang; oleh sebab itu kepemimpinan bisa dimiliki oleh orang yang bukan “pemimpin.Keberhasilan seorang pemimpin ditentukan oleh sifat-sifat, perangai atau ciri-ciri yang dimiliki pemimpin itu.Atas dasar pemikiran tersebut timbul anggapan bahwa untuk menjadi seorang pemimpin yang berhasil, sangat ditentukan oleh kemampuan pribadi pemimpin.Dan kemampuan pribadi yang dimaksud adalah kualitas seseorang dengan berbagai sifat, perangai atau ciri-ciri di dalamnya (Riswanda: 1998).
Salah satu tugas utama dari seorang pemimpin adalah membuat keputusan.karena keputusan yang dilakukan para pemimpin seringkali sangat berdampak kepada para bawahan mereka jelas bahwa komponen utama dari efektifitas pemimpin adalah kemampuan mengambil keputusan yang sangat menentukan keberhasilan yang bersangkutan melaksanakan tugas-tugas pentingnya.pemimpin yang mampu membuat keputusan dengan baik akan lebih efektif dlam jangka panjang dibandingkan dengan mereka yang tidak mampu membuat keputusan dengan baik.
Salah satu teori kepemimpinan adalah “Trait Theory” yang mengidentifikasi karakteristik yang menentukan kepemimpinan yang baik.Karakteristik tersebut bisa mencakup kepribadian, dominasi dan kehadiran pribadi, karisma, kepercayaan diri, pencapaian atau prestasi, atau bisa juga kemampuan untuk memformulasikan visi dengan jelas.Salah satu diskusi yang menarik dari teori ini adalah apakah karakteristik seorang pemimpin tersebut bias gender, misalnya apakah pemimpin itu harus pria, atau sebaliknya, apakah wanita bisa menjadi pemimpin. Pertanyaan lainnya, apakah karakteristik tersebut menjamin bahwa seseorang akan menjadi pemimpin yang baik, apakah seorang pemimpin itu sebatas membuat perubahan saja, serta apakah pemimpin itu dilahirkan atau diciptakan.
Teori yang kedua adalah “Behavioural Theory“ yang secara tersirat menyatakan bahwa seorang pemimpin itu bisa dilatih, yaitu dengan memusatkan pada cara melakukan sesuatu, misalnya tugas, pekerjaan, dan berbagai aktivitas lainnya. Dengan penguasaan cara tersebut maka seseorang bisa mempunyai kemampuan lebih dari orang lain. Akhirnya, orang lain pun bisa mengikuti apa yang anda lakukan. Akhirnya orang yang mempunyai penguasaan tersebut menjadi seorang pemimpin.Fokus itu sendiri terdiri dari dua, yaitu pemimpin fokus terhadap kelembagaan dari pekerjaan secara terstuktur, atau membangun hubungan (relationship) yang berfokus pada proses.Jadi bisa saja ada pemimpin yang lebih mementingkan pekerjaan (walaupun mungkin relasi dengan bawahannya buruk), namun ada juga pemimpin yang lebih menitikberatkan pada relasi yang baik dengan bawahannya dibanding hasil akhir atau tujuan organisasi.Pertanyaan yang manarik adalah, adakah pemimpin yang dapat meraih keduanya, yakni pekerjaan sukses dibarengi dengan relasi yang harmonis dengan bawahan (Muchlas, Mahmuri:1998).
Terori yang ketiga adalah “Contingency Theory”.Menurut teori ini, kepemimpinan bersifat luwes atau fleksibel. Gaya kepemimpinan yang berbeda bisa diterapkan pada waktu yang berbeda tergantung lingkungannya.Dengan demikian, kepemimpinan bukanlah sekumpulan karakteristik yang dapat dialihkan begitu saja dalam konteks yang berbeda. Intinya, seseorang mungkin bisa menjadi otoriter pada lingkungan tertentu, namun berubah menjadi pemimpin yang demokratis pada lingkungan yang lain. Sebagai contoh kasus, apakah seorang bapak rumah tangga akan mempunyai gaya kepemimpinan yang berbeda antara di rumah atau di lingkungan rumahnya dibandingkan ketika menjadi seorang manajer di sebuah perusahaan. Jadi gaya kepemimpinan tersebut bisa berubah tergantung tipe bawahan, sejarah organisasi atau bisnisnya, budaya perusahaan, kualitas hubungan, wujud perubahan yang diinginkan, serta norma-norma yang dianut di perusahaan (Keban, T. Yeremias:1994).
2.      Teori  Good Govermence/Pemerintahan Yang Baik
Istilah “governance atau pemerintahan yang baik” menunjukkan suatu proses di mana rakyat bisa mengatur ekonominya, institusi dan sumber-sumber sosial dan politiknya tidak hanya dipergunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan kohesi, integrasi, dan untuk kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, bahwa kemampuan suatu negara mencapai tujuan negara sangat tergantung pada kualitas tata kepemerintahan di mana pemerintah melakukan interaksi dengan sektor swasta dan masyarakat (Thoha; 2000, 12).
Pemerintahan yang baik adalah suatu kesepakatan menyangkut pengaturan negara yang diciptakan bersama oleh pemerintah, masyarakat madani, dan swasta. Pemerintahan yang baik juga merupakan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola perusahaan), pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak atau kewajiban mereka, atau dengan kata lain suatu system yang mengatur dan mengendalikan perusahaan.
Lembaga Administrasi Negara (2000) medefinisikan pemerintahan yang baik (good governance) sebagai penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif  dengan menjaga “kesinergisan” interaksi yang konstruktif di antara domain-domain negara, sector swasta dan masyarakat (society). Pada tataran ini, pemerintahan yang baik (good governance) berorientasi pada 2 (dua) hal pokok, yakni: Pertama, orientasi ideal negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional. Pada tataran ini, good governance mengacu pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan elemen-elemen konstituennya, seperti legitimacy, accountability, scuring of human right, autonomy and devolution of power dan assurance of civilian control; Kedua, pemerintahan yang berfungsi secara ideal yaitu secara efektif dan efisien dalam melakukan upaya mencapai tujuan nasional. Dalam konteks ini, good governance tergantung pada pada sejauh mana struktur serta mekanisme politik dan administratif berfungsi secara efektif dan efisien.
Dengan jernih Mas’oed menjelaskan, bahwa governance merupakan kegiatan, proses atau kualitas memerintah. Bukan tentang struktur pemerintahan, tetapi kebijakan yang dibuat dan efektivitas penerapan kebijakan. Kebijakan bukan dibuat oleh seorang pemimpin atau satu kelompok, melainkan dari proses konsultasi antara berbagai pihak yang terkena kebijakan.

STKIP GOTONG ROYONG MASOHI




Jumat, 04 Maret 2016

PERBANDINGAN BAHASA NUSANTARA TEORI LINGUISTIK TENTANG BAHASA (MELAYU/NUSANTARA)



           Teori linguistik tentang Tanah Asal Bahasa Austronesia (Linguistic Theoris about Austrenesian Homeland) yang dikemukakan J. Anceaux:
Istilah Austronesia pada awalnya diberikan oleh ahli linguistik untuk menyebut suatu rumpun bahasa yang hampir secara mayoritas dituturkan di Asia Tenggara Kepulauan, Micronesia, Melanesia Kepulauan dan Polynesia. Pada perkembangannya, istilah Austronesia juga digunakan untuk menyebut suatu komunitas yang berbudaya Austronesia serta menuturkan bahasa Austronesia. Perhatian terhadap kajian rumpun bahasa Austronesia dapat dirunut hingga awal abad 16, ketika para pengembara mengumpulkan daftar kosa kata bahasa Austronesia dari tempat-tempat yang mereka kunjungi, seperti misalnya Antonio Pigafetta (seorang berkebangsaan Italia) yang ikut dalam ekspedisi Magellan 1519-1522 (Fox, 2004: 3). Kapten Cornelis de Houtman seorang kapten kapal Belanda yang berlayar menuju Hindia Timur (mendarat di Banten) melalui Madagaskar pada tahun 1596, mengamati berbagai kemiripan antara bahasa Malagasy dan bahasa Melayu (Tanudirjo, 2001:9).
William von Humboldt adalah tokoh yang pertama kali mengajukan istilah “Malayo-Polynesia” untuk menyebut bahasa-bahasa di kawasan Malaya sampai Polynesia yang memiliki kemiripan.
Pada tahun 1889, berdasarkan pada kajian linguistik yang detail dan sistematis, Hendrik Kern membagi rumpun bahasa “Malayo-Polynesia” menjadi bahasa “Malayo Polynesia Barat” yang terdiri dari bahasa-bahasa di Asia Tenggara Kepulauan serta Micronesia bagian barat, dan bahasa “Malayo-Polynesia Timur” yang terdiri dari bahasa-bahasa di Melanesia Kepulauan dan Polynesia. Kemudian pada tahun 1906, Wilhelm Schmidt memperkenalkan terminology “Austronesia”, untuk menyebut bahasa “Malayo-Polynesia”. Selain itu beliau juga mengajukan hipotesis bahwa pada masa lampau di Asia daratan terdapat bahasa “Austric” yang merupakan nenek moyang bahasa Austronesia dan Austroasiatic. Selain itu, di Asia Daratan juga terdapat beberapa rumpun bahasa besar lainnya, antara lain adalah; Indo-Eropa, Sino-Tibetan, Tai-Kadai, Altaic, Korea, dan Hmong Mien. Bahasa Austronesia kemudaian menurunkan bahasa-bahasa di Asia Tenggara Kepulauan dan Pasifik, sedangkan bahasa Austroasiatic berkembang menjadi dua rumpun besar bahasa yaitu; bahasa Mon-Khmer di Indochina dan bahasa Munda di India bagian timur (lihat: Anceaux, 1991:73 serta Blench dan Dendo, 2004: 13).
 Robert von Heine Geldern adalah ahli arkeologi yang pertama kali mengadopsi konsep budaya Austronesia dari para linguist. Beliau berpendapat bahwa luas persebaran budaya Austronesia ditunjukkan dengan persebaran kompleks budaya Vierkantbeil Adze, dengan ciri utamanya adalah kehadiran beliung berpenampang lintang persegi. Roger Duff kemudian melakukan kajian berdasarkan hasil penelitian Geldern. Beliau melakukan klasifikasi tipologi beliung persegi berdasarkan bentuk irisan, bentuk tajaman dan bentuk pangkal (Duff, 1970:8). Akhirnya Duff sampai pada kesimpulan bahwa persebaran komunitas Austronesia di Kepulauan Indonesia (kecuali Papua) yang didukung dengan pola subsistensi pertanian berasal dari Semenanjung Malaya bagian selatan. Hal tersebut tercermin oleh persebaran beliung paruh (Malayan Beacked Adze) dan belincung (Indonesian Pick Adze) (Duff, 1970:14). Ahli lainnya adalah Wilhelm G. Solheim II yang mengajukan teori bahwa wilayah geografis persebaran gerabah Sa-Huynh dan Kalanay di Asia Tenggara Kepulauan dan Lapita di Melanesia bagian barat memiliki hubungan dengan persebaran orang Austronesia. Namun, beliau mengajukan istilah Nusantara untuk menyebut kelompok orang Austronesia dan budayanya tersebut.
Persebaran Austronesia Sangat mengagumkan melihat persebaran rumpun bahasa Austronesia yang dituturkan pada hampir seluruh kawasan kepulauan Indo-Pasifik. Banyak ahli yang berpendapat bahwa persebaran rumpun bahasa Austronesia yang luas disebabkan oleh proses ekspansi komunitas penutur rumpun bahasa tersebut ke luar dari daerah asalnya. Hendrik Kern mencoba untuk mencari daerah asal persebaran bahasa Austronesia menggunakan metode pemilihan kosa kata sebagai bentuk bahasa Austronesia purba dari kosa kata yang maknanya bersangkutan dengan unsur-unsur flora, fauna dan lingkungan geografis. Hasil kajian tersebut membawa beliau pada suatu kesimpulan bahwa tanah asal nenek moyang rumpun bahasa Austronesia terletak di suatu pantai daerah tropis (Anceaux, 1991: 74-75, Blust, 1984-1985:47-49).
Robert Blust (1984-1985) seorang linguist, berusaha menyusun silsilah kekerabatan bahasa Austronesia dengan menggunakan metode “Wirter und Sachen Technique”, yaitu dengan menggunakan kosa kata sebagai dasar untuk menyimpulkan berbagai referensi yang diketahui oleh penutur bahasa yang direkonstruksi. Kosa kata tersebut juga digunakan sebagai dasar untuk merekonstruksi budaya dan lingkungan alam penutur bahasa yang direkonstruksi. Hasil reksonstruksi Blust adalah; nenek moyang bahasa Austronesia dituturkan di sekitar daerah yang tidak jauh dari Pulau Taiwan (Formosa) pada kurun sebelum 4.500 SM. Kemudian bahasa tersebut memisahkan diri menjadi bahasa Austronesia Formosa (Atayal, Tsou dan Paiwan) dan Proto Melayu-Polynesia (seluruh bahasa Austronesia di luar Taiwan) pada 4.500 SM. Melayu-Polynesia kemudian berkembang menjadi Melayu-Polynesia Barat dan Melayu-Polynesia Timur-Tengah pada 3.500 SM. Pada 3.000 SM, bahasa Melayu-Polynesia Barat berkembang menjadi bahasa-bahasa Austronesia di kawasan antara Filipina Selatan, Sumbawa bagian Barat dan Sumatra, sedangkan Melayu-Polynesia Timur-Tengah berkembang menjadi Melayu-Polynesia Tengah dan Melayu Polynesia Timur.
Akhirnya, pada 2.500 SM bahasa Melayu-Polynesia Timur berkembang menjadi bahasa Halmahera Selatan-Nugini Barat dan bahasa Oseania. Silsilah Rumpun Bahasa Austronesia (Blust, 1978) Saat ini berkembang beberapa teori persebaran Austronesia yang diajukan oleh para ahli dari berbagai sudut pandang yang berbeda, diantaranya adalah; The Express Train from Taiwan to Polynesia (Bellwood), The Taiwan Homeland concept (Reed), Island Southeast Asia Origin (Solheim), From South America via Kon Tiki (Heyerdahl), An Entangled Bank (Terrell), The Geneflow Model (Devlin), The Genetic Bottleneck in Polynesia (Flint), The Eden in the East concept (Oppenheimer), Voyaging Corridor Triple I account (Green) (lihat Chambers, 2006:303). Berdasarkan beberapa teori yang berkembang tersebut, pada intinya terdapat tiga kubu model persebaran Austronesia yang berbeda, yaitu; (1) Austronesia berasal dari Pulau Taiwan, (2) Austronesia berasal dari dari kawasan Asia Tenggara Kepulauan dan (3) Austronesia berasal dari dari kawasan Melanesia.
Diantara beberapa teori tersebut, salah satunya yang terkuat dan mendapat banyak dukungan dari berbagai sudut pandang keilmuan adalah model yang diajukan oleh Bellwood. Beliau menyarankan bahwa Austronesia berasal dari Taiwan dan Pantai Cina bagian selatan. Kawasan tersebut oleh berberapa ahli linguistik dianggap sebagai tempat asal bahasa proto-Austronesia. Disamping itu, secara arkeologis daerah tersebut menghasilkan bukti pola subsistensi bercocok tanam dan aspek budaya Austronesia lainnya yang paling tua di kawasan ini berupa beliung persegi dan gerabah, seperti yang ditemukan di situs Hemudu di Teluk Hangzou, Propinsi Zhejiang yang berumur 7000 tahun (Bellwood, 1995:97-98). Kolonisasi Austronesia di Jawa Pulau Jawa merupakan salah satu pulau yang paling padat penduduknya di Kepulauan Nusantara. Dari sudut pandang genetik dan linguisik, pada saat ini mayoritas penduduk Pulau Jawa adalah masyarakat dengan ciri genetik Mongoloid serta menuturkan bahasa yang termasuk dalam rumpun Austronesia. Sampai saat ini, penjelasan yang paling luas diterima bagi kasus penyebaran masyarakat penutur bahasa Austronesia adalah Blust-Bellwood model yang dibangun berdasarkan gabungan antara data linguistic historis dan arkeologi. Teori yang diajukan mereka disebut juga model Out of Taiwan atau Express Train from Taiwan to Polynesia yang intinya bahwa masyarakat penutur bahasa Austronesia berekspansi dari Taiwan sejak 5.000 BP menuju Asia Tenggara Kepulauan, Melanesia Kepulauan, Micronesia hingga Polynesia, dengan cepat selama satu millennium berikutnya via Filipina.
Pada masa sebelumnya, Taiwan dikoloni oleh sekelompok populasi petani dari daratan Cina Selatan via Pulau Peng Hu (Pascadores) pada sekitar 6.000 BP akibat tekanan demografi (Tanudirjo, 2006: 87). Persebaran Geografis Bahasa Austronesia (Diamond, 2000) Berdasarkan kajian linguistik, Robert Blust (1984/1985) berpendapat bahwa kelompok bahasa Jawa-Bali-Sasak memiliki hubungan yang erat dengan kelompok bahasa Malayo-Chamic dan Bahasa Barito di Kalimantan Selatan (termasuk Madagaskar). Beliau menduga bahwa proto kelompok bahasa-bahasa tersebut dituturkan di bagian tenggara Kalimantan pada periode 1000-1500 SM.
Kemudian mengalami pemisahan yang pertama menjadi nenek moyang Bahasa Barito, Bahasa Malayo-Chamic dan Bahasa Jawa-Bali-Sasak. Proses pemisahan berikutnya yang dialami oleh proto bahasa-bahasa tersebut terjadi pada 800-1000 SM. Namun proses pembentukan proto bahasa Jawa, Bali, Sasak dan Sumbawa bagian barat baru terjadi pada 2500 tahun terakhir yang kemungkinan berasal dari suatu daerah di Borneo atau Sumatra. Beberapa Permasalahan Berdasarkan kajian arkeologi, paket budaya neolitik yang dapat diasosiasikan dengan penyebaran komunitas Austronesia awal dari Taiwan antara lain adalah; pertanian padi-padian, domestikasi anjing dan babi, gerabah berdasar membulat berhias slip merah, cap, gores dan tera tali dengan bibir melipat ke luar, kumparan penggulung benang dari tanah liat, beliung batu dengan potongan lintang persegi empat yang diasah, artefak dari batu sabak (lancipan) dan nephrite (aksesoris), batu pemukul kulit kayu, serta batu pemberat jala.
Beberapa dari kategori tersebut, terutama gerabah slip merah berlanjut hingga Indonesia timur kemudian menuju Oseania dalam bentuk komplek budaya Lapita (3.350-2.800 BP) (lihat: Bellwood, 2000: 313 dan 2006: 68). Namun, bukti arkeologis tersebut di atas yang dapat digunakan untuk menguji hipotesis linguistik Blust masih sangat terbatas ditemukan di Pulau Jawa, sehingga proses awal penghunian pulau ini oleh masyarakat neolitik penutur bahasa Austronesia sampai sekarang masih menjadi misteri. Data arkeologis yang mengindikasikan adanya kolonisasi Austronesia di Jawa adalah persebaran berbagai macam tipologi beliung persegi yang telah dicatat oleh H.R van Heekeren (1974), antara lain dari daerah; Banten, Kelapa Dua, Pejaten, Kampung Keramat, dan Buni (Jakarta dan Tangerang), Pasir Kuda (Bogor), Cibadak, Cirebon, Tasikmalaya (Priangan), Pekalongan, Gunung Karangbolang (Banyumas), Semarang, Yogyakarta, Punung dan Wonogiri, Madiung, Surabaya, Madura, Malang, Kendeng Lembu dan Pager Gunung (Besuki). Namun sayangnya, sebagian besar dari temuan tersebut berasal dari laporan penduduk dan situs yang tidak jelas asalusulnya, kecuali beberapa situs yang saat ini telah di teliti secara intensif seperti misalnya Punung. Bukti arkeologis yang langsung dapat digunakan untuk mendukung hipotesis linguistik masih sangat sedikit yang ditemukan, sehingga proses awal penghunian Pulau Jawa oleh masyarakat penutur bahasa Austronesia sampai saat ini masih menjadi misteri.
Proses transformasi data arkeologi berpengaruh sangat besar bagi proses pembentukan dan ditemukannya bukti-bukti arkeologis tersebut. Mungkin keadaannya pada saat ini situs-situs neolitik awal di pantai utara Pulau Jawa telah terkubur beberapa meter di bawah endapan aluvial, sehingga sukar untuk ditemukan dan diteliti (Bellwood, 2000: 337). Hal tersebut disebabkan karena di pulau Jawa terdapat beberapa sungai besar yang bermuara ke pantai utara, antara lain adalah; Sungai Cisadane, Sungai Ciliwung dan Sungai Citarum di bagian barat, Sungai Kuto, Sungai Tuntang, dan Sungai Lusi di bagian Tengah, serta Sungai Bengawan Solo dan Sungai Brantas yang mengalir ke timur dan bermuara di Selat Madura. Permasalahan yang serupa mungkin juga terjadi pada situs-situs di pantai timur Sumatra yang diperkirakan menjadi lokasi pendaratan Austronesia di pulau tersebut.
Prospek Penelitian Untuk menyiasati permasalahan belum banyaknya bukti arkeologis akibat proses transformasi tersebut, maka harus dicari situs-situs di kawasan yang diperkirakan selamat dari proses pengendapan yang cepat oleh material alluvial kegiatan vulkanik beberapa gunung berapi yang dimulai sejak Jaman Kuarter. Data geologi dan geomorfologi memiliki peran yang sangat penting dalam hal ini. Selain itu juga perlu diperhatikan perubahan tinggi muka air laut pada masa lampau. Berdasarkan pada indicator biogenic dan inorganic untuk merekonstruksi muka air laut pada masa lampau, dapat dikatahui bahwa di Semenanjung Malaysia dan Thailand yang gerak tektoniknya stabil, muka air laut lebih tinggi 5 meter dari muka air laut sekarang yang terjadi pada 5.000 BP (lihat: Tjia, 2006). Jika hal ini juga terjadi di pantai utara Jawa, maka situs-situs pendaratan Austronesia antara 3.000-2.500 BP harus dicari pada kawasan pantai yang konturnya lebih tinggi dari 3-4 meter di atas permukaan laut saat ini. Berdasarkan pada persyaratan tersebut di atas, maka beberapa kawasan pantai utara Pulau Jawa bagian tengah dan timur yang memiliki potensi sebagai lokasi pendaratan Austronesia adalah pantai-pantai di sepanjang Semenanjung Blambangan, Tuban, Semarang dan Batang.
Oleh karena itu, harus dicari situs permukiman neolitik terbuka di sekitar kawasan pantai-pantai tersebut. Metode pencarian data dari bidang keilmuan lain mungkin sangat membantu dalam hal ini, seperti geoelektrik misalnya yang berguna untuk membantu menemukan garis pantai masa lampau sesuai dengan kronologi yang diinginkan (3.000-2.500 BP untuk awal pendaratan Austronesia di Pulau Jawa berdasarkan hipotesis linguistik). Punung Purbalingga, Kendenglembu Kondisi Geomorfologi Pulau Jawa, dan Hipotesis pendaratan Austronesia Mahirta (2006) mengembangkan beberapa model migrasi-kolonisasi yang diajukan oleh Moore untuk diujikan pada kasus persebaran Austronesia. Beliau berpendapat bahwa di Kepulauan Indonesia bagian timur terdapat dua macam pola permukiman prasejarah Austronesia, yaitu (1) permukiman tersebar di sepanjang pantai jika mengkoloni pulau yang tidak terlalu besar, seperti misalnya Pulau Kayoa dan Pulau Gebe di Maluku Utara dan (2) permukiman berkembang memanjang ke pedalaman sejajar dengan alur sungai, seperti misalnya situs-situs Kalumpang di Sulawesi Barat dan permukiman tradisional etnis Dayak di Kalimantan yang masih bisa kita saksikan hingga saat ini (lihat: Mahirta, 2006).
 Sebagai referensi lainnya, pada situs-situs Austronesia awal di Cina daratan dan Taiwan, rupa-rupanya telah dikenal sistem pemukiman menetap, dan berkelompok di tempat terbuka dalam bentuk perkampungan. Situs-situs pemukiman rumah panggung antara lain terdapat di Xitou, Kequitou dan Tanshishan di Fujian, situs Hemudu di Zhejiang dan di Guangdong. Situs-situs tersebut berumur 5200 dan 4200 SM. Rumah-rumah tersebut berdenah persegi yang dibangun dengan teknik lubang dan pasak yang amat rapi dan didirikan di atas deretan tumpukan kayu kecil. Kemudian pada masa selanjutnya muncul situs desa seluas 40-80 hektar di Peinan yang bertarik 1500 dan 800 SM. Situs rumah panggung juga terdapat di Feng pi tou di Taiwan yang dihuni 2500-500 SM dan situs Dimolit di Luzon utara, yang dihuni 2500-1500 SM (Bellwood, 2000: hlm. 309, 315, 319, dan 323). Di Pasifik, pola permukiman budaya Lapita pada umumnya terdiri atas beberapa rumah panggung yang berada di pinggir pantai atau pulau kecil diseberangnya, seperti di Kepulauan Mussau dengan luas 7 hektar. Indikasi mengenai situs tersebut biasanya ditandai dengan sebaran pecahan gerabah, tungku dari tanah, dan bekas perapian (Spriggs, 1995: 118).
Berdasarkan data linguistik, kosa kata Austronesia mengenai rumah dan unsurunsurnya permukiman lainnya ditemukan di seluruh kawasan barat dan timur persebaran bahasa ini. Bahkan kata *Rumaq (Ind. Rumah) telah muncul sejak awal perkembangan bahasa Austronesia di Taiwan (Blust, 1984-1985: 220). Sedangkan berdasarkan bukti etnografi, sampai saat ini sistem permukiman terbuka tradisional dengan rumah panggung masih banyak ditemukan pada masyarakat tradisional Austronesia, seperti: Rumah Gadang (Minangkabau), Lamin (Dayak), Tongkonan (Toraja). Implikasi Banyak situs permukiman neolitik telah ditemukan di Indonesia, dan beberapa diantaranya telah dilakukan penelitian secara intensif, seperti misalnya; Tipar Ponjen, Purbalingga (1.180-870 BP), Nangabalang, Kalimantan Barat (2.871 BP), Minanga Sipakko, Sulawesi Barat (2.570 BP) dan Punung, Pacitan (2.100-1.100 BP) (Simanjuntak, 2002). Namun dari beberapa situs tersebut hanya Situs Kendenglembu di Pulau Jawa, yang merupakan satu di antara dua (yang baru ditemukan) kompleks situs permukiman pure (murni) neolitik di Indonesia berdasarkan kerangka kronologi (bukan tradisi).
Situs sejenis lainnya adalah situs-situs di sepanjang Sungai Karama, Kalumpang di Sulawesi Barat, mulai dari Tasiu, Sikendeng dan Lattibung di hilir hingga Minanga Sipakko, Kamassi dan Tambing-tambing di hulu (lihat: Simanjuntak 2006). Namun, berbeda dengan situs-situs Kalumpang yang terletak di sepanjang Sungai Karama dari hilir hingga hulu, Situs Kendenglembu merupakan situs pedalaman di selatan Jawa bagian timur yang kelihatannya tidak memiliki akses sungai menuju ke pantai utara Jawa, tempat diperkirakannya awal pendaratan Austronesia di pulau ini. Walaupun demikian, melihat perkembangan yang cukup signifikan dari hasil penelitian Situs Kalumpang, maka perlu juga dilakukan penelitian secara sistematis di Situs Kendenglembu dan eksplorasi situs-situs permukiman terbuka neolitik lainnya di pantai utara, yang diperkirakan merupakan situs koloni awal (pendaratan) Austronesia di Pulau Jawa, sebagai cikal bakal atau nenek moyang etnis Jawa di pulau ini.