Pages

Jumat, 26 Februari 2016

PROBLEMATIKA SISTEM PENDIDIKAN DAN ISU-ISU PENDIDIKAN KARAKTER TERKINI




A.  Latar Belakang
Peran pendidikan sangat penting dalam kehidupan manusia bahkan tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan proses kehidupan manusia. Dengan kata lain, kebutuhan manusia terhadap pendidikan bersifat mutlak dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat, bangsa dan negara. Jika sistem  pendidikanya berfungsi secara optimal maka akan tercapai kemajuan yang dicita-citakanya sebaliknya bila proses pendidikan yang dijalankan tidak berjalan secara baik maka tidak dapat mencapai kemajun yang dicita-citakan.
Betapapun terdapat banyak kritik yang dilancarkan oleh berbagai kalangan terhadap pendidikan, atau tepatnya terhadap praktek pendidikan, namun hampir semua pihak sepakat bahwa nasib suatu komunitas atau suatu bangsa di masa depan sangat bergantung pada kontibusinya pendidikan. misalnya sangat yakin bahwa pendidikanlah yang dapat memberikan kontribusi pada kebudayaan di hari esok. Pendapat yang sama juga bisa kita baca dalam penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional (UU No. 20/2003), yang antara lain menyatakan: Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat”. Namun didalam dunia pendidikan sendiri banyak masalah-masalah pendidikan yang dihadapi di era globalisasi ini. Baik itu masalah yang bersifat internal maupun eksternal.
Makalah ini berusaha mengidentifikasi dan memahami permasalahan-permasalahan pendidikan. Perlu pula dikemukakan bahwa permasalah pendidikan yang diuraikan dalam makalah ini terbatas pada permasalahan pendidikan formal. Namun sebelum menguraikan permasalahan pendidikan islam di era globalisasi, terlebih dahulu disajikan uraian singkat tentang fungsi pendidikan. Uraian yang disebut terakhir ini dianggap penting, karena permasalahan pendidikan pada hakekatnya terkait erat dengan realisasi fungsi pendidikan
Indonesia merupakan negara yang mutu pendidikannya masih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain bahkan sesama anggota negara ASEAN pun kualita SDM bangsa Indonesia masuk dalam peringkat yang paling rendah. Hal ini terjadi karena pendidikan di Indonesia belum dapat berfungsi secara maksimal. Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia harus segera diperbaiki agar mampu melahirkan generasi yang memiliki keunggulan dalam berbagai bidang supaya bangsa Indonesia dapat bersaing dengan bangsa lain dan agar tidak semakin tertinggal karena arus global yang berjalan cepat.
Untuk memperbaiki pendidikan di Indonesia diperlukan sistem pendidikan yang responsif terhadap perubahan dan tuntutan zaman. Perbaikan itu dilakukan mulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Oleh karena itu, bangsa Indonesia harus menggunakan sistem pendidikan dan pola kebijakan yang sesuai dengan keadaan Indonesia.
Masa depan suatu bangsa sangat tergantung pada mutu sumber daya manusianya dan kemampuan peserta didiknya untuk menguasai ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Hal tersebut dapat kita wujudkan melalui pendidikan dalam keluarga, pendidikan masyarakat maupun pendidikan sekolah.
Saat ini pendidikan sekolah wajib di terima oleh seluruh masyarakat Indonesia, karena dengan mengenyam pendidikan kita dapat mengikuti arus global dan dapat mengejar ketertinggalan kita dari bangsa lain. Namun dalam kenyataannya sekarang ini masih banyak orang yang belum dapat mengenyam pendidikan sekolah karena faktor ekonomi. Akan tetapi di dalam era global ini, hal tersebut tidak boleh terjadi karena akan menghambat perkembangan SDM dan bangsa pada umumnya. Maka dari itu, pemerintah Indonesia harus mengambil kebijakan yang dapat mengatasi masalah tersebut.

B.   Sistem Pendidikan yang di Anut di Indonesia
            Indonesia sekarang menganut sistem pendidikan nasional. Namun, sistem pendidikan nasional masih belum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Ada beberapa sistem di Indonesia yang telah dilaksanakan, di antaranya:
1.      Sistem Pendidikan Indonesia yang berorientasi pada nilai.
Sistem pendidikan ini telah diterapkan sejak sekolah dasar. Disini peserta didik diberi pengajaran kejujuran, tenggang rasa, kedisiplinan, dsb. Nilai ini disampaikan melalui pelajaran Pkn, bahkan nilai ini juga disampaikan di tingkat pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.
2.      Indonesia menganut sistem pendidikan terbuka.
Menurut sistem pendidikan ini, peserta didik di tuntut untuk dapat bersaing dengan teman, berfikir kreatif dan inovatif
3.      Sistem pendidikan beragam.
Di Indonesia terdiri dari beragam suku, bahasa, daerah, budaya, dll. Serta pendidikan Indonesia yang terdiri dari pendidikan formal, non-formal dan informal.
4.      Sistem pendidikan yang efisien dalam pengelolaan waktu.
Di dalam KBM, waktu di atur sedemikian rupa agar peserta didik tidak merasa terbebani dengan materi pelajaran yang disampaikan karena waktunya terlalu singkat atau sebaliknya.
5.      Sistem pendidikan yang disesuaikan dengan perubahan zaman.
Dalam sistem ini, bangsa Indonesia harus menyesuaikan kurikulum dengan keadaan saat ini. Oleh karena itu, kurikulum di Indonesia sering mengalami perubahan / pergantian dari waktu ke waktu, hingga sekarang Indonesia menggunakan kurikulum KTSP.

C.  Problem di Bidang Pendidikan
     Problem yang dihadapi bangsa Indonesia di bidang pendidikan mencakup tiga pokok proble, yaitu: 
a.      Pemerataan Pendidikan
Saat ini bangsa Indonesia masih mengalami di bidang pemerataan pendidikan. Hal tersebut dikarenakan pendidikan di Indonesia hanya dapat dirasakan oleh kaum menengah ke atas. Agar pendidikan di Indonesia tidak semakin terpuruk, maka pemerintah harus mengambil kebijakan yang tepat. Misalnya, adanya kebijakan wajib belajar 9 tahun. Kebijakan ini dilaksanakan dari mulai bangku SD hingga SMP. Pemerintah membuat kebijakan dengan meratakan tenaga pendidik di setiap daerah.
b.      Biaya pendidikan
Keadaan ekonomi Indonesia yang semakin terpuruk berdampak pula pada pendidikan di Indonesia. Banyak sekali anak yang tidak dapat mengenyam pendidikan karena biaya pendidikan yang mahal. Maka dari itu,  agar bangsa Indonesia tidak semakin terbelakang, Pemerintah mulai mengeluarkan dana BOS, yang diberikan kepada peserta didik di SD dan SMP. Hal tersebut dilakukan dengan membebaskan biaya SPP atau membuat kebijakan free-school bagi pendidikan dasar. Dengan dikeluarkan kebijakan tersebut, di harapkan semua pendidikan dapat dirasakan di semua kalangan masyarakat Indonesia.
c.       Kualitas Pendidikan
Selain kedua masalah tersebut, permasalahan yang paling mendasar adalah masalah mutu pendidikan. Karena sekarang ini pendidikan kita masih jauh tertinggal jika di bandingkan dengan negara-negara lain. Hal tersebut di buktikan dengan banyaknya tenaga pendidik yang mengajar namun tidak sesuai dengan bidangnya. Selain itu, tingkat kejujuran dan kedisiplinan peserta didik masih rendah. Contohnya: dengan adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan saat mengikuti Ujian Nasional peserta didik cenderung pilih mendapat jawaban secara instan, misalnya dengan membeli jawaban soal UN. Oleh karena itu, mutu pendidikan harus diperbaiki, maka pemerintah membuat kebijakan yang berupa peningkatan mutu pendidik. Yang dilakukan dengan cara mengevaluasi ulang tenaga pendidik agar sesuai dengan syarat untuk menjadi pendidik. Selain itu, pemerintah harus meningkatkan sarana dan prasarana, misalnya memperbaiki fasilitas gedung, memperbanyak buku.
            Pendidikan sangat penting pengaruhnya bagi suatu bangsa. Tanpa adanya pendidikan, maka bangsa tersbut akan tertinggal dari bangsa lain. Sepeti halnya juga bangsa Indonesia, pendidikan merupakan salah satu upaya yang dibutuhkan untuk mengejar ketertinggalan dari bangsa lain khususnya bangsa-banga ASEAN. Maka pendidikan Indonesia harus diperbaiki, baik dari segi sistem pendidikan maupun sarana prasarana.
Indonesia terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Saat ini pemerintah mulai memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia dengan membuat berbagai kebijakan dan merubah sistemnya. Pendidikan Indonesia saat ini menggunakan sistem nasional yang meliputi sistem terbuka, sistem yang berorientasi pada nilai, sistem pendidikan yang beragam, sistem pendidikan yang disesuaikan dengan perubahan zaman dan sistem pendidikan yang efektif dan efisien. Untuk menjalankan sistem tersebut, pemerintah mengeluarkan sistem wajib belajar 9 tahun yang ditujukan untuk peserta didik SD dan SMP, adanya free-school. Perubahan kurikulum dari waktu ke waktu yang disesuaikan dengan keadaan pendidikan sekarang, memperbaiki sarana-prasarana, mengevaluasi kinerja tenaga pendidik dll. Dengan adanya upaya pendidikan di Indonesia dapat lebih baik agar bangsa Indonesia dapat mengimbangi negara lain terutama negara-negara ASEAN.

D.      Kemadegkan Mutu Pendidikan Nasional
Dalam berbagai kesempatan, hasil dari proses sistem pendidikan yang tengah dijalankan oleh Bangsa Indonesia masih jauh dari harapan. Secara garis besarnya, fenomena itu di karena dua faktor utama yang mempengaruhi. Dua faktor itu selanjutnya berbias kepada sistem yang lain di bidang pendidikan. Dua faktor utama itu adalah; pertama dominasi pengaruh politik di Indonesia atas sistem pendidikan, kedua kekaburan orientasi.
Pertama dominasi pengaruh politik yang masuk sampai pada wilayah pendidikan. Diakui bersama bahwa pendidikan merupakan wilayah pemberdayaan. Pemberdayaan bagi anak-anak Bangsa yang akan memimpin dan mengisi pembangunan negeri ini secara baik. Apabila wilayah pendidikan sudah dimasuki “virus-virus” politis, maka hasilnya akan menjadi naif bagi perkembangan bangsa Indonesia khususnya bidang pendidikan. Berbagai temuan kasus dijumpai secara eksplisit pada ujung-ujungnya adalah dominannya praktik-praktik politik atau kepentingan dalam dunia pendidikan.
Mengkaji tentang praktik politik adalah berbicara pada wilayah kekuasaan. Sementara, sangat mengenaskan apabila kekuasaan di dapat dari jerih payah “biaya politik”. Kekuasaan yang diperoleh dari biaya tidak jauh beda dengan rumusan ekonomi, yakni mendapat keuntungan besar dengan modal yang sedikit. Selanjutnya pertanyaan akhir adalah bagaimana mengembalikan biaya (baca: modal) dan keuntungan yang didapat ketika ada di kekuasaan. Untuk itu wajar bahwa kasus pemberantasan korupsi di Indonesia sulit di cegah. Bahkan berdasarkan hasil survei harian Kompas tanggal 17 November 2005 negara Indonesia masuk peringkat ke-6 dari 159 negara yang tersurvei. Ini menunjukkan budaya korupsi berjamaah masih mengakar kuat di negeri Indonesia. Demikian juga, wacana bagi-bagi kekuasaan pun menjadi sebuah kewajaran.
Apabila fenomena tersebut tetap terpelihara dengan baik, maka sikap profesionalitas pemimpin sulit diwujudkan. Karena perwujudan profesionalitas pemimpin merupakan indikator dari bentuk akuntabilitas publik. Bagaimana publik mampu bersikap akuntabel bila sikap profesionalisme tidak dimiliki? Dari pertanyaan itu, kemudian memunculkan faktor kedua, yakni kekaburan orientasi.
Orientasi pendidikan yang secara konstitusinya dibuat seideal mungkin tercoreng akibat praktek-praktek korupsi, kolusi atau bagi-bagi kekuasaan. Kenyataan itu pada dasarnya merugikan publik. Bagaimana tidak! Syarat para penguasa atau pemimpin diterima oleh banyak kalangan adalah berangkat dari bentuk-bentuk kompromistis belaka. Selanjutnya, kualitas dan idealitas di keduakan atau bahkan tertelantarkan sama sekali. Yang tepenting adalah mengakomodir semua kelompok tanpa di pertimbangkan profesionalitas. Akibatnya, kualitas dan idealitas terabaikan demi kepentingan kekuasan.
Fenomena tersebut merupakan problem Bangsa Indonesia yang menjadikan mutu pendidikan sulit untuk diwujudkan. Namun upaya demikian bisa teratasi dengan baik apabila muncul dari kesadaran kolektif. Kesadaran kolektif dari berbagai elemen masyarakat. Dan kesadaran itu diperoleh melalui berbagai usaha dan fasilitas yang memungkinkan terbangunnya sebuah kesadaran kolektif itu sendiri
Disamping harapan besar yang ada tersebut perlu juga diiringi dengan penerapan sistem aturan yang tegas. Penegasan aturan diharapkan dari embrio demokratisasi yang sudah mengejala di negeri ini. Dengan budaya demokratisasi minimal akan memunculkan sikap keterbukaan, keteraturan dan mengarah kepada tercapainya cita-cita bersama, yakni kemanusiaan, keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Potensi ini merupakan modal untuk mewujudkan mutu pendidikan yang lebih baik dari hari sebelumnya.

E.  Akar Sistem Pendidikan Dua Atap
Dalam konstelasinya, akar masalah terdapatnya dua sistem lembaga pendidikan di negeri Indonesia, yakni yang pertama adalah lembaga pendidikan yang berbasis pengetahuan agama (Islam) dan kedua lembaga pendidikan yang berbasis pengetahuan umum. Kedua sistem lembaga pendidikan itu menjadi perhatian karena keduanya telah eksis sejak masa penjajahan sampai masa kemerdekaan hingga saat ini tetap terpelihara dengan baik. Oleh karenanya bila diruntut sejarah terjadinya sistem pendidikan dua atap di Indonesia sudah terjadi sejak jaman sejarah Indonesia merintis kemerdekaannya.
Bangsa Belanda yang menjajah Bangsa Indonesia selama hampir + 350 tahun ingin menanamkan pengaruhnya melalui jalur pendidikan yang berakar dari masyarakat setempat. Dalam kenyataannya, masyarakat setempat khususnya di pulau Jawa telah berkembang suatu sistem pendidikan agama Islam. Materi belajarnya pun berorientasi pada pemahaman tentang agama Islam. Sumber literaturnya pun mengunakan bahasa arab, demikian juga cara menulisnya menurut Belanda menggunakan tulisan arab. Realitas demikian, pemerintah Belanda mengansumsikan bahwa pendidikan itu tidak sesuai dengan masyarakat pribumi (baca: Indonesia). Karena, Belanda menganggap sistem pendidikan yang dilakukan bukan berasal dari masyarakat Indonesia tetapi berasal dari negara Arab. Bangsa Arab berbeda secara geotafis maupun secara kultur.
Berdasarkan hasil pengamatan atas pelaksanaan pendidikan yang ada di masyarakat, pemerintah Belanda menginginkan suatu sistem pendidikan yang sesuai dengan keadaan masyarakat apa adanya. Persepsi tentang pendidikan yang sesuai dengan keadaan masyarakat apa adanya adalah sesuatu itu didasarkan kebutuhan pribumi murni, secara teratur dan disesuaikan dengan konteks masyarakat desa. Sehingga dalam kenyataannya, beberapa kali pendidikan agama Islam sudah melembaga di tengah masyarakat Indonesia yang ada diusulkan untuk dikembangkan selalu ditolak oleh pemerintah kolonial Belanda.
Pengembangan lembaga pendidikan yang ada agar, dapat dimanfaatkan terkait kebijakan mengenai pendidikan sesuai dengan orientasi pemerintah Koloni Belanda di perwakilan Indonesia.
Kenyataannya pemerintah Koloni Belanda selalu memilih jalan lain dari pada menyesuaikan diri dengan pendidikan Islam. J.A. Van der Chijs, inspektur Pendidikan Kolonial Belanda pertama di Indonesia dan beberapa orang pembantunya menilai tradisi dikdaktis pendidikan Islam terlalu rendah dan tidak berguna apabila dikembangkan. Sejalan dengan penilaian itu, Menteri Pendidikan Kolonial Belanda menolak memberi subsidi kepada sekolah-sekolah Islam di Indonesia. Alasan itu didasarkan atas pertimbangan bahwa Pemerintah Kolonial Belanda tidak ingin mengorbankan uang negara untuk keperluan yang tidak ada kejelasan manfaatnya bagi negara.
Berdasarkan atas pertimbangan tersebut, pemerintah Kolonial Belanda mendirikan pendidikan bagi masyarakat Indonesia yang disebut Sekolah Desa. Lembaga pendidikan yang disebut dengan nama Sekolah Desa, kemudian menjadi embrio lembaga pendidikan umum yang saat ini dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional. Sejalan dengan berkembangnya Sekolah Desa, tidak ketinggalan pula sistem pendidikan Islam yang berbasis di masyarakat pedesaan berkembang atas swadaya masyarakat. Karena sifatnya swadaya, maka kebanyakan lembaga ini mengabaikan atau bahkan tidak memiliki jalur hubungan dengan Pemerintah Kolonial Belanda pada waktu itu. Sikap seperti itu digambarkan oleh Karel A. Steenbrink merupakan gerakan anti Belanda. Oleh sebab itu, sekolah Islam selalu mengambil jalan sendiri, lepas dari Gubermen (istilah pemerintah Kolonial Belanda yang berkuasa di Indonesia).
Setelah kemerdekaan sistem pendidikan yang demikian tetap mengakar dalam masyarakat Indonesia. Satu sisi sebagian para tokoh kemerdekaan tetap memandang ideal sistem pendidikan yang diwariskan oleh pemerintah Kolonial Belanda, sebagian yang lain menganggap yang diideal untuk dikembangkan adalah sistem pendidikan Islam. Bahkan beberapa pejabat yang menangani bidang pendidikan kurang menghargai atau meremehkan sekolah-sekolah Islam. Untuk menjebatani hal itu, maka sistem pendidikan Islam dikelola oleh Departemen Agama yang para menterinya berlatarbelakang Islam. Sementara sistem pendidikan warisan Kolonial Belanda diserahkan pengelolaannya pada Departemen Pengajaran, pendidikan dan Kebudayaan yang sekarang berganti nama dengan Departemen Pendidikan Nasional.
Pada tahun 1950, terjadi suatu pristiwa bersejarah yang menandai dualisme terkait tentang polemik pendidikan di Indonesia. Presiden Soekarno menetapkan berdirinya Universitas Gadjah Mada (Universitas Umum) yang diperuntukkan bagi golongan Nasional dan dalam kurun waktu bersamaan menetapkan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) Yogyakarta yang diperuntukkan bagi umat Islam. Kebijakan ini dinilai oleh sebagian para tokoh sebagai accident sejarah dalam dunia pendidikan Indonesia.
Pertimbangan Presiden Soekarno waktu itu tidak lepas dari sistuasi politik saat itu. Tetapi bagaimanapun pertimbangan untuk mengotakkan golongan Islam dan golongan Nasional kedalam dua entitas yang berbeda yakni pendidikan “pendidikan agama” dan “pendidikan umum” merupakan kelanjutan fenomena sebuah sistem pendidikan di Indonesia. Dan fenomena itupun merupakan warisan dari zaman Kolonial Belanda.
Dalam perkembangannya, Universitas Umum dan PTAIN telah membentuk polarisasi yang lebih menyeluruh. Artinya implementasi atas fenomena itu memperkuat dualisme sistem pendidikan di Indonesia. Atas perkembangan realitas itu Nurcholish Madjid mengandaikan bahwa umpamanya negeri Indonesia tidak pernah mengalami penjajahan oleh Bangsa Asing, mungkin pertumbuhan sistem pendidikannya akan mengikuti jalur-jalur yang ditempuh oleh sistem pendidikan Islam. Sehingga perguruan-perguruan tinggi yang ada sekarang ini tidak akan berupa UGM, ITB, IPB, Unair, UNDIP, UNIBRAU, UNTAG, UNES, UBAYA ataupun yang lain, tetapi mungkin namanya “universitas” Krapak, Tremas, Tebuireng, Rejoso, Lasem, Bangkalan, dan seterusnya. Kemungkinan itu ditarik secara kasat mata atas pertumbuhan sistem pendidikan di negeri-negeri Barat. Dimana hampir semua universitas terkenal cikal bakalnya adalah perguruan-perguruan yang semula berorientasi keagamaan.

F.   Implementasi Kebijakan Sistem Pendidikan Nasional
Disampaikan bahwa dalam implentasinya, sistem pendidikan di Indonesia tidak lepas dari kondisi sosio kultural dan politis Bangsa ini. Beuground historis menjadi landasan yang tidak terpisahkan dalam prakteknya. Ketika memperhatikan sistem pendidikan di negara Indonesia, dunia pendidikan sudah berkembang dalam sistem yang dualistik antara pendidikan umum (nasional) di satu pihak dan pendidikan agama di lain pihak.
Apabila ditinjau dari segi historisitasnya, dualisme itu pada awalnya sudah eksis sejak masa penjajahan Belanda. Namun sebagai refleksi, eksistensi kedua lembaga pendidikan itu merupakan pergumulan dari dua basis politik Islam dan Nasionalisme yang sejak awal kemerdekaan Indonesia tidak bisa dielakkan untuk melebur kedalam salah satu sistem pendidikan yang ada. Sampai pada puncaknya ---dalam sejarah mencatat--- benturan yang cukup serius terjadi saat penentuan dasar dan bentuk negara Indonesia. Meskipun dalam kenyataannya terjadi rekonsiliasi dalam formula negara yang berdasarkan Pancasila. Tetapi implikasi dualisme ideologis itu berdampak terhadap dunia pendidikan.  Fenomena itu tampaknya tidak bisa dihapuskan dalam masa pendek. Disamping masalahnya cenderung bersifat instrumental, juga karena secara realistik khususnya lembaga pendidikan berbasiskan Islam memiliki akar historis yang sangat panjang di Indonesia, bahkan jauh lebih panjang dari tradisi lembaga pendidikan berbasiskan umum yang di dominasi oleh pendidikan nasional dewasa ini.
Atas berbagai fenomena dan faktor historis yang ada tersebut, implementasi sistem pendidikan Indonesia dikelola oleh dua Departemen. Departemen Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (saat ini berganti nama menjadi Departemen Pendidikan Nasional) membawahi pelaksanaan pendidikan yang di dominasi oleh pengajaran ilmu pengetahuan umum. Sementara di sisi yang lain pelaksanaan pendidikan yang di dominasi pengajaran ilmu pengetahuan Agama dikelola oleh Departemen Agama.
Usaha untuk memadukan sistem pendidikan yang dualistik tersebut sebagaimana telah diusahakan di era pemerintah Orde Baru. Namun usaha itu bukan merupakan sesuatu yang baru. Karena pada masa awal abad ke-19 usaha ke arah itu sudah di mulai ketika gerakan modernis Islam. Gerakan ini mencoba pada tahap usaha memperbaharui pendidikan Islam dengan memasukkan mata-mata pelajaran baru (umum) dan memperkenalkan sistem didaktik metodik ala “Barat”.Gagasan itu dilakukan mengingat ketertinggalan ilmu pengetahuan umat Islam tertinggal jauh dengan Bangsa Barat. Akibat ketertinggalan itu dikarenakan orientasi pendidikan umat Islam lebih mengarah pada persoalan-persoalan ukhrowiyah (ke-akhirat-an), sementara pendidikan dikalangan umat Islam mengabaikan pada penguasaan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan hal-hal duniawiyah (ke-dunia-an). Gerakan modernisme Islam mencoba melakukan penggabungan penguasaan ilmu pengetahuan dengan mengorientasikan kepada dua hal itu (dunia dan akherat). Dasar pembaharuan dalam pendidikan dikalangan umat Islam pun perlu dilakukan perombakan keorientasian. Usaha pembaharuan itu diwujudkan dengan mencoba menggabungkan ilmu pengetahuan yang berorientasi keduniaan dan ilmu pengetahuan yang berorientasi keagamaan secara seimbang.
Disamping ketidakbaruan pemerintahan Orde Baru dalam usaha penggabungan dualistik sistem pendidikan di Indonesia dan juga tidak menuai hasil memuaskan karena usaha itu diorientasikan lebih bersifat network. Padahal, kedua institusi itu memiliki orientasi yang berbeda. Bisa dilihat pemberian materi pelajaran di lembaga pendidikan yang dikelola oleh Diknas. Hingga saat ini, jam pelajaran keagamaan masih belum sebanding dengan materi pelajaran lain, demikian juga sebaliknya. Juga terkait dengan persoalan pembiayaan dan manajemen manajemen yang tidak seimbang. Sebagai contoh dalam persoalan pendanaan di lembaga pendidikan yang di kelola oleh Departemen Pendidikan Nasional memperoleh banyak kesempatan untuk mengembangkan sarana dan prasarana pendidikan. Berbeda dengan lembaga pendidikan yang dikelola oleh Departemen Agama.
Karena tanggung jawab Depag cukup beragam selain menangani masalah pendidikan yang dikelolanya. Akibat beragamnya tanggungjawab Depag berimbas pada perolehan dana yang dialokasikan pengelolaan pendidikannya pun menjadi terbatas. Minimnya perolehan aliran dana ke lembaga pendidikan yang berbasiskan ilmu pengetahuan keagamaan ini, lembaga itu tidak bisa berbuat banyak untuk mengembangkan sarana dan prasarananya secara maksimal. Maka, yang terjadi sebuah jurang pemisah yang sangat dalam dan lebar antara lembaga pendidikan di bawah naungan Depag dengan lembaga pendidikan di bawah naungan Diknas.
Usaha yang cukup monumental karena boleh dinilai cukup revosioner adalah pada masa pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid. Di saat presiden Gus Dur (panggilan akrab KH. Abdurrahman Wahid) menyusun Kabinetnya. Beliau berani mengubah salah satu nama Departemen yang selama 32 tahun menangani tentang pelaksanaan pendidikan nasional yakni Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) diganti nama menjadi Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Dengan berganti nama itu, diharapkan juga akan berganti orientasi dalam mengelola pendidikan nasional. Untuk itu banyak kalangan para pengamat menilai bahwa perubahan nama departemen ini memiliki makna dan implementasi tertentu terhadap dunia pendidikan di Indonesia. Boleh jadi implementasi pendidikan di Indonesia yang selama ini masih dualistik dan memiliki orientasi yang berbeda dilebur dalam satu “atap” atau satu Departemen.
Penilaian tersebut mungkin juga mendekati kebenaran tatkala dalam berbagai kesempatan Presiden Gur Dur menyampaikan pandangan untuk menempatkan apa yang disebut sebagai sekolah-sekolah agama ke bawah sistem pendidikan nasional. Bisa jadi ide itu mempertimbangkan kebutuhan Indonesia yang masih memerlukan perhatian serius tentang rendahnya kualitas SDM apabila dibandingkan dengan kualitas SDM negara lainnya. Disamping mempertimbangkan hal itu, juga terkait munculnya kepentingan global. Sebab, kepentingan global mampu memberikan dampak yang cukup signifikan pada pola kehidupan umat manusia diseluruh penjuru dunia tanpa terkecuali.
Kepentingan global menjadi perhatian karena salah satu dampak yang ditimbulkan adalah terbangunnya jaring-jaring komunikasi yang sangat intensif antar satu masyarakat dengan masyarakat lain. Apalagi intensitas komunikasi ini ditunjang dengan kemajuan teknologi khususnya kecanggihan teknologi komunikasi. Bisa jadi akibat dari intensitas komunikasi akan menyebarnya kepentingan maupun misi-misi suatu kelompok atau negara tertentu dengan mudah. Akibat mudahnya sosialisasi tersebut, menjadikan suatu masyarakat apabila tidak memiliki SDM berkualitas maka bisa jadi akan terbawa dan ikut arus dengan kepentingan tersebut. Untuk itu perlunya mempertegas sistem pendidikan kondusif, sehingga mampu menghasilkan SDM yang berkualitas. Disamping sistem kebijakan yang kondusif juga perlu suatu sistem pendidikan progresif. Progresifitas pendidikan perlu menjadi pandangan agar orientasi pendidikan mampu merespon perkembangan zamannya.

G. Keterkaitan Antara UU 1945-UU Sistiknas No. 20 Tahun 2003
Kalau saja jujur, antara esensi dan kenyataan yang ada terkait dengan pendidikan kita di Indonesia, sangat jelas bahwa antara harapan(das sollen ) dan realitas (das sein), sangatlah jauh melenceng. Undang-undang Dasar 1945 mengamanatkan agar pendidikan itu dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia secara merata dan adil untuk mengentaskan kemiskinan, memberikan pendidikan yang berkeadilan, dan membebaskan dari kebodohan. Pada kenyataannya? Dua fakta ini terkesan antara langit dan bumi.
            Munculnya berbagai kebijakan pemerintah dengan undang-undang pendidikan sejak Indonesia merdeka, telah mengindikasikan bahwa esensi pendidikan itu kurang mendapat porsi penanganan yang pasti dan inkonsistensional. Sebut saja  munculnya:  Kurikulum  berbasis KTSP, UN (Ujian Nasional), UU BHP  yang akhirnya ditolak di MA, dan masih banyak yang lainnya.
            Menurut Pemerintah, lahirnya  Ujian Nasional  adalah sebagai alat untuk mengukur mutu pendidikan nasional. Disinyalir oleh kalangan birokrasi kependidikan bahwa tingkat kelulusannya cukup bagus. Kenyataannya ternyata hampir menurun tiap tahun.  Sebagai contoh,  tingkat kelulusan SMA/SMK di Bali tahun 2010 menurun dari sebelumnya yakni:  dari 93,74 menjadi 89,88. Berdasarkan data Badan Standar Nasional Pendidikan, terdapat 154,079 siswa yang tidak lulus dari total peserta 1.522.162 siswa yang ikut ujian di seluruh Indonesia. Kalau demikian benarkah UN layak sebagai alat untuk mengukur dan mengevaluasi  kualitas mutu pendidikan nasionals? Secara teoritis mungkin benar.
Digulirkannya kebijakan desentralisasi khususnya di bidang pendidikan  penyelenggaraan UN ini sangatlah tidak rasional. Mengapa? Lihat saja kelulusan anak-anak  sekolah dari level sekolah dasar hingga menengah atas. Prosentase kelulusan dari tiap-tiap kabupaten/kota, hingga ke provinsi, juga semakin menurun  tiap tahun. Ini  baru di Bali. Bagaimana dengan di tempat yang lain?
            Melihat realitas tersebut, kebijakan Ujian Nasional  ini seharusnya perlahan-lahan dihapuskan saja. Dengan melihat realitas di lapangan, betapa banyaknya rakyat Indonesia yang kecewa karena anaknya tidak lulus. Khususnya mereka yang berasal dari rakyat miskin. Apakah ini sesuai dengan esensi dari tujuan UU 1945 terkait dengan Pendidikan di Indonesia? Jangankan pemerataan dan keadilan pendidikan yang diharapkan mampu membebaskan mereka dari kemiskinan, namun justru sebaliknya bahwa telah menghancurkan harapan mereka di  tengah sulitnya untuk bertahan hidup, dan  membiayai sekolah anaknya agar tidak droup out. Ironisnya lagi, dengan isu tidak adanya ujian susulan bagi peserta UAN yang tidak lulus, menurut hasil akhir perdebatan antara  Mendiknas dengan wakil  rakyat, betapa tidak  menambah beban orang tua siswa anak-anak bangsa ini. What the joke?
            UAN adalah suatu bentuk evaluasi hasil belajar yang dilakukan terhadap peserta didik untuk mengetahui tingkat keberhasilan mereka dalam menyerap pengetahuan yang diberikan. Oleh karena itu, evaluasi adalah suatu hal yang wajib dilakukan dalam dunia pendidikan untuk mengetahui tingkat keberhasilan itu. Masalahnya apakah evaluasi itu  dilakukan oleh orang/lembaga/institusi yang mengetahui seberapa jauh proses belajar yang dilakukan  oleh peserta didik. Faktanya sangatlah berbeda.
            Dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pasal 58 ayat (1) dikatakan” Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan”. Dari ayat ini sudah diketahui bahwa yang berhak dan berkewajiban menyelenggarakan evaluasi terhadap peserta didik atas proses hasil belajar adalah pendidik alias GURU. Hal ini karena guru-lah yang paling tahu tentang proses belajar murid dalam kelas, guru-lah yang paling mengerti tentang kemajuan siswa dalam  proses belajar itu. Itulah salah satu fungsinya guru. Lalu tiba-tiba kita dikejutkan bahwa Negara (baca: pemerintah/depdiknas) menyelenggarakan UAN yang berfungsi sebagai evaluasi hasil belajar dan juga sebagai penentu kelulusan/keberhasilan peserta didik. What the joke? Apa yang pemerintah tahu tentang proses belajar di kelas? Apa yang pemerintah tahun  tentang kemajuan prosaes pendidikan? Apa yang pemerintah tahu  tentang seberapa jauh seorang peserta didik bisa mengikuti tingkat pendidikan itu. Nothing. Menteri Pendidikan terdahulu, Bambang Sudibyo mengatakan bahwa tingkat kelulusan UAN di SMU telah mencapai diatas 90% What bullshit? Semua orang tahu bahwa kualitas mutu pendidikan di Negara kita sangatlah jomblang.
            Perdebatan seputar mana yang harus diprioritaskan, apakah kualitas pendidikan atukah pemerataan pendidikan, adalah seperti memperdebatkan mana yang lebih dahulu, ayam atau  telur. Jawabnya bisa keduanya. Namun jika kondisi dimana pendidikan menjadi suatu alat membangun  manusia, maka pemerataan pendidikan haruslah mendapat tempat utama. Logikanya, Negara kita bertujuan membangun manusia Indonesia seutuhnya ( lihat Pembukaan  UUD 1945). Manusia Indonesia seutuhnya adalah manusia yang  terdidik, baik intelektualitasnya, emosinya, maupun perilakunya.  Dan pembangunan itu hanya, dan hanya bisa didapat mmelalui pendidikan. Oleh karena pendidikan menjadi alat utama dan terutama dalam membangun manusia. Jelaslah  dibutuhkan oleh bangsa Indonesia sekarang ini adalah kesempatan memperoleh pendidikan yang seadil-adilnya bagi seluruh rakyat Indonesia. Setelah semua anak negeri ini mendakapatkan kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan, barulah benar  kita berbicara tentang kualitas.  
            Menurut BPS tahun 2003, angka buta huruf di Indonesia yang berusia di atas 10 tahun mencapai 9,07 % atu 15,5 juta orang. Apa artinya angka ini? Artinya pendidikan belum merata di negeri ini, karena masih banyak  rakyat yang bahkan masih belum bisa membaca dan menulis.  Lalu bagaimana bisa berpikiir mendahulukan kualitas pendidikan sedangkan  pendidikan masih belum merata di negeri ini?

H.  Maraknya Demo Dan Isu Sekitar Pendidikan                      
            Bukan rahasia lagi bahwa antara output dan outcome yang  dihasilkan oleh sebuah proses lembaga pendidikan di Indonesia tidak memuaskan dari tahun ketahun. Maka tidak heran  bahwa demopun tidak terhindarkan, walaupun masih dalam koridor yang wajar.
            Demo yang kritis  muncul karena distorsi di bidang pendidikan di tiap wilayah berbeda  di Indonesia. Kita tidak bisa membandingkan kualitas pendidikan di Papua dan di Jakarta. Itu tidak ubahnya membandingkan kecepatan lari kuda dengan siput. Semua orang tahu bahwa ada disparitas. Lalu ketika ada ujian nasional yang  terstandarisasi, kita memakai standar yang mana? Ada yang dilupakan oleh para penentu kebijakan pendidikan di Negara ini, yakni  filosofi pendidikan, hasil ujian bukanlah salah satu indikator keberhasilan pendidikan. Proses sebuah pendidikan jauh lebih esensial. Maka  keberhasilan pendidikan juga tidak bisa dilihat dari kertas nilai hasil ujian dengan nilai sekian dan ada cap LULUS (yang ditentukan pemerintah).
Pendidikan adalah proses membangun manusia seutuhnya. Bukan hanya membangun kecerdasan (intelektual) belaka, tapi juga membangun dan meningkatkan afeksi dan motorik.  Pemerintah tentu tidak perlu diajari lagi masalah ini.
            Akhir-akhir ini muncul lagi kebijakan yang meresahkan lembaga pendidikan swasta. Ditetapkannya BHP yang mana oleh pemerintah dianggap sebagai instrument untuk menakar pendirian dan  rekrutmen peserta didik dalam suatu wilayah, sangatlah memberatkan. Lembaga swasta  adalah lembaga independent yang mencari peluang dari menjual kualitas jasa pendidikan. Jika dibatasi, diatur dengan Permen dan ketentuan lain, akan banyak lembaga pendidikan swasta yang gulung  tikar. Selanjutnya akan muncullah peodalisme pendidikan. Sekolah negeri  dengan materai milik pemerintah akan menjadi raksasa di wilayah pendidikan? Jelas adalah kebijakan yang tidak arif dan melanggar Undang-Undang Dasar 1945 tentang kemerdekaan setiap warga untuk mendapatkan pendidikan.
            Selama kurun waktu hampir 60 tahun  lebih sejak Indonesia merdeka, sekolah swasta adalah mitra kerja dalam upaya memajukan pendidikan di tanah air Indonesia. Kalau boleh jujur, sekolah swasta bahkan merupakah pilihan utama (primadona) masyarakat dalam menentukan dimana anaknya harus disekolahkan. Swasta yang tertib, desiplin, lengkap sarananya, dan lain-lain, merupakan image positive yang tidak bisa dilihat sebelah mata. Maka  adalah tidak fair jika kemudian ada  aturan semacam BHP. Adakah pemerintah akan menjadikan proses pengembangan baik kuantitas maupun kualitas pendidikan dengan pendirian dan rekrutmen siswa sebagai proyek? Hanya yang memikirkan BHP yang tahu jawabnya. Jika itu maksud dan tujuannya  maka niscaya Negara kita ini akan semakin  terpuruk dan terperosok dalam lubang problematika antara mutu dan proyek para pemegang otoritas.  
            Tidak kalah ramainya, terkait dengan Kurikulum berbasis KTSP yang berbanding linear dengan pelaksanaan desentralisasi. Yang benar saja. KTSP kini menjadi  sebuah   “ Joke”. KTSP bukanlah kepanjangan dari kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, namun “Kurikulum Tidak Siap Pakai.” Tentu gunjingan ini  sangat beralasan. Semua perubahan instrument yang dirujuk oleh Pemerintah tak lebih hanyalah sebuah inovasi” trial and error”. Hal hasil, semakin tampak bahwa karakter dan mutu pendidikan kita semakin tidak jelas arah dan tujuannya.
            isu-isu kritis pengembangan dan pembinaan profesi guru dan tenaga kependidikan juga mempengaruhi kurangnya mutu pendidikan di Indonesia. Sebelumnya, membuka kuliah umum ini, Ir. Maruli Gultom, rektor Universitas Kristen Indonesia Jakarta, menyampaikan bahwa pendidikan di daerah terpencil harus diperhatikan oleh pemerintah. Beliau menyampaikan bagaimana FKIP UKI pernah melakukan kerjasama dengan PT. Astra Tbk., untuk mengadakan survey dan assessment sekolah-sekolah binaan Astra, dan dari hasil assessment, FKIP UKI melakukan tindakan nyata dengan malakukan pelatihan soft skill dan hardskill guru-guru di sekolah-sekolah binaan. Hasil dari pelatihan tersebut, sekarang sekolah-sekolah binaan tersebut menjadi sekolah unggulan di daerahnya.
            Isu-isu kritis tersebut diantaranya menyinggung otonomi daerah, kualifikasi dan penilaian kinerja guru, pembinaan karir guru. Sekarang ini pengelolaan guru desentralisasi karena otonomi daerah. Hal ini menjadi kendala dalam distribusi guru dan kebijakan-kebijakan yang lain dalam hal pemerataan baik secara kualitas apalagi secara kwantitas dan matapelajaran. Apakah perlu disentralisiskan? Kemungkinan lebih baik, tapi harus adanya Peraturan Pemerintah atau Revisi UU No. 32 tentang Otomoni daerah.
            Kualifikasi guru juga salah satu isu penting yang harus segera diperhatikan pemerintah. Data sekarang, 48.69% guru belum S1/D4, dan banyak yang belum linier, serta sebanyak 70% guru juga belum memiliki sertifikat pendidik. Ditambah lagi Penilaian Kinerja Guru (PKG) belum jelas pemetaan peran tentang pelaksanaan dan sistem pengendaliannya. Hal ini menyebabkan tidak bisa berlanjutnya Penilaian Kinerja Berkelanjutan karena belum ada database berbasis sistem informasi dan kurikulum untuk setiap jenjang kepangkatan.
            Selain itu, pelaksanaan pembinaan dan system kenaikan pangkat dilakukan secara manual dan konvensional, bahkan pengangkatan kepala sekolah belum berdasarkan karir. Belum lagi sistem perlindungan terhadap profesi guru masih sangat minim, terutama di sekolah swasta.
            Tunjangan guru juga perlu diperhatikan mengingat yang terjadi sekarang adalah masih menjadi masalah pada mekanisme pembayaran, komitmen daerah untuk pembayaran, dukungan data base lemah, juga terjadi kelemahan pada pengawasandan pengendalian, dan tunjangan yang seharusnya berdampak pada peningkatan kinerja belum tampak.
Isu strategis yang lain adalah peningkatan pendidikan di daerah khusus, yaitu daerah-daerah yang masih belum tersentuh pendidikan yang layak. Hal ini menjadi perhatian karena sekarang ini belum ada kriteria daerah khusus yang menyebabkan kualifikasi dan kompetensi guru sangatlah lemah.
            Yang perlu diperhatikan lagi adalah mengenai guru honor (Guru Bantu, HONDA, GYT, dan GTT) dan asosiasi profesi guru karena belum adanya regulasi guru honor dan pendirian asosiasi profesi yang menyebabkan tidak optimalnya pembinaan profesi. Seharusnya ada regulasi bagi guru honor dan perlindungan dan pembinaan profesi.
Isu isu kritis ini perlu diperhatikan pemerintah dalam membuat undang-udang dan kebijakan-kebijakan untuk peningkatan mutu pendidikan Indonesia. Dihimbau juga kepada para peneliti atau praktisi pendidikan agar melakukan penelitian tentang isu-isu tersebut sehingga tersedianya data yang memberikan kontribusi bagi kebijakan pemerintah.

I.     Ketimpangan dalam penyediaan Mutu dan Jasa Pendidikan
1.      Tidak semua anak bersekolah.
Indonesia masih belum mampu memenuhi program wajib belajar 9 tahun bagi semua anak. Saat ini masih terdapat sekitar 20 persen anak usia sekolah menengah pertama yang masih belum bersekolah. Perbedaan partisipasi antar daerah yang cukup besar. Pada tahun 2002, sebagai contoh, angka partisipasi murni pada jenjang sekolah dasar berkisar antara 83,5 persen di propinsi Gorontalo dan 94,4 persen di Sumatera Utara. Pada jenjang sekolah menengah pertama, angka partisipasi murni berkisar antara 40,9 persen di Nusa Tenggara Timur dan 77,2 persen di Jakarta dan pada jenjang sekolah menengah atas berkisar antara 24,5 persen di Nusa Tenggara Timur dan 58,4 persen di Yogyakarta.
2.      Anak dari kelompok miskin keluar dari sekolah lebih dini.
Pada tahun 2002 angka partisipasi sekolah menengah pertama dari kelompok penduduk seperlima terkaya, lebih tinggi 69 persen dibandingkan dengan angka partisipasi dari kelompok seperlima termiskin. Sementara pada jenjang sekolah menengah atas, angka partisipasi murni dari kelompok seperlima terkaya mencapai tiga setengah kali lebih tinggi dibandingkan dengan angka partisipasi murni kelompok termiskin. Walaupun hamper semua anak dari berbagai kelompok pendapatan bersekolah di kelas satu sekolah dasar, anak dari kelompok pendapatan termiskin cenderung menurun partisipasinya setelah mencapai kelas enam.
3.      Kualitas sekolah di Indonesia masih rendah dan cenderung memburuk.
Selama ini ekspansi sekolah tidak menghasilkan lulusan dengan pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan untuk membangun masyarakat yang kokoh dan ekonomi yang kompetitif di masa depan. Bukti ini ditunjukkan dengan rendahnya kemampuan murid tingkat 8 (SMP kelas 2) dibandingkan dengan negara tetangga Asia pada ujian-ujian internasional di tahun 2001 (lihat tabel 1). Telihat cukup jelas bahwa ekspansi partisipasi sekolah di Indonesia tidak diikuti dengan peningkatan kualitas.
4.      Persiapan dan kehadiran tenaga pengajar yang masih kurang.
Berbeda dengan kebanyakan negara, Indonesia memperbolehkansemua lulusan institusi pendidikan keguruan menjadi tenaga pengajar, tanpa perlu melewati ujian dalam hal kesiapan untuk memberikan ilmu pengetahuan dan keahlian mereka pada kondisi sekolah yang beragam. Pada waktu yang sama terdapat kesulitan untuk memberhentikan tenaga pengajar yang tidak mampu mengajar. Lebih jauh, berdasarkan survei yang dilakukan untuk Laporan Pembangunan Dunia 2004, 20 persen tenaga pengajar Indonesia tidak masuk sekolah pada saat pengecekan di sekolah-sekolah yang terpilih secara random. Ini berarti 20 persen dari dana yang digunakan untuk membiayai tenaga pengajar tidak memberikan manfaat secara langsung kepada murid, karena ternyata tenaga pengajar tersebut tidak berada di kelas.
5.      Pemeliharaan sekolah-sekolah tidak dilakukan secara berkala.
Berdasarkan data survei sekolah dari Departemen Pendidikan Nasional, satu dari enam sekolah di Jawa Tengah berada dalam kondisi yang buruk, sementara itu sedikitnya satu dari dua sekolah di Nusa Tenggara Timur juga berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Murid-murid berada di ruang kelas tanpa peralatan belajar yang memadai, seperti buku pelajaran, papan tulis, alat tulis, dan tenaga pengajar yang menguasai materi pelajaran sesuai kurikulum.
            Mutu pendidikan kita secara nasional dapat dikatakan masih sangat memprihatinkan. International Education Achievement (IEA) memperlihatkan kemampuan mambaca siswa SD Indonesia menempati urutan 30  dari 38 negara. The Third International Mathematics and Science Study Report (1999) melaporkan kemampuan siswa Indonesia dalam bidang matematika dan IPA berurutan menempati urutan  34 dan 32 dari 38 negara.  UNDP, badan pembangunan PBB, melaporkan Human Development Index (HDI, Indeks Pembangunan Manusia), tahun 2002 dan 2003 berurutan menempati urutan 110 dari 173, dan 112 dari 175 negara.  HDI adalah salah satu komponennya  indeks pendididkan.
            Dari data tersebut dapat dikatakan bahwa kualitas pendidikan kita sebagai Negara yang sudah cukup lama merdeka masih sangat rendah. Inilah adalah fakta yang jika tidak dengan arif dan bijaksana diformulasikan pemerintah dan para pemegang otoritas di bidang pendidikan  dan dilaksanakan dengan tanggungjawab, maka Negara ini tidak  akan pernah maju dan berkembang di tengah kompetisi Negara-negara berkembang lainnya.
            Kembali kepada visi dan misi pendidikan awal yang  telah diletakkan secara fundamental oleh Bapak Pendidikan nasional kita, Ki hajar Dewantara, dan mengkemas  strategi Pengembangan Pendidikan yang sesuai dengan kultur Bangsa dan selektif dengan kemajuan IPTEK, adalah jawabannya. Kita tidak ingin hanyut di tengah derasnya gelombang kompetisi global, namun berupaya ikut secara alami maju bersama gelombang tanpa menghilangkan karakter bangsa yang Adiluhung ini.