Pages

Selasa, 26 Januari 2016

BAHASA DAERAH DI MALUKU TENGAH KEPUNAHAN DAN KELESTARIAN

A.  Latar Belakang

Cinta terhadap tanah air bisa kita lakukan dengan cara Melestarikan Dan Menjaga Kebudayaan Indonesia. Kebudayaan dapat dilestarikan dalam dua bentuk yaitu: Culture Experience merupakan pelestarian budaya yang dilakukan dengan cara terjun langsung kedalam sebuah pengalaman kultural serta Culture Knowledge merupakan pelestarian budaya yang dilakukan dengan cara membuat suatu informasi mengenai kebudayaan yang dapat difungsionalisasi kedalam banyak bentuk.
Arus budaya utama (main stream) telah menggiring orang-orang Indonesia untuk turut ambil bagian dalam budaya global, yang sebagian besar didominasi oleh standar budaya Barat. Indonesia memiliki kearifan lokal yang kaya berasal dari berbagai suku bangsa yang ada, kearifan lokal tersebut menjadi padangan hidup yang mendasari berbagai pola perilaku dan tindakan setiap masyarakat Indonesia. Kearifan lokal lahir sebagai respon terhadapan fenomena globalisasi yang seolah-olah berupaya untuk menyeragamkan manusia ke dalam pola-pola budaya yang sama.
Indonesia adalah wilayah yang luas, terdiri dari berbagai pulau kecil maupun Pulau besar. Nusantara mempunyai keanekaragaman suku dan juga bahasa yang membina budaya yang majemuk, masyarakat Indonesia menggunakan bahasa Indonesia bagai bahasa komunikasi sehari-hari. Walaupun demikian, masyarakat Indonesia masih menggunakan bahasa daerah yang menjadi ciri khas dari daerah masing-masing.
Jauh di timur Nusantara, tepatnya di daerah Maluku, terdapat berbagai adat-istiadat dan bahasa. Malahan diperkirakan di Maluku saja terdapat 80 bahasa yang berbeda-beda. Dari jumlah komunitas yang menggunakan bahasa daerah itu, walaupun sekian banyak bahasa yang ada, namun hampir tidak ada yang dideskripsikan; hal ini  disebabkan kurangnya perhatian terhadap kelestarian bahasa daerah , untuk daerah Maluku sebagai wilayah kepulauan ini berbeda-beda bahasanya dan sesungguhnya tidak semua penduduk di pulau-pulau itu menggunakan bahasa yang sama dan berbagai desa menggunakan dialek yang berlainan pula. Namun, semua mengerti bahasa Melayu, karena perdagangan (Collins  2003).
Bahasa di Maluku adalah bahasa tanpa tulisan atau kepustakaan. Bahasa di Seram (Alune dan Wemale) terbagi atas 35 dialek yang berlainan dan jelas serumpun dengan bahasa asli Amboina. Data tersebut menunjukkan betapa rumitnya bahasa di daerah ini yang menurut para ahli bahasa di Maluku Tengah termasuk dalam kelompok Ambon-Timor (salah satu dari 16 kelompok) dari anak rumpun Indonesia dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia. (Cooley, 1987).
Peneliti bahasa yang  umumnya para sarjana barat yang dipakai oleh kolonial Belanda untuk memetakan bahasa daerah di Maluku, menyimpulkan bahwa awalnya penduduk menggunakan satu bahasa asli dari Seram (bahasa Alune atau Wemale). Perbedaan kecil mulai terjadi dalam berbahasa akibat banyaknya pendatang dan terpencarnya penduduk ke pulau-pulau lain di Maluku. Akibat dari lemahnya bahasa asli yang digunakan penduduk pada awal tersebut dimana bahasa dimaksud tidak memiliki tulisan atau kepustakaan. Penduduk pada periode itu semua sibuk dengan perdagangan dan tentu ada perebutan wilayah dimana perang terus berlangsung diantara penduduk.

Dalam perkembangan selanjutnya tercatat bahwa lingkungan Kristen dimana desa mereka sebagian besar pada pesisir pantai mengalami punahnya penguasaan bahasa daerah lebih cepat, hal ini karena Bahasa Melayu dengan cepat diterima secara sistematis dan luas yakni pada lembaga gereja dan sekolah. Penutur asli bahasa hanya terpelihara pada mereka yang berusia tua sedangkan anak-anak muda mencoba menghindar untuk menggunakannya. Lebih parah lagi gereja ingin membaharui konsep pandang anggotanya dari penyembahan adat yang menggunakan bahasa daerah dengan penyebaran teologi yang lebih terbuka dengan bahasa Melayu. Bisa terjadi salah paham antara yang mau menggunakan bahasa daerah setempat dengan para fungsionaris gereja yang menentang adat dalam ritual gerejawi. Akhirnya pemangku adat menyerah dan posisi pemimpin gereja dalam lingkungan pemeluk Kristen lebih tinggi dan sangat dihormati daripada seorang pemimpin adat atau kepala desa.

Sayangnya penyelidikan  mengenai  bahasa daerah kurang dijalankan, walaupun memang ada sedikit tulisan, misalnya sarjana Jerman seperti Tauern dan Niggemeyer memperlihatkan pengkajian mereka mengenai sastera yang ada di daerah Maluku, walaupun yang diperlihatkan hanya dari segi  adat dan kepercayaan. Namun tiga puluh  tahun terakhir ini sastera daerah dan bahasa daerah jarang kelihatan dalam penelitian.

B.  Perumusan Masalah

Dri latar belakang permasalah yang di atas penulis merumuskan permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah 
1.      Bagaimana gambaran umum kondisi kebahasaan dan kebudayaan lokal di Maluku Tengah?
2.      Mengapa bahasa daerah Maluku Tengah perlu dipertahankan dalam upaya pelesetarian kearifan budaya lokal di Indonesia?

C.  Tujuan Dan Manfaat Penulisan

Tujuan dari penulisan ini adalah  untuk:
1.        Memberikan sedikit informasi mengenai khazanah ilmu dalam hal bahasa.
2.        Secara secara umum tulisan  ini bermaksud untuk mendokumentasikan bahasa yang ada di wilaya Maluku Tengah serta kajian ini juga penting sebagai usaha melestarikan bahasa daerah yang semakin ditinggalkan oleh penuturnya.

Manfaat dari penulisan ini adalah untuk  menggambarkan  bahasa sebagai khasana kebudayaan masyarakat yang berda Maluku Tengah: Menyumbangkan wawasan untuk menjaga kelestarian bahasa yang ada di Indonesia Timur, khususnya Maluku. Terungkap sedikit informasi mengenai deskripsi khayalan, bayangan, konsep dan pahaman mengenai masyarakat, bahasa yang dituturkan dalam kalangan masyarakat Maluku, dan gambaran mengenai kehidupan sosial budaya yang berkembang di kalangan masyarakat Maluku. 

D.  Metode Studi Pustaka

Metode yang dipakai dalam kajian ini ialah metode deskriptif menurut Sedarmayanti dan Hidayat (2002) dan metode refleksi-interpretatif, menurut Sudaryanto (dalam Muhammad, 2011:257.258). Dengan metode deskriptif, penulis melihat data sebagaimana adanya; dengan kata lain data yang diambil adalah data alamiah yang selanjutnya dideskripsikan.
E.  Teori Bahasa
Saussure (1979) mengemukakan istilah langue dan parole. Langue mencakup pengertian mengenai konsep yang dikandung dalam suatu bahasa termasuk kaedah-kaedahnya yang milik bersama masyarakat pemakai bahasa yang dikuasai dan diwariskan secara turun-temurun, sedangkan Parole mengandung pengertian pengungkapan bahasa yang berbentuk tuturan perseorangan. Di samping itu, bahasa juga merupakan sesuatu yang konkrit.

Munurut Sapir (1921), bahasa  merupakan suatu kaedah yang bukan naluri untuk manusia menyampaikan ide, emosi, dan keinginan melalui ciptaan simbol-simbol yang lahir secara sadar. Sapir juga menghuraikan bahwa pentingnya pengetahuan lokal atau perspektif emik sebagai salah satu alat penjelasan dan penafsiran atas data kebahasaan. Bahasa memiliki seperangkat peraturan yang dikenali oleh penu­turnya, perangkat inilah yang menentukan struktur apa yang diucapkannya berdasarkan struktur yang disebut tata bahasa bahasa itu terdiri dari simbol-simbol yang arbiterari untuk berkomuni­kasi sesama manusia, kerana manusia sama-sama memiliki perasa­an, gagasan, dan hasrat
Definisi ini berbeda dengan definisi Sapir, sebab definisi ini menanamkan ciri-ciri arbitrari dengan jelas dan menghadkan bahasa kepada bahasa percakapan saja. Menurut Hymes (1989), bahasa mesti dilihat sebagai perkara yang tidak berasingan atau terpisah daripada sistem sosial dan budaya lisan yang beroperasi dalam sebuah masyarakat. Dengan menganggap bahasa adalah sebahagian yang bersepadu sifat daripada organisasi sosio-budaya serta perlakuan. Secara umum, Hymes berpendapat bahwa pendekatan berbagai disiplin ilmu amat penting dalam penyelidikan bahasa. Berdasarkan pendekatan demikian, Hymes menganjurkan penelitian yang melihat bahasa bukan sebagai sesuatu yang terpisah atau sebagai hubungan kait yang abstrak daripada masyarakat yang menuturnya, tetapi sebagai sesuatu yang terbentuk dalam keadaan dan pola keadaan yang sentiasa berubah. Untuk mengungkapkan teori sosioliguistiknya,

Setelah para ahli sepakat menyataka bahwa bahasa adalah “alat” dalam berkomunikasi, sebagai alat tentunya ada yang menggunakan alat tersebut sehingga ia dapat dimanfaatkan (sebagai komunikasi). Dalam hal ini pengguna atau pemanfaat bahasa adalah manusia (terlepas kajian ada tidaknya bahasa juga digunakan oleh hewan) yang selanjutnya disebut sebagai penutur. Orang atau manusia yang mendengar atau yang menjadi lawan pentur disebut dengan “lawan tutur” atau “pendengar” atau “lawan bicara”. Dalam interaksi antara penutur dan lawan tutur inilah timbul beberapa perilaku berdasarkan pemikiran masing-masing sehingga lahirlah kebiasaan atau budaya. Budaya dan kebiasaan ini akan berbeda tergantung siapa dan di mana bahasa atau pengguna bahasa itu berada.

F.  Kajian Terdahulu 
Bahasa sebagai hasil budaya atau kultur mengandung nilai-nilai masyarakat penuturnya. Dalam bahasa misalnya, terdapat ungkapan berbunyi mengandung nilai ajaran. Penelitian Dede Oetomo pada tahun 1987 (Sumarsono dan Partana, 2002:336) menyebutkan bahwa bahasa juga dapat mempengaruhi kelompok. Kajian bahasa, terutama pada tataran sintaksis sudah banyak dilakukan oleh para pakar terdahulu. Berkaitan dengan penelaahan bahasa, maka tersedia beberapa pustaka yang dapat dirujuk (setidaknya berdasarkan jangkauan peneliti), di antaranya adalah Maunareng (2011), Taber (1993), dan Budiarta (2013).

Penelitian yang dilakukan Maunareng (2011) merupakan penelitian pada bidang perbandingan bahasa di Maluku. Meskipun demikian, kajian tersebut memanfaatkan data leksikal dari sejumlah isolek di Maluku. Hasil kajian itu menggambarkan bahwa secara genetis, Bahasa Maluku Tengah merupakan subkelompok bahasa dari kelompok bahasa Ambon-Seram sebagaimana pengelompokan Esser yang berbeda dengan pengelompokan yang dilakukan oleh Greenberg (1971). Kendati kajian  itu berbeda dengan kajian ini, namun informasi mengenai kekerabatan antara bahasa dan sejumlah leksikon (terutama berkaitan dengan kelas verba) dapatlah dirujuk sebagai data awal.

Taber (1993) juga berdasarkan hubungan genetis, mengelompokkan bahasa-bahasa di Maluku Tengah ke dalam sebuah kelompok bahasa yang diberi label kelompok bahasa Maluku Tengah. Meskipun kajian itu bersifat genetis, namun Taber telah menggambarkan bahwa bahasa-bahasa di Seram termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia. Pandangan itu pula sekaligus secara tersirat menolak pengelompokan yang dilakukan oleh Greenberg (1971) yang memasukan bahasa-bahasa di Maluku Tengah ke dalam kelompok bahasa Alor-Timor yang tergolong sebagai keanggotaan dari rumpun bahasa Non-Austronesia
G.  Sejarah Pergeseran Bahasa di Maluku

Sejak abad ke-16 Maluku terkenal sebagai daerah multilingual Pada abad ke-17 mulai disebut  beberapa nama  bahasa yang berada di Pulau Buru, Seram  dan Saparua; bahasa yang dituturkan  di Maluku muncul dalam dialek yang sangat beragam, mungkin sama banyak dengan jumlah kampung yang ada di Maluku. Menurut sarjana Jerman G. Rumphius yang tinggal di Pulau Ambon pada abad ke-17, di Pulau Ambon  dialek Hatiwe dan di wilayah Islam dialek Hitu, yang dianggap paling bagus.
Menurut Rumphius dialek yang dituturkan di Ambon menggunakan banyak vokal dan lafalannya seakan-akan  tersekat-sekat. Namun kini bahasa Hatiwe sudah punah dan tidak dituturkan di kampung Hatiwe lagi.Antara bahasa yang hampir punah di Seram ialah bahasa Paulohi Sejak ratusan tahun lalu bahasa Melayu mempunyai peranan yang sangat kuat di Maluku. Bahkan masyarakat Maluku mulai meninggalkan bahasa daerahnya sehingga dari 80 bahasa yang pernah ada di Maluku tinggal hanya beberapa kampung yang menggunakan bahasa daerahnya (Collins 1980). 
Pada abad ke-16 bahasa Melayu digunakan sebagai  bahasa komunikasi  perdagangan dan pada masa itu juga bahasa Melayu dipilih oleh tokoh Kristen  sebagai bahasa untuk urusan Gereja. Dengan demikian terjadilah pergeseran dari bahasa daerah Maluku (Ambon) ke bahasa Melayu. Mungkin pergeseran bahasa pada abad ke-16 sampai pada abad ke-18 menyebabkan terjadinya perubahan bahasa di kalangan masyarakat Maluku. sesungguhnya pada zaman Portugis ribuan penduduk Pulau Ambon dan sekitarnya telah memeluk agama Kristen mazhab Katolik (Schurhammer 1980). 
Bahasa Melayu dipilih sebagai bahasa yang sesuai untuk menyebarkan agama Kristen (Collins 1980, 1998).  Namun, sejak 1605, pihak Belanda meneruskan pilihan bahasa Melayu sebagai bahasa penyebaran agama Kristen tetapi menentukan mazhab Protestan sebagai aliran Kristen yang hendak diamalkan di jajahannya bukan mazhab Katolik. 
Kebijakan bahasa dan keagamaan ini berpengaruh kepada masyarakat Ambon dan juga pada sejarah bahasa Melayu, termasuk sejarah penterjemahan di Alam Melayu.  Pamah  Protestan mengutamakan hak dan kewajiban setiap penganut agamanya untuk berhadapan sendiri dengan isi kitab Kristen.  Oleh karena itu, keberaksaraan menduduki posisi yang penting dalam mazhab Protestan.  Apabila fahaman ini dikaitkan dengan teknologi percetakan moden, tercetuslah perubahan besar bukan saja di Eropah (Eisenstein 1983), tetapi juga di kalangan masyarakat Nusantara.  Melalui struktur birokrasinya, termasuk petugas agama Protestan yang digajinya (Niemeijer 2001, Collins 2003), VOC memperkenalkan sistem pendidikan moden yang berbahasa Melayu di kepulauan Ambon.

Pada abad ke-17, kota Ambon terombang ambing dengan arus sosial yang bergelora dengan intensiti yang luar biasa. Selain pergantian kekuasan kolonial dari tangan Portugis ke Belanda (VOC), sepanjang abad ke-17 perlawanan, hukum penggusuran dan pemindahan penduduk secara paksa, gempa bumi serta  keadaan ekonomi dan sosial (Rumphius 1910, 1983, 1675) menyebabkan bahasa daerah mulai ditinggalkan dan rakyat beralih bahasa sehingga menggunakan bahasa Melayu.

Pada abad ke-17  F. Caron mengusulkan agar petugas agama Protestan  belajar bahasa Melayu, dan juga bahasa daerah. Tetapi rupanya usaha itu tidak pernah diikuti. Pada abad ke-17,  bahasa daerah yang ada di Maluku tidak pernah dideskripsikan apalagi diklasifikasi. Perhatian yang mendalam  terhadap bahasa daerah belum muncul, apalagi kalau dijejaki tulisan mengenai bahasa di Maluku.
Sudah sejak abad ke-18 dan ke-19 penggunaan bahasa  daerah oleh kebanyakan  komunitas  Kristen tidak lazim sehingga tidak mengherankan bahwa sekarang tidak terdapat lagi percakapan bahasa daerah  di  komunitas Kristen. Penutur bahasa daerah  di komunitas Kristen hanya tinggal orang tua; namun, itupun tidak diturunkan kepada generasi selanjutnya. Umpamanya pada akhir abad ke-20 masih dapat ditemukan dua bahasa yang sebelumnya tidak pernah didokumentasikan, mungkin tidak diketahui wujudnya. Tetapi pada waktu itu di pantai utara Pulau Seram, bahasa Hulung hanya dituturkan oleh sekitar 20 orang dan bahasa Naka’ela oleh 3 orang saja (Collins 1982,1983a). Diperkirakan sekarang dua bahasa ini sudah tidak dituturkan lagi.

Pertumbuhan agama Islam di Ambon, yang memiliki sejarah yang lebih lama dari penyebaran agama Kristen,  juga  membawa perkembangan terhadap bahasa Melayu. Meskipun jalur dan tahunya sukar dipastikan, bukti linguistik dan filologi mendukung andaian bahwa bahasa Melayu diperkenalkan kepada masyarakat Ambon melalui orang Islam yang sampai di sana pada abad ke-15. Bahasa-bahasa daerah yang  kini masih berfungsi dalam masyarakat Islam di Ambon dicirikan dengan kata pinjaman  dari bahasa Melayu, terutamanya bahasa dalam hal keagamaan.

Hilangnya bahasa daerah di beberapa desa di Maluku Tengah maupun di Ambon, khususnya desa-desa Kristen tidak terlepas dari dampak penjajahan Belanda selama lebih kurang 350 tahun di Maluku (Collins 1982,1983a). Pada awal tahun 1980-an masih dapat dihitung lebih kurang sebanyak 40-45 daerah yang bahasanya berbeda di Maluku Tengah. Walau bagaimanapun, pada masa itu hanya satu bahasa saja  yang digunakan secara meluas di Ambon, iaitu bahasa Melayu.

Pada pertengahan abad ke-19, seorang penginjil Belanda A. Van Ekris  yang bertugas di Kamarian (Pulau Seram), menyusun kosa kata sebelas bahasa di Pulau Seram dan Ambon yang  mana bahasa tersebut terbahagi dalam tiga bagian yang berjumlah lebih kurang 90 halaman. Semua data bahasa itu dibandingkan dengan bahasa Kamarian,  kerana  ia lebih menguasai bahasa itu (Van Ekris 1864-1865). Seterusnya Baron G.W.C. van Hoëvell mengajukan klasifikasi bahasa mengenai Seram dan Ambon yang  cukup komprehensif. Namun, van Hoëvell tidak memberikan dasar perbebaan yang digunakannya dalam proses yang menghasilkan data bahasa tersebut (Hoëvell 1877). Lebih lanjut, Hoëvell berpendapat bahwa bahasa-bahasa Seram dan Ambon-Uliase dapat diklasifikasikan dalam dua cabang besar.

Akhir-akhir ini banyak sarjana dan pemerhati bahasa prihatin tentang pengaruh budaya global yang mengancam kelestarian bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Bukan saja akademisi Indonesia yang sibuk mengadakan seminar dan menerbitkan tulisan, tetapi sarjana dan ahli luar negeri sudah mengarahkan perhatian kepada kasus Indonesia. Hanya sekitar sepuluh tahun lalu, linguis internasional yang tersohor, Profesor Peter Muhlhdusler (1996:205), memproklamir bahasa Indonesia sebagai "killer language".
H.  Menjajaki Jumlah Bahasa di Maluku Tengah

Pada awal era modern, yang sebenarnya mulai pada akhir abad ke-16, Maluku Tengah maksudnya Pulau Buru, Ambon dan Seram Barat pulau-pulau lain yang berdekatan muncul dalam jaringan ekonomi global sebagai sumber pertanian dan pusat perdagangan dua komoditi yang tinggi nilainya pada zaman tersebut: cengkih dan pala (Collins 1980b, 2006c). Sebagai akibat kebijakan kolonial, kepulauan ini, terutamanya Pulau Ambon, menjadi fokus aktivitas ekonomi dan administrasi pada awal abad ke-17. Pendirian infrastruktur kolonial yang intensif di daerah yang kurang penduduk ini berdampak secara drastis kepada bahasa-bahasa asli di Maluku Tengah. Dampak kolonial pada kurun awal itu masih berpengaruh pada hari ini. Sebagai contoh dampak kolonial, mari kita memantau situasi bahasa di Maluku Tengah.

Pada awal tahun 1980-an, masih dapat dihitung sebanyak 40-45 bahasa daerah yang berbeda di Maluku Tengah Walau bagaimanapun, pada waktu itu hanya satu bahasa saja, yaitu Bahasa Melayu Ambon, digunakan oleh lebih daripada 10.000 orang. Pada waktu itu, Bahasa Melayu Ambon dituturkan oleh seratus ribu penduduk Maluku Tengah sebagai bahasa pertama; Grimes (1988:516) menganggarkan lebih dari 200.000 orang penutur. Kebanyakan bahasa lain di daerah itu tidak sampai 5.000 orang penutur, malahan, pada waktu itu dicatat bahasa yang hanya dituturkan atau diingat oleh dua-tiga orang penutur. Walaupun kadar diversitas bahasa memang lebih tinggi di Papua New Guinea,  namun di Maluku Tengah 40-45 bahasa yang terbagi secara tidak merata di populasi yang hanya sebanyak 400.000 masih dapat dianggap suatu kadar diversitas yang tinggi sekali, apa lagi dengan pertimbangan bahwa 200.000 orang dari keseluruhan 400.000 itu merupakan penutur Bahasa Melayu Ambon.

Penulis barat mulai menulis; tentang jumlah bahasa di Maluku pada awal abad ke-16 (Collins 1980b). Ada yang berpendapat bahwa setiap kampung menggunakan bahasa yang berbeda-beda sehingga penduduk tidak mampu saling mengerti, melainkan mereka menggunakan bahasa Melayu Arnbon. Begitulah pendapat misionaris Basque, Sto, Francisco Javier, pada tahun 1545. Tetapi ada penulis lain, seperti G. Rumphius, sarjana Jerman yang pernah tinggal di Ambon selama 48 tahun pada abad ke-17, yang bersikeras bahwa, walaupun terdapat sejumlah besar dialek ("dialectos") di Pulau Ambon, semua penduduk dapat saling paham.
Kedua penulis ini, Javier dan Rumphius, termasuk cendekiawan yang terkenal pada zamannya, malah sampai sekarang. Keduanya tidak naif sebagai pengamat bahasa; bahkan, mereka sendiri berpengalaman sebagai penutur multilingual. Makanya, pandangan mereka harus dinilai sihih, walaupun pandangan-pandangan itu nampaknya berlawanan. Harus diingat bahwa mereka menulis dari perspektif yang berlainan.

E.     Javier, menulis sebagal misionaris yang harus menentukan dan memilih bahasa yang harus dimanfaatkan untuk usaha penginjilannya. Seorang lagi, yaitu G. Rumphius, merupakan ahli ilmu zoologi yang biasanya mengklasifikasikan spesies dalam genera yang umum. oleh itu, mungkin kedua penulis ini melebih-lebihikan posisinya demi profesi dan tujuannya.

Dari segi adanya banyak bahasa di Maluku Tengah, perlu dicatat bahwa pada akhir abad ke-20, masih dapat ditemukan dua bahasa yang sebelurnnya tidak pernah dokumentasi, malahan mungkin tidak diketahui wujudnya. Pada waktu itu di pantai utara Pulau Seram, bahasa Hulung dituturkan oleh sekitar 20 orang dan bahasa Naka'ela oleh 3 orang saja.Satu lagi bahasa daerah, yaitu bahasa Laha, yang belum pernah didokumentasikan pada waktu itu, nyatanya dituturkan di Pulau Ambon sendiri, bahkan ditepi bandara Ambon! Selama ratusan tahun kolonialisme, yang kadang-kadang diwarnai perhatian terhadap bahasa daerah.
Mungkin jumlah penutur yang hanya sedikit itu mengakibatkan bahasa-bahasa tersebut tidak diperhatikan? Atau dalam peredaran waktu 400-500 tahun ada bahasa yang berkembang dan berpisah menjadi lebih daripada satu bahasa; agaknya proses pengembangan itu terlepas dari pandangan para penjajah di kota Ambon.  Sukar juga menentukan faktor kelalaian dalam hal dokumentasi ini. Sebaliknya, bahwa ada bahasa yang ditinggalkan oleh penutur yang sengaja memilih bahasa lain sebagai bahasa utamanya diperhatikan pemantau barat.             

Banyak penutur bahasa daerah di Pulau Ambon telah memilih bahasa Melayu Ambon sebagai bahasa pertama sehingga anak cucu mereka tidak lagi mengetahui. bahasa daerahnya. Pada abad ke-17 bahasa Hatiwe dinilai oleh Rumphius (1678/1983:7) antara bahasa daerah yang paling indah, tetapi kini bahasa Hatiwe sudah hilang; sama sekali tanpa bekasnya.

I.  Perubahan Bahasa dan Faktor Sosial

Dapat dikatakan bahwa kini di Ambon terdapat sekurang-kurangnya 200.000 penutur bahasa Melayu Ambon sebagai bahasa pertama, bahkan mungkin sebagai satu­-satunya bahasa mereka. Padaha, kebanyakan moyang mereka pernah berbahasa lain, yaitu salah satu bahasa daerah Maluku Tengah. Faktor yang mendorong perpindahan bahasadan dalam hal ini yang mengakibatkan punahnya bahasa memang kompleks sekali dan sering berkaitan.

Pertama perlu diakui bahwa ada faktor di luar kuasa dan pilihan penutur. Gempa bumi dan tsunami yang melanda kampung Elpaputih di Seram Selatan pada 30 September 1899 mengakibatkan kematian 94% penutur bahasa Paulohi (Collins 2003a) pada hari itu juga. Lebih kurang dua ratus tahun kemudian, pada tahun 1978, hanya tiga orang yang masih mampu ingat sedikit bahasa Paulohi yang sudah lama tidak digunakan di Elpaputih. Begitu juga, E. Stresemann (1927) mencatat beberapa perkataan bahasa Loun di Seram Utara, tetapi hampir semua penutur bahasa itu meninggal dalam wabah virus influensa global pada tahun 1918 (hanya 6 tahun setelah Stresemann. meninggalkan Seram). Pada tahun 1979 seorang dua yang mengaku berketurunan Loun tidak tabuh sama sekali bahasa Loun (Collins 1982). Bahasa tinggal nama saja.

Kedua, dalam sejarah sosial Maluku Tengah beberapa faktor sosial dan ekonomi harus diperhitungkan; sebagiannya diuraikan dalam. Collins (1997).  Dalam kasus Maluku Tengah, dua faktor dasar ditekankan. Perpindahan paksa dari daerah asal ke daerah lain, dan; Penganutan agama yang dipraktikkan dalam bahasa yang bukan bahasa asli penganutnya.

Kedua faktor ini (Collins 2003a) mengaitkan peralihan budaya dan penyesuaian psikologis yang mendalam.

Tidak akan dibahas dengan terperinci di sini contoh-contoh perubahan loyalitas bahasa yang diperkirakan terjadi akibat perpindahan paksa pada zaman kolonialisme awal. Dua kasus migrasi paksa itu, yaitu Kelang dan Batu merah, sudah dibicarakan dengan agak panjang lebar. Begitu juga, penggunaan bahasa sebagai salah satu sirnbol kultural dalam penganutan agama Kristen (Protestan). Hal seperti migrasi paksa dan pilihan bahasa oleh kuasa luar dalam urusan gerejawi adalah hakikat sejarah.
Yang perlu digaris bawahi di sini adalah kenyataan bahwa dua perubahan budaya itu, baik perpindahan lokasi maupun perpindahan agama, mulai ratusan tahun lalu pada awal era penjajahan di Maluku. Namun, dampaknya bukan terjadi pada saat perpindahan itu tetapi beberapa kurun kemudian. Dan dalam kasus hubungan agama dan bahasa ciri­-ciri kultural yang berasaskan ketentuan pembesar VOC 400 tahun lalu masih menyebabkan perpindahan bahasa, walaupun VOC sudah berakhir 200 tahun lalu.

Mungkin pada kesempatan ini akan bermanfaat kalau kita memberikan perhatian terhadap perubahan yang sedang terjadi di Maluku Tengah, selain menyimak perubahan yang pernah terjadi pada waktu silam. Seperti yang dinyatakan di atas sebagian perubahan prilaku bahasa diakibatkan keputusan kolonial ratusan tahun lalu, tetapi ada juga faktor-faktor lain yang menyebabkan perubahan dalam loyalitas bahasa. Ikatan gereja Protestan Maluku pada bahasa Indonesia, yang diputuskan pada zaman VOC pada abad ke-17, tetap mempengaruhi pilihan bahasa di Maluku Tengah.

Pola prilaku ini sangat mudah dipantau di kalangan masyarakat Maluku Tengah lainnya, walau tidak dideskripsikan dengan ketelitian yang menyamai karya-karya Florey. Misalnya, di pantai selatan Pulau Seram bahasa yang dulunya dituturkan di empat kampung, sekarang hanya diketahui dan digunakan sekali-­sekali di satu kampung saja. Pada waktu penelitian tahun lalu, bahasa yang dulu dituturkan dengan meluas di Eti, Kaibobo, Waesamu danHatusua jarang digunakan di satu kampung saja, Kaibobo. Begitu juga, bahasa "Amahai" yang dulu dituturkan di Makariki, Amahai dan Rutah hanya digunakan di Rutah pada tahun 70 itupun hanya oleh orang yang berumur 40 tahun ke atas.
J.  Pergeseran Bahasa: Kasus Ruta  dan Tulehu

Pada hakikatnya, kini di Maluku Tengah proses perubahan afiliasi bahasa kelihatan terjadi tanpa hubungan dengan perpindahan lokasi maupun perpindahan agama. Kampung Tehoru di Pulau Seram dihuni 100 persen oleh masyarakat yang sudah ratusan tahun menganuti agama Islam. Tetapi di kampung ini juga peralihan loyalitas bahasa sudah disaksikan upaya, keadaan sedemikian juga sedang terjadi di kampung-kampung lain yang beragama Islam, termasuk  Rutah dan Tulehu.

Sejarah sosial dan perubahan penggunaan bahasa di dresa Rutah, sebuah kampung Islam asli Seram di pantai Selatan Pulau Seram, diterangkan dengan ringkas. Bahasa daerah tersebut digunakan dan dituturkan oleh semua orang yang lahir dan dibesarkan di kampung Rutah, termasuk orang yang tidak berketurunan Rutah, dan juga oleh kebanyakan orang yang berpindah ke Rutah dan mendiami kampung itu selama beberapa tahun. Namun, sejak 20 tahun lalu telah terjadi banyak perubahan sosial dan ekonomi, umpamanya dalam hal peluang dan sarana pendidikan, pola perkawinan, sumber ekonomi, sarana transportasi, migrasi pulang kampung serta fasilitas media massa. Nampaknya perubahan seperti ini telah berdampak kepada sikap terhadap bahasa dan pola penggunaan bahasa di kampung Rutah. Walaupun bahasa Rutah masih merupakan bahasa utama di kampung Rutah, pendatang yang pindah ke Rutah tidak berusaha menguasai bahasa Rutah lagi termasuk anak-anak Rutah yang pindah dari tempat lain (migrasi pulang kampung). Jadi, walaupun penutur bahasa Rutah dianggarkan melebihi 10.000 orang (Collins 2006d), peranan dan kedudukan bahasa Rutah kini merosot.

Baru-baru ini Musgrove (2005) juga melaporkan kemerosotan penggunaan bahasa daerah di Tulehu, yang juga merupakan kampung Ambon Asli Islam di Pulau Ambon. Bahkan, mungkin kemerosotan di Tulehu sudah lebih lanjut karena dilaporkan bahwa generasi muda (di bawah umur 10 tahun) tidak sanggup menggunakan bahasa Tulehu. Jadi walaupu jumlah penutur bahasa
Kontak bahasa dan perubahan bentuk gramatis di Maluku Tengah telah diuraikan, begitu juga laporan dari Maluku Tenggara, fenomena seperti kontak, pertukaran kod serta penyerapan kata dan bentuk gramatis tidak dilihat sebagai tanda mutlak kemerosotan bahasa, tetapi dengan adanya wawasan Musgrove (2005) ini mungkin data dulu itu harus disimak semula.

Sudah menjadi tanggung jawab seluruh masyarakat Maluku untuk mendokumentasikan dan mewarisi semua pengetahuan bahasa yang mereka ketahui kepada generasi-generasi baru supaya proses enkulturasi bahasa daerah ini tidak berhenti dan tidak punah begitu saja. Diharapkan tidak hanya orang-orang tua saja yang mengetahui dan dapat mengunakan bahasa daerah yang ada di dalam masyarakat. Inilah kiranya masa yang tepat untuk kalangan muda untuk turut serta bahkan mengambil alih peranan orang tua untuk terus mengembangkan dan menghidupkan budaya lisan yang ada di masyarakat setempat.
K.  Pelestarian Bahasa Daerah
Bahasa daerah sebagai kekayaan intelektual itu cenderung kurang disadari oleh masyarakat penutur bahasa itu, khususnya generasi mudanya, sehingga ketika ada komunikasi lain yang oleh generasi muda dinilai lebih efektif, bahasa daerah itu sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan. Banyaknya pemuda yang datang ke kota merupakan salah satu faktor penyebab terkendalanya pengembangan bahasa daerah itu karena mereka di tempat baru dengan anggota masyarakat yang beragam dituntut untuk menggunakan bahasa yang dapat komunikasi antaranggota masyarakat yang baru itu. Di samping itu, tingkat mobilitas masyarakat juga berpengaruh terhadap kelangsungan hidup bahasa daerah itu. Oleh karena itu, agar bahasa daerah tetap berkembang, perlu dilakukan langkah-langkah strategi dalam pengembangan bahasa daerah itu.
1.         Pengembangan

Langkah pertama yang harus dilakukan sebelum upaya pembinaan bahasa adalah pengembangan, yang meliputi penelitian berbagai aspek kebahasaan., inventarisasi, kodifikasi, dan dokumentasi.

2.         Penelitian

Penelitian berbagai aspek kebahasaan yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, dan wacana diperlukan untuk pengembangan korpus bahasa. Pengembangan korpus meliputi kodifikasi tata tulis atau ejaan, tata bahasa, penyusunan kamus, tata peristilahan, dan penyusunan buku ajar. Ejaan memudahkan penutur melambangkan bunyi-bunyi bahasa, menggabungkan, dan menuliskannya. Adanya ejaan yang disepakati bersama memungkinkan komunikasi secara tertulis antar anggota penutur bahasa daerah dapat beralatar lancar dan terminimalkan kemungkinan salah tafsir selama berkomunikasi secara tulis.

3.    Inventarisasi

Inventarisasi ini dilakukan dengan pendataan kosakata dasar, kosakata budaya, ungkapan, peribahasa, kosakata lainnya, dan cerita rakyat. Inventarisasi dilakukan untuk mengetahui seberapa banyak kekayaan kosakata suatu bahasa, persebaran bahasa, keragaman bahasa, jumlah penutur bahasa itu, dan pembuatan peta bahasa.
4.    Dokumentasi

Tata lulis, tata istilah, tata bahasa, kamus, peta bahasa, cerita rakyat yang sudah dibukukan merupakan bukti keberadaan suatu bahasa. Keberadaan dan kemudahan memperoleh bukti itu menunjukkan bahwa bahasa itu terpelihara dengan baik dan tingkat kepedulian pihak yang berkepentingan terhadap bahasa itu sangat tinggi.
L.  Kesimpulan


Pola prilaku masyarakat Ambon dan Maluku Tengah dalam hal sikap terhadap bahasa, baik bahasa daerah maupun bahasa Melayu Ambon, belum diketahui dengan jelas dan Yang jelas hanyalah kenyataan bahwa sebagian besar bahasa daerah di Maluku Tengah dituturkan oleh komunitas-komunitas yang kini menghadapai berbagai perubahan sosial ekonomi. Dapat dikatakan bahawa kini di Ambon terdapat sekurang-kurangnya 200,000 penutur bahasa Melayu Ambon sebagai bahasa pertama, bahkan mungkin sebagai satu-satunya bahasa komunikasi. Padahal kebanyakan masyarakat Maluku Tengah, pada masa lampau menggunakan bahasa lain iaitu salah satu bahasa daerah Maluku Tengah. Faktor yang mendorong perpindahan bahasa dan dalam hal ini yang mengakibatkan punahnya bahasa.
Pengembangan korpus meliputi kodifikasi tata tulis atau ejaan, tata bahasa, penyusunan kamus, tata peristilahan, dan penyusunan buku ajar, Inventarisasi ini dilakukan dengan pendataan kosakata dasar, kosakata budaya, ungkapan, peribahasa, kosakata lainnya. Tata lulis, tata istilah, tata bahasa, kamus, peta bahasa, cerita rakyat yang sudah dibukukan merupakan bukti keberadaan suatu bahasa. Keberadaan dan kemudahan memperoleh bukti itu menunjukkan bahwa bahasa itu terpelihara dengan baik dan tingkat kepedulian pihak yang berkepentingan terhadap bahasa itu sangat tinggi.
M.  Rekomendasi 
Saran yang perlu diperhatikan pemerintah (Departeman PendidikanNasional, termasuk Pusat Bahasa) terkait dengan pemberdayaan demi kelestarian keanekaragaman dan budaya bangsa Indonesia, maka perlu melaksanakan rekomendasi berikut:
1.      Pemerintah/DPR RI mengamandemen UUD RI Tahun 1945 Pasal36, menjadi dua ayat, yakni: Ayat (1) Bahasa Negara ialah bahasaIndonesia; Ayat (2) Keanekaragaman bahasa daerah dibina dandikembangkan sebagai aset pemasok kosakata bahasa nasional Indonesia. 
2.      Pemerintah daerah (pemda) segera menyusun peraturan daerah tentang pembinaan dan pengembangan bahasa daerah masing-masing sesuai kebutuhan daerah demi kelestarian bahasa, budaya dan kearifan lokal.
3.      Khususnya Pemda Provinsi Maluku dan atau Pemda Maluku Tengah diharapkan menghidupkan bahan pelajaran mulok bahasa daerah sesuai dengan kerangka dasar dan struktur kurikulum yang menjadi pedoman penyusunan KTSP dan standar isi 2006;