Pages

Jumat, 04 Maret 2016

PERBANDINGAN BAHASA NUSANTARA TEORI LINGUISTIK TENTANG BAHASA (MELAYU/NUSANTARA)



           Teori linguistik tentang Tanah Asal Bahasa Austronesia (Linguistic Theoris about Austrenesian Homeland) yang dikemukakan J. Anceaux:
Istilah Austronesia pada awalnya diberikan oleh ahli linguistik untuk menyebut suatu rumpun bahasa yang hampir secara mayoritas dituturkan di Asia Tenggara Kepulauan, Micronesia, Melanesia Kepulauan dan Polynesia. Pada perkembangannya, istilah Austronesia juga digunakan untuk menyebut suatu komunitas yang berbudaya Austronesia serta menuturkan bahasa Austronesia. Perhatian terhadap kajian rumpun bahasa Austronesia dapat dirunut hingga awal abad 16, ketika para pengembara mengumpulkan daftar kosa kata bahasa Austronesia dari tempat-tempat yang mereka kunjungi, seperti misalnya Antonio Pigafetta (seorang berkebangsaan Italia) yang ikut dalam ekspedisi Magellan 1519-1522 (Fox, 2004: 3). Kapten Cornelis de Houtman seorang kapten kapal Belanda yang berlayar menuju Hindia Timur (mendarat di Banten) melalui Madagaskar pada tahun 1596, mengamati berbagai kemiripan antara bahasa Malagasy dan bahasa Melayu (Tanudirjo, 2001:9).
William von Humboldt adalah tokoh yang pertama kali mengajukan istilah “Malayo-Polynesia” untuk menyebut bahasa-bahasa di kawasan Malaya sampai Polynesia yang memiliki kemiripan.
Pada tahun 1889, berdasarkan pada kajian linguistik yang detail dan sistematis, Hendrik Kern membagi rumpun bahasa “Malayo-Polynesia” menjadi bahasa “Malayo Polynesia Barat” yang terdiri dari bahasa-bahasa di Asia Tenggara Kepulauan serta Micronesia bagian barat, dan bahasa “Malayo-Polynesia Timur” yang terdiri dari bahasa-bahasa di Melanesia Kepulauan dan Polynesia. Kemudian pada tahun 1906, Wilhelm Schmidt memperkenalkan terminology “Austronesia”, untuk menyebut bahasa “Malayo-Polynesia”. Selain itu beliau juga mengajukan hipotesis bahwa pada masa lampau di Asia daratan terdapat bahasa “Austric” yang merupakan nenek moyang bahasa Austronesia dan Austroasiatic. Selain itu, di Asia Daratan juga terdapat beberapa rumpun bahasa besar lainnya, antara lain adalah; Indo-Eropa, Sino-Tibetan, Tai-Kadai, Altaic, Korea, dan Hmong Mien. Bahasa Austronesia kemudaian menurunkan bahasa-bahasa di Asia Tenggara Kepulauan dan Pasifik, sedangkan bahasa Austroasiatic berkembang menjadi dua rumpun besar bahasa yaitu; bahasa Mon-Khmer di Indochina dan bahasa Munda di India bagian timur (lihat: Anceaux, 1991:73 serta Blench dan Dendo, 2004: 13).
 Robert von Heine Geldern adalah ahli arkeologi yang pertama kali mengadopsi konsep budaya Austronesia dari para linguist. Beliau berpendapat bahwa luas persebaran budaya Austronesia ditunjukkan dengan persebaran kompleks budaya Vierkantbeil Adze, dengan ciri utamanya adalah kehadiran beliung berpenampang lintang persegi. Roger Duff kemudian melakukan kajian berdasarkan hasil penelitian Geldern. Beliau melakukan klasifikasi tipologi beliung persegi berdasarkan bentuk irisan, bentuk tajaman dan bentuk pangkal (Duff, 1970:8). Akhirnya Duff sampai pada kesimpulan bahwa persebaran komunitas Austronesia di Kepulauan Indonesia (kecuali Papua) yang didukung dengan pola subsistensi pertanian berasal dari Semenanjung Malaya bagian selatan. Hal tersebut tercermin oleh persebaran beliung paruh (Malayan Beacked Adze) dan belincung (Indonesian Pick Adze) (Duff, 1970:14). Ahli lainnya adalah Wilhelm G. Solheim II yang mengajukan teori bahwa wilayah geografis persebaran gerabah Sa-Huynh dan Kalanay di Asia Tenggara Kepulauan dan Lapita di Melanesia bagian barat memiliki hubungan dengan persebaran orang Austronesia. Namun, beliau mengajukan istilah Nusantara untuk menyebut kelompok orang Austronesia dan budayanya tersebut.
Persebaran Austronesia Sangat mengagumkan melihat persebaran rumpun bahasa Austronesia yang dituturkan pada hampir seluruh kawasan kepulauan Indo-Pasifik. Banyak ahli yang berpendapat bahwa persebaran rumpun bahasa Austronesia yang luas disebabkan oleh proses ekspansi komunitas penutur rumpun bahasa tersebut ke luar dari daerah asalnya. Hendrik Kern mencoba untuk mencari daerah asal persebaran bahasa Austronesia menggunakan metode pemilihan kosa kata sebagai bentuk bahasa Austronesia purba dari kosa kata yang maknanya bersangkutan dengan unsur-unsur flora, fauna dan lingkungan geografis. Hasil kajian tersebut membawa beliau pada suatu kesimpulan bahwa tanah asal nenek moyang rumpun bahasa Austronesia terletak di suatu pantai daerah tropis (Anceaux, 1991: 74-75, Blust, 1984-1985:47-49).
Robert Blust (1984-1985) seorang linguist, berusaha menyusun silsilah kekerabatan bahasa Austronesia dengan menggunakan metode “Wirter und Sachen Technique”, yaitu dengan menggunakan kosa kata sebagai dasar untuk menyimpulkan berbagai referensi yang diketahui oleh penutur bahasa yang direkonstruksi. Kosa kata tersebut juga digunakan sebagai dasar untuk merekonstruksi budaya dan lingkungan alam penutur bahasa yang direkonstruksi. Hasil reksonstruksi Blust adalah; nenek moyang bahasa Austronesia dituturkan di sekitar daerah yang tidak jauh dari Pulau Taiwan (Formosa) pada kurun sebelum 4.500 SM. Kemudian bahasa tersebut memisahkan diri menjadi bahasa Austronesia Formosa (Atayal, Tsou dan Paiwan) dan Proto Melayu-Polynesia (seluruh bahasa Austronesia di luar Taiwan) pada 4.500 SM. Melayu-Polynesia kemudian berkembang menjadi Melayu-Polynesia Barat dan Melayu-Polynesia Timur-Tengah pada 3.500 SM. Pada 3.000 SM, bahasa Melayu-Polynesia Barat berkembang menjadi bahasa-bahasa Austronesia di kawasan antara Filipina Selatan, Sumbawa bagian Barat dan Sumatra, sedangkan Melayu-Polynesia Timur-Tengah berkembang menjadi Melayu-Polynesia Tengah dan Melayu Polynesia Timur.
Akhirnya, pada 2.500 SM bahasa Melayu-Polynesia Timur berkembang menjadi bahasa Halmahera Selatan-Nugini Barat dan bahasa Oseania. Silsilah Rumpun Bahasa Austronesia (Blust, 1978) Saat ini berkembang beberapa teori persebaran Austronesia yang diajukan oleh para ahli dari berbagai sudut pandang yang berbeda, diantaranya adalah; The Express Train from Taiwan to Polynesia (Bellwood), The Taiwan Homeland concept (Reed), Island Southeast Asia Origin (Solheim), From South America via Kon Tiki (Heyerdahl), An Entangled Bank (Terrell), The Geneflow Model (Devlin), The Genetic Bottleneck in Polynesia (Flint), The Eden in the East concept (Oppenheimer), Voyaging Corridor Triple I account (Green) (lihat Chambers, 2006:303). Berdasarkan beberapa teori yang berkembang tersebut, pada intinya terdapat tiga kubu model persebaran Austronesia yang berbeda, yaitu; (1) Austronesia berasal dari Pulau Taiwan, (2) Austronesia berasal dari dari kawasan Asia Tenggara Kepulauan dan (3) Austronesia berasal dari dari kawasan Melanesia.
Diantara beberapa teori tersebut, salah satunya yang terkuat dan mendapat banyak dukungan dari berbagai sudut pandang keilmuan adalah model yang diajukan oleh Bellwood. Beliau menyarankan bahwa Austronesia berasal dari Taiwan dan Pantai Cina bagian selatan. Kawasan tersebut oleh berberapa ahli linguistik dianggap sebagai tempat asal bahasa proto-Austronesia. Disamping itu, secara arkeologis daerah tersebut menghasilkan bukti pola subsistensi bercocok tanam dan aspek budaya Austronesia lainnya yang paling tua di kawasan ini berupa beliung persegi dan gerabah, seperti yang ditemukan di situs Hemudu di Teluk Hangzou, Propinsi Zhejiang yang berumur 7000 tahun (Bellwood, 1995:97-98). Kolonisasi Austronesia di Jawa Pulau Jawa merupakan salah satu pulau yang paling padat penduduknya di Kepulauan Nusantara. Dari sudut pandang genetik dan linguisik, pada saat ini mayoritas penduduk Pulau Jawa adalah masyarakat dengan ciri genetik Mongoloid serta menuturkan bahasa yang termasuk dalam rumpun Austronesia. Sampai saat ini, penjelasan yang paling luas diterima bagi kasus penyebaran masyarakat penutur bahasa Austronesia adalah Blust-Bellwood model yang dibangun berdasarkan gabungan antara data linguistic historis dan arkeologi. Teori yang diajukan mereka disebut juga model Out of Taiwan atau Express Train from Taiwan to Polynesia yang intinya bahwa masyarakat penutur bahasa Austronesia berekspansi dari Taiwan sejak 5.000 BP menuju Asia Tenggara Kepulauan, Melanesia Kepulauan, Micronesia hingga Polynesia, dengan cepat selama satu millennium berikutnya via Filipina.
Pada masa sebelumnya, Taiwan dikoloni oleh sekelompok populasi petani dari daratan Cina Selatan via Pulau Peng Hu (Pascadores) pada sekitar 6.000 BP akibat tekanan demografi (Tanudirjo, 2006: 87). Persebaran Geografis Bahasa Austronesia (Diamond, 2000) Berdasarkan kajian linguistik, Robert Blust (1984/1985) berpendapat bahwa kelompok bahasa Jawa-Bali-Sasak memiliki hubungan yang erat dengan kelompok bahasa Malayo-Chamic dan Bahasa Barito di Kalimantan Selatan (termasuk Madagaskar). Beliau menduga bahwa proto kelompok bahasa-bahasa tersebut dituturkan di bagian tenggara Kalimantan pada periode 1000-1500 SM.
Kemudian mengalami pemisahan yang pertama menjadi nenek moyang Bahasa Barito, Bahasa Malayo-Chamic dan Bahasa Jawa-Bali-Sasak. Proses pemisahan berikutnya yang dialami oleh proto bahasa-bahasa tersebut terjadi pada 800-1000 SM. Namun proses pembentukan proto bahasa Jawa, Bali, Sasak dan Sumbawa bagian barat baru terjadi pada 2500 tahun terakhir yang kemungkinan berasal dari suatu daerah di Borneo atau Sumatra. Beberapa Permasalahan Berdasarkan kajian arkeologi, paket budaya neolitik yang dapat diasosiasikan dengan penyebaran komunitas Austronesia awal dari Taiwan antara lain adalah; pertanian padi-padian, domestikasi anjing dan babi, gerabah berdasar membulat berhias slip merah, cap, gores dan tera tali dengan bibir melipat ke luar, kumparan penggulung benang dari tanah liat, beliung batu dengan potongan lintang persegi empat yang diasah, artefak dari batu sabak (lancipan) dan nephrite (aksesoris), batu pemukul kulit kayu, serta batu pemberat jala.
Beberapa dari kategori tersebut, terutama gerabah slip merah berlanjut hingga Indonesia timur kemudian menuju Oseania dalam bentuk komplek budaya Lapita (3.350-2.800 BP) (lihat: Bellwood, 2000: 313 dan 2006: 68). Namun, bukti arkeologis tersebut di atas yang dapat digunakan untuk menguji hipotesis linguistik Blust masih sangat terbatas ditemukan di Pulau Jawa, sehingga proses awal penghunian pulau ini oleh masyarakat neolitik penutur bahasa Austronesia sampai sekarang masih menjadi misteri. Data arkeologis yang mengindikasikan adanya kolonisasi Austronesia di Jawa adalah persebaran berbagai macam tipologi beliung persegi yang telah dicatat oleh H.R van Heekeren (1974), antara lain dari daerah; Banten, Kelapa Dua, Pejaten, Kampung Keramat, dan Buni (Jakarta dan Tangerang), Pasir Kuda (Bogor), Cibadak, Cirebon, Tasikmalaya (Priangan), Pekalongan, Gunung Karangbolang (Banyumas), Semarang, Yogyakarta, Punung dan Wonogiri, Madiung, Surabaya, Madura, Malang, Kendeng Lembu dan Pager Gunung (Besuki). Namun sayangnya, sebagian besar dari temuan tersebut berasal dari laporan penduduk dan situs yang tidak jelas asalusulnya, kecuali beberapa situs yang saat ini telah di teliti secara intensif seperti misalnya Punung. Bukti arkeologis yang langsung dapat digunakan untuk mendukung hipotesis linguistik masih sangat sedikit yang ditemukan, sehingga proses awal penghunian Pulau Jawa oleh masyarakat penutur bahasa Austronesia sampai saat ini masih menjadi misteri.
Proses transformasi data arkeologi berpengaruh sangat besar bagi proses pembentukan dan ditemukannya bukti-bukti arkeologis tersebut. Mungkin keadaannya pada saat ini situs-situs neolitik awal di pantai utara Pulau Jawa telah terkubur beberapa meter di bawah endapan aluvial, sehingga sukar untuk ditemukan dan diteliti (Bellwood, 2000: 337). Hal tersebut disebabkan karena di pulau Jawa terdapat beberapa sungai besar yang bermuara ke pantai utara, antara lain adalah; Sungai Cisadane, Sungai Ciliwung dan Sungai Citarum di bagian barat, Sungai Kuto, Sungai Tuntang, dan Sungai Lusi di bagian Tengah, serta Sungai Bengawan Solo dan Sungai Brantas yang mengalir ke timur dan bermuara di Selat Madura. Permasalahan yang serupa mungkin juga terjadi pada situs-situs di pantai timur Sumatra yang diperkirakan menjadi lokasi pendaratan Austronesia di pulau tersebut.
Prospek Penelitian Untuk menyiasati permasalahan belum banyaknya bukti arkeologis akibat proses transformasi tersebut, maka harus dicari situs-situs di kawasan yang diperkirakan selamat dari proses pengendapan yang cepat oleh material alluvial kegiatan vulkanik beberapa gunung berapi yang dimulai sejak Jaman Kuarter. Data geologi dan geomorfologi memiliki peran yang sangat penting dalam hal ini. Selain itu juga perlu diperhatikan perubahan tinggi muka air laut pada masa lampau. Berdasarkan pada indicator biogenic dan inorganic untuk merekonstruksi muka air laut pada masa lampau, dapat dikatahui bahwa di Semenanjung Malaysia dan Thailand yang gerak tektoniknya stabil, muka air laut lebih tinggi 5 meter dari muka air laut sekarang yang terjadi pada 5.000 BP (lihat: Tjia, 2006). Jika hal ini juga terjadi di pantai utara Jawa, maka situs-situs pendaratan Austronesia antara 3.000-2.500 BP harus dicari pada kawasan pantai yang konturnya lebih tinggi dari 3-4 meter di atas permukaan laut saat ini. Berdasarkan pada persyaratan tersebut di atas, maka beberapa kawasan pantai utara Pulau Jawa bagian tengah dan timur yang memiliki potensi sebagai lokasi pendaratan Austronesia adalah pantai-pantai di sepanjang Semenanjung Blambangan, Tuban, Semarang dan Batang.
Oleh karena itu, harus dicari situs permukiman neolitik terbuka di sekitar kawasan pantai-pantai tersebut. Metode pencarian data dari bidang keilmuan lain mungkin sangat membantu dalam hal ini, seperti geoelektrik misalnya yang berguna untuk membantu menemukan garis pantai masa lampau sesuai dengan kronologi yang diinginkan (3.000-2.500 BP untuk awal pendaratan Austronesia di Pulau Jawa berdasarkan hipotesis linguistik). Punung Purbalingga, Kendenglembu Kondisi Geomorfologi Pulau Jawa, dan Hipotesis pendaratan Austronesia Mahirta (2006) mengembangkan beberapa model migrasi-kolonisasi yang diajukan oleh Moore untuk diujikan pada kasus persebaran Austronesia. Beliau berpendapat bahwa di Kepulauan Indonesia bagian timur terdapat dua macam pola permukiman prasejarah Austronesia, yaitu (1) permukiman tersebar di sepanjang pantai jika mengkoloni pulau yang tidak terlalu besar, seperti misalnya Pulau Kayoa dan Pulau Gebe di Maluku Utara dan (2) permukiman berkembang memanjang ke pedalaman sejajar dengan alur sungai, seperti misalnya situs-situs Kalumpang di Sulawesi Barat dan permukiman tradisional etnis Dayak di Kalimantan yang masih bisa kita saksikan hingga saat ini (lihat: Mahirta, 2006).
 Sebagai referensi lainnya, pada situs-situs Austronesia awal di Cina daratan dan Taiwan, rupa-rupanya telah dikenal sistem pemukiman menetap, dan berkelompok di tempat terbuka dalam bentuk perkampungan. Situs-situs pemukiman rumah panggung antara lain terdapat di Xitou, Kequitou dan Tanshishan di Fujian, situs Hemudu di Zhejiang dan di Guangdong. Situs-situs tersebut berumur 5200 dan 4200 SM. Rumah-rumah tersebut berdenah persegi yang dibangun dengan teknik lubang dan pasak yang amat rapi dan didirikan di atas deretan tumpukan kayu kecil. Kemudian pada masa selanjutnya muncul situs desa seluas 40-80 hektar di Peinan yang bertarik 1500 dan 800 SM. Situs rumah panggung juga terdapat di Feng pi tou di Taiwan yang dihuni 2500-500 SM dan situs Dimolit di Luzon utara, yang dihuni 2500-1500 SM (Bellwood, 2000: hlm. 309, 315, 319, dan 323). Di Pasifik, pola permukiman budaya Lapita pada umumnya terdiri atas beberapa rumah panggung yang berada di pinggir pantai atau pulau kecil diseberangnya, seperti di Kepulauan Mussau dengan luas 7 hektar. Indikasi mengenai situs tersebut biasanya ditandai dengan sebaran pecahan gerabah, tungku dari tanah, dan bekas perapian (Spriggs, 1995: 118).
Berdasarkan data linguistik, kosa kata Austronesia mengenai rumah dan unsurunsurnya permukiman lainnya ditemukan di seluruh kawasan barat dan timur persebaran bahasa ini. Bahkan kata *Rumaq (Ind. Rumah) telah muncul sejak awal perkembangan bahasa Austronesia di Taiwan (Blust, 1984-1985: 220). Sedangkan berdasarkan bukti etnografi, sampai saat ini sistem permukiman terbuka tradisional dengan rumah panggung masih banyak ditemukan pada masyarakat tradisional Austronesia, seperti: Rumah Gadang (Minangkabau), Lamin (Dayak), Tongkonan (Toraja). Implikasi Banyak situs permukiman neolitik telah ditemukan di Indonesia, dan beberapa diantaranya telah dilakukan penelitian secara intensif, seperti misalnya; Tipar Ponjen, Purbalingga (1.180-870 BP), Nangabalang, Kalimantan Barat (2.871 BP), Minanga Sipakko, Sulawesi Barat (2.570 BP) dan Punung, Pacitan (2.100-1.100 BP) (Simanjuntak, 2002). Namun dari beberapa situs tersebut hanya Situs Kendenglembu di Pulau Jawa, yang merupakan satu di antara dua (yang baru ditemukan) kompleks situs permukiman pure (murni) neolitik di Indonesia berdasarkan kerangka kronologi (bukan tradisi).
Situs sejenis lainnya adalah situs-situs di sepanjang Sungai Karama, Kalumpang di Sulawesi Barat, mulai dari Tasiu, Sikendeng dan Lattibung di hilir hingga Minanga Sipakko, Kamassi dan Tambing-tambing di hulu (lihat: Simanjuntak 2006). Namun, berbeda dengan situs-situs Kalumpang yang terletak di sepanjang Sungai Karama dari hilir hingga hulu, Situs Kendenglembu merupakan situs pedalaman di selatan Jawa bagian timur yang kelihatannya tidak memiliki akses sungai menuju ke pantai utara Jawa, tempat diperkirakannya awal pendaratan Austronesia di pulau ini. Walaupun demikian, melihat perkembangan yang cukup signifikan dari hasil penelitian Situs Kalumpang, maka perlu juga dilakukan penelitian secara sistematis di Situs Kendenglembu dan eksplorasi situs-situs permukiman terbuka neolitik lainnya di pantai utara, yang diperkirakan merupakan situs koloni awal (pendaratan) Austronesia di Pulau Jawa, sebagai cikal bakal atau nenek moyang etnis Jawa di pulau ini.

KONSEP KETERKAITAN PENDIDIKAN SPIRITUAL EMOSIONAL DAN INTELEKTUAL DALAM MEMBANGUN KEPRIBADIAN PESERTA DIDIK



A.  Latar Belakang
Hidup adalah perbuatan”, demikianlah kata Sutrisno Bachir. Hidup itu adalah pilihan demikian kata yang lain. Dan masih banyak lagi definisi-definisi subyektif tentang kehidupan ini. Namun yang terpenting, bahwa hidup adalah memperjuangkan apa yang menjadi nilai-nilai kehidupan itu sendiri. Para pahlawan menjalani kehidupannya untuk memperjuangkan sebuah nilai kemerdekaan sejati.
Para ilmuwan menjalani kehidupannya untuk memperjuangkan sebuah nilai kebenaran pengetahuan dan pembelajaran. Dan masih banyak lagi contoh-contoh pemaknaan dari kehidupan yang kesemuanya itu sebenarnya menjelaskan hakikat kehidupan itu sendiri. Nilai-nilai kehidupan itu beraneka ragam, namun pada dasarnya ia hanya terbagi menjadi dua bagian besar yaitu nilai kebaikan dan nilai keburukan. Setiap individu diciptakan Tuhan bebas untuk menentukan jalan hidupnya berdasarkan pada nilai-nilai kehidupan yang ada. Implikasinya, manusia pasti akan mencari tahu nilai-nilai kehidupan itu, baik melewati proses internalisasi dan pembelajaran dari pengalaman yang ia alami. Sehingga sampai ada pepatah yang mengatakan “pengalaman adalah guru yang paling baik”.
Ketika manusia telah mengetahui nilai-nilai kehidupannya, maka saat itulah hati sanubarinya akan bersuara memberikan pilihan atas nilai-nilai tersebut. Pemahaman dan penghayatan yang dilakukan akan membawanya kepada kearifan hidup yang berujung pada munculnya sikap hidup yang sesuai dengan nilai kehidupan. Dengan demikian, manusia akan menjadi baik manakala ia menginternalisasi nilai-nilai kehidupan yang baik. Sebaliknya, manusia akan menjadi buruk ketika ia menginternalisasi nilai-nilai kehidupan yang buruk. Maka dari itu, dalam makalah ini akan kami bahas mengenai perkembangan nilai, moral dan sikap manusia. Pembahasan ini meliputi definisi; karakteristik; faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan dan upaya pengembangan nilai, moral dan sikap; dan upaya pengembangannya.
Pendidikan adalah cermin kepribadian bangsa, hal ini tentunya esensial dengan amanat UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah “menciptakan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Yuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Tapi apa yang terjadi pada penerapannya sistem pendidikan pada saat ini yang lebih berorientasi pada pengembangan kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) saja, dimensi kecerdasan yang lain seperti kecerdasan spiritual (SQ) di marginalkan. Padahal, Kecerdasan Intelektual (IQ) dan Kecerdasan Emosional (EQ) sudah kita pahami pengertiannya serta bagaiamana keduanya apabila bersinergi. Namun apabila kedua kecerdasan terebut tidak disinergikan dengan SQ maka bisa berakibat fatal. SQ sendiri bukanlah menjadi “ahli petapa”, duduk termenung dan diam menikmati indahnya spiritualitas.
Seseorang bisa saja sukses dengan mempunyai kecerdasan IQ dan SQ, seorang penipu atau yang lebih popular saat ini adalah para koruptor, tentunya dia harus cerdas dan jago bersrategi, untuk itu diperlukan IQ. Sementara untuk uji “timing” dalam pelaksanaan strategi, bernegosiasi, berkomunikasi, dan mampu merebut hati orang agar mau di ajak berspekulasi dan berkompromi dengannya di perlukanlah EQ. semangat juang tinggi, mereka selalu tampak prima dan percaya diri namun niat dan ahklaknya sangat buruk, itulah bentuk IQ, EQ bila tidak memiliki SQ.
Bahkan menurut sebuah penelitian, kunci terbesar seseorang adalah dalam EQ yang dijiwai dengan SQ. Banyak orang yang di PHK bukan karna tidak mampu melakukan pekerjaan dengan baik, bukan karna tidak mampu mengoprasikan sesuatu dan bukan karna tidak mampu berkomunikasi dengan baik namun karna mereka tidak memiliki intergritas, tidak jujur, tidak bertangung jawab dan tidak amanah pada pekerjaanya. Itu karena mereka tidak mempunyai keseimbangan dalam tiga kecerdasan IQ , EQ, dan SQ. Ketiga kecerdasan ini, terutama Kecerdasan Spiritual (SQ) harus di sinergikan dengan kondisi pendidikan pada saat ini sehingga kepribadian peserta didik dapat terbentuk dengan baik.

B.  Perkembangan Spiritual Peserta Didik
Spiritual adalah suatu ragam konsep kesadaran individu akan makna hidup, yang memungkinkan individu berpikir secara kontekstual dan transformatif sehingga kita merasa sebagai satu pribadi yang utuh secara intelektual, emosional, dan spiritual. Kecerdasan spiritual merupakan sumber dari kebijaksanaan dan kesadaran akan nilai dan makna hidup, serta memungkinkan secara kreatif menemukan dan mengembangkan nilai-nilai dan makna baru dalam kehidupan individu. Kecerdasan spiritual juga mampu menumbuhkan kesadaran bahwa manusia memiliki kebebasan untuk mengembangkan diri secara bertanggung jawab dan mampu memiliki wawasan mengenai kehidupan serta memungkinkan menciptakan secara kreatif karya-karya baru.
Sedangkan ingersol dalam Desmita menyatakan, spiritualitas sebagai wujud karakter spiritual, kualitas atau sifat dasar dan upaya dalam berhubungan atau bersatu dengan tuhan. Sehingga dapat diartikan bahwa, kecerdasan spiritual sebagai bagian dari psikologi memandang bahwa seseorang yang beragama belum tentu memiliki kecerdasan spiritual. Namun sebaliknya, bisa jadi seseorang yang humanis-non-agamis memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi, sehingga sikap hidupnya inklusif, setuju dalam perbedaan (agreeindisagreement), dan penuh toleran. Hal itu menunjukkan bahwa makna "spirituality" (keruhanian) disini tidak selalu berarti agama atau bertuhan. Sehingga dari kuti-kutipandiatas penulis memilih judul proses perkembangan moral dan spiritual peserta didik karena, proses merupakan suatu hal yang sangat penting, dimana sangat menentukan hasil atau mencapai puncak dan akhirnya.

C.  Makna Perkembangan Spiritual Peserta
Didik Echoks dan Shadily dalam Desmiata berpendapat bahwa, kata spiritual berasal dari bahasa Inggris yaitu ”spirituality”. Kata dasarnya “spirit” yang berarti roh, jiwa, semangat. Sedangkan Ingersoll dalam Desmiata berpendapat bahwa, kata spiritual berasal dari kata latin “spiritus” yang berarti, luas atau dalam (breath), keteguhan hati atau keyakinan (caorage), energy atau semangat (vigor), dan kehidupan.
Kata sifat spiritual berasal dari kata latinspiritualis yang berarti ”of the spirit” (kerohanian) Menurut Aliah dan purwakaniahasan dalam Desmita menyatakan spiritualitas memiliki ruang lingkup dan makna pribadi yang luas, dengan kata kunci sebagai berikut : a. Meaning(makna). Makna merupakan sesuatu yang signifikan dalam kehidupan manusia, merasakan situasi, memiliki dan mengarah pada suatu tujuan. b. Values (nilai-nilai). Nilai-nilai adalah kepercayaan, standar dan etika yang dihargai. c. Transcendence (transendensensi). Transendensi merupakan pengalaman, kesadaran dan penghargaan terhadap dimensi transendental bagi kehidupan di atas diri seseorang. d. connecting (bersambung). Bersambung adalah meningkatkan kesadaran terhadap hubungan dengan diri sendiri, orang lain, tuhan dan alam. e. Becoming (menjadi). Menjadi adalah membuka kehidupan yang menuntut refleksi dan pengalaman, termasuk siapa seseorang dan bagai mana seseorang mengetahui.
Dari kutipan diatas dapat diartikan bahwa perkembangan spiritual adalah jiwa seorang manusia memiliki semangat dan memiliki kepercayaan yang dalam terhadap diiri sendiri, orang lain, tuhan dan alam, yang terjadi karena pengalaman dan kesadaran dalam kehidupan diatas diri seseorang. Sedangkan pendapat Fowler dalam Desmita (2009:279) menyebut spiritual atau kepercayaan suatu yang universal, ciri dari seluruh hidup, tindakan pengertian diri semua manusia, entah mereka menyatakan diri sebagai manusia yang percaya dan orang yang berkeagamaan atau sebagai orang yang tidak percaya sebagai apapun.

D.  Kecerdasan Spiritual Pada Peserta Didik
Kecerdasan spiritual dibutuhkan oleh setiap individu dalam menjalani kehidupan, termasuk anak-anak dan remaja. Kecerdasan spritual merupakan inti yang dapat menggerakan kecerdasan lainnya. Kecerdasan spiritual merepresentasikan motif dasar individu dalam pencarian makna sebagai makhluk. Stephen Covey mengungkapkan bahwa
Spiritual Intelligence is the central and most fundamental of all the intelligence because it becomes the source of guidance of the other three. Spiritual intelligence represents our drive for meaning and connection with infinite”.
Pendapat tersebut menegaskan bahwa kecerdasan spiritual merupakan jembatan yang menghubungkan, menyeimbangkan perkembangan dimensi-dimensi kecerdasan lain yang secara fitrah telah diberikan oleh Yang Maha Pencipta. Selain itu Danah Zohar dan Ian Marshall mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk menghadapai persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan prilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. Dalam ESQ, kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberikan makna spiritual terhadap pemikiran, prilaku dan kegiatan, serta mampu menyinergikan IQ, EQ, dan SQ dengan komperhensif. Oleh karena itu, setiap individu perlu mengembangkan dan meningkatkan kualitas kecerdasan spiritual sebagai salah satu kecakapan hidup yang harus dimiliki.
Perkembangan spiritualitas merupakan proses yang bersifat kontinum dan dinamis, spiritualitas dalam konteks perkembangan anak merupakan proses perkembangan kesadaran mengenai hakikat dan keberadaan diri, orang lain dan lingkungan, serta seluruh alam semesta.
Konsep interkoneksi tiga kompenen dari Search-Institute (2008) menjelaskan bahwa konsep perkembangan spiritual anak merupakan proses yang bersifat konstan namun sekaligus proses dinamis yang berkesinambungan. Artinya, setiap orang pasti mengalami proses perkembangan spiritual, akan tetapi berbeda dalam proses dan pencapaiannya, hal tersebut akan dipengaruhi oleh interkoneksi ketiga komponen utama dari perkembangan spiritual, yaitu:
1)      Kesadaran,
2)      Perasaan saling memiliki dan terhubung satu dengan yang lain, dan
3)      Pandangan dan cara hidup.
Ketiga komponen tersebut akan saling terhubung dalam proses perkembangan spritual anak, akan tetapi perkembangan tiga komponen tersebut akan sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana individu tumbuh dan berkembang.
Komponen kesadaran  merupakan keadaan dimana individu menjadi lebih peka terhadap keberadaan dirinya, orang lain, dan keseluruhan ciptaan, sebagai wujud dari pencapaian identitas, makna, dan tujuan hidup sebagai makhluk. Komponen rasa saling memiliki dan merasa saling terhubung, adalah sikap untuk selalu mencari, menerima, atau terbuka terhadap pengalaman yang berhubungan dengan interaksi dengan sesama yang mengembangkan kesadaran saling membutuhkan antar sesama manusia, serta kesadaran saling membutuhkan dengan unsur kehidupan lainya, seperti alam, masyarakat, nilai, dan makhluk hidup lainnya, dari perkembangan komponen ini akan mengantarkan pada kesadaran akan kekuatan Sang Maha Pencipta, yang akan memperteguh keyakinan yang akan diwariskan dari waktu kewaktu. Komponen pandangan dan cara hidup, merupakan cara individu mengekspresikan jati diri, hasrat, nilai, pengembangan hubungan dengan sesama, aktivitas-aktivitas yang dipilih untuk membentuk diri sendiri, keluarga, komunitas, masyarakat, dan dunia yang lebih luas, serta pandangan hidup dan pengorbanan.
Berbagai paparan konsep mengenai spiritualitas di atas dapat dipahami bahwa spiritualitas merupakan kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu yang diperlukan dalam menjalani proses kehidupan. Dalam hal ini, Spiritualitas juga memiliki dampak positif terhadap kehidupan remaja, berdasarkan penelitian. Peneliti telah menemukan bahwa berbagai aspek agama terkait dengan hasil yang positif bagi remaja.
Agama juga memiliki peran dalam kesehatan remaja dan masalah prilaku mereka Kebanyakan remaja yang religious menerapkan pesan kasih sayang dan kepedulian terhadap sesama. Spiritualitas dalam konteks perkembangan anak merupakan proses perkembangan kesadaran mengenai hakikat dan keberadaan diri, orang lain dan lingkungan, serta seluruh alam semesta. Perkembangan spiritualitas juga ditandai dengan kemampuan untuk menjalin hubungan dengan sesama, dan mengembangkan hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa atau kekuatan yang berada di luar dirinya. Spiritualitas juga membantu anak untuk bisa mengekspresikan identitas diri, nilai-nilai dalam proses menjalin hubungan dengan sesama.
            Dalam kecerdasan spiritual yang dialami peserta didik juga, kita dapat melihat satu persatu tanda-tanda dari SQ yang telah berkembang dengan baik mencakup hal-hal berikut untuk menguji SQ peserta didik
a)      Kemampuan bersikap fleksibel (adaptif secara spontan dan aktif).
b)      Tingkat kesadaran diri yang tinggi.
c)      Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan.
d)     Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai.
e)      Kemampaun untuk menghadapi melampaui rasa sakit.
f)       Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu.
g)      Kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal.
h)      Kecenderungan nyata untuk bertanya “mengapa” atau “bagaimana jika” untuk mencari jawaban-jawaban yang mendasar.  
i)        Menjadi apa yang disebut oleh para psikolog sebagai bidang mandiri yaitu memiliki kemudahan untuk bekerja melawan konvensi.
Melalui penggunaan kecerdasan spiritual peserta didik secara utuh terlatih dan melalui kejujuran dan keberanian diri yang dibutuhkan bagi pelatih semacam itu, kita dapat terhubung kembali dengan sumber dan makna terdalam dalam diri peserta didik, peserta didik dapat menggunakan perhubungan itu untuk mencapai tujuan dan proses yang jauh lebih luas.
Perkembangan kecerdasan spiritual akan erat kaitannya dengan perkembangan spiritual, perkembangan penghayatan keagamaan, dan perkembangan keyakinan, serta berbagai aspek perkembangan  lainnya.
Hal ini senada dengan penjelasan  Abin Syamsuddin yang menyatakan bahwa perkembangan perilaku keagamaan dalam satu paket dengan perkembangan perilaku sosial dan moralitas. Bahkan, dijelaskan bahwa perkembangan penghayatan keagamaan sejalan dengan perkembangan moralitas dan erat kaitannya dengan perkembangan intelektual, emosional, dan volisional (konatif). Hal ini dimungkinkan karena secara potensial (fitriah) manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon) dan makhluk beragama.
Kecerdasan spiritual berkembang bersama fungsi-fungsi kehalusan perasaan (afektif) disertai  kejernihan akal budi (kognitif). Kedua fungsi tersebut mendorong individu untuk mengalami, mempercayai, bahkan meyakini dan menerima tanpa keraguan tentang adanya kekuatan yang Mahaagung yang melebihi apapun termasuk dirinya. Proses inilah yang disebut penghayatan keagamaan atau disebut juga pengalaman religi (the religious experiences).
Perkembangan pengahayatan keagamaan dalam sudut pandang Brigtman (Abin Syamsuddin, merupakan pengakuan atas keberadaan (the excistence of great power) dan mengakui-Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur yang eternal (abadi) yang mengatur tata hidup manusia dan alam semesta raya ini.
Pendapat tersebut di atas, menegaskan bahwa perkembangan kecerdasan spiritual sejalan dengan aspek perkembangan lainnya, antara lain perkembangan kognitif, emosi, moral, dan penghayatan keagamaan.  Hyde (Hood, Jr. et.al, 2009: 77) memaparkan bahwa untuk mengkaji perkembangan spiritualitas dan penghayatan keagamaan harus juga mengkaji perkembangan kognitif, “The study of religion in childhood and adolescence has been dominated for thirty years by investigations of the process by which religious thinking develops”. Gagasan ini didasarkan pada asumsi bahwa perkembangan penghayatan keagamaan berhubungan dengan kemampuan individu mencerna dan memaknai informasi, yang menjadi ranah perkembangan kognitif.
Mempertegas konsep perkembangan penghayatan keagamaan, Abin Syamsuddin (2007: 109) menjelaskan bahwa secara kualitatif, karakteristik perkembangan penghayatan keagamaan masa anak sekolah, yaitu rentang 7-8 tahun sampai 11-12 tahun, ditandai dengan.
1.      Sikap keagamaan bersifat reseptif disertai dengan pengertan;
2.      Pandangan dan paham ketuhanan diperolehnya secara rasional berdasarkan kaidah-kaidah logika yang berpedoman pada indikator alam semesta sebagai manifestasi dari keagungan-Nya;
3.      Penghayatan secara rohaniah semakin mendalam, pelaksanaan kegiatan ritual diterimanya sebagai keharusan moral.
Terkait dengan hal ini menjelaskan dengan lebih ekstrim“Although Piaget is no longer held on a pedestal, his influence remains considerable. For many, it is hard to think of religious development in other than cognitive terms”. Sekalipun teori perkembangan kognitif dari Piaget dikembang dengan landasan yang kurang kuat, akan tetapi pengaruhnya sangat besar terhadap perkembangan kognitif dan aspek lainnya, bahkan untuk beberapa alasan, agak sulit mengkaji perkembangan penghayatan keagamaan tanpa menggunakan kajian perkembangan kognitif.
Salah satu teori perkembangan spiritual yang dikembangkan berdasarkan pada teori Piaget digagas oleh Fowler, James W.F (Aliah, 2006:297), teori perkembangan spiritual dalam konteks teori perkembangan Fowler dikenal dengan faith development, dipandang sebagai inti dari perkembangan kecerdasan spiritual. Teori Fowler menjelaskan bahwa sepanjang rentang kehidupan manusia, keimanan sebagai orientasi holistik yang menunjukkan adanya hubungan antara individu dengan alam semesta akan mengalami tahap perkembangan (stages of faith development).
Fowler mengkategorikan perkembangan spiritual menjadi beberapa tahapan, anak usia sekolah dasar akan berada pada tiga tahap (rentang) usia perkembangan keimanan, yaitu 0-7 tahun, 7-11 tahun, dan 11-20 tahun. Pada setahun awal usia anak sekolah dasar, yaitu di usia tujuh tahun masih dikategorikan dalam tahap praoperasional. Pada tahap ini kepercayaan (keimanan) masih bersifat intuitif-proyektif. Ciri karakteristik keimanan masih menganggap khayalan sebagai realitas. Berkaitan dengan hakikat kebenaran, anak pada usia ini akan konsekuen terhadap dirinya sendiri, namun masih memperbandingkan antara sikap percaya dan tidak percaya.
Pada usia tujuh sampai sebelas tahun, yaitu usia yang dianggap murni pada rentang sekolah dasar, dikategorikan dalam tahap pra sampai konkrit operasional. Pada tahap ini kepercayaan (keimanan) bersifat Mythical-Literal. Karakteristik keimanan merupakan hasil penerjemahaman kisah agama secara literal. Berkaitan dengan hakikat kebenaran, anak pada usia ini meyakininya dalam wujud keadilan.
Adapun pada dua tahun terakhir usia sekolah dasar, yaitu usia sebelas sampai dengan tiga belas tahun, dikategorikan pada rentang sebelas sampai dengan dua puluh tahun, yaitu pada tahap formal operasional dan moralitas konvensional. Pada tahap ini, kepercayaan (keimanan) sudah bersifat sintetik-konvensional. Biasanya, karakteristik keimanan individu diwujudkan dalam bentuk kepatuhan terhadap kepercayaan orang lain. Kebenaran ada pada apa yang dikatakan orang lain.
Dalam hal ini, peserta didik dapat menjadikan SQ pedoman saat peserta didik berada diujung masalah eksistensial yang paling menantang dalam hidup berada diluar yang diharapkan dan dikenal, di luar aturan-aturan yang telah diberikan, melampaui pengalaman masa lalu, dan melampaui sesuatu yang kitahadapi. SQ memungkinkan memungkinkan untuk menyatukan hal-hal yang bersifat intrapersonal dan interpersonal serta menjembatani kesenjangan antara diri sendiri dan orang lain. Dan peserta didik biasanya menggunakan kecerdasan spiritual saat:
a.       Siswa selaku peserta didik behadapan dengan masalah eksistensial seperti saat siswa merasa terpuruk, khawatir, dan masalah masa lalu akibat penyakitdan kesedihan. SQ menjadikan siswa sadar bahwa siswa mempunyai masalah eksistensial yang membuat siswa mampu mengatasinya, atau setidak-tidaknya siswa dapat berdamai dengan masalah tersebut, SQ memberikan siswa rasa yang dalam menyangkut perjuangan hidup.
b.      Siswa menggunkannya untuk menjadi kreatif, siswa menghadirkannya ketika ingin menjadi luwes, berwawasan luas, atau spontan secara kreatif.
c.       Siswa dapat menggunakan SQ untuk menjadi cerdas secara spiritual dalam beragama, SQ membawa siswa kejantung segala sesuatu, kekesatuan di balik perbedaan, ke potensi di balik ekspresi nyata. 
d.      Siswa menggunakan SQ untuk mencapai perkembangan diri yang lebih utuh karena siswa memiliki potensi untuk itu.
e.       Kecerdasan spiritual memberi siswa suatu rasa yang dapat menyangkut perjuangan hidup.

E. Karakteristik Perkembangan Spiritual
Karakteristik perkembangan spiritualitas anak usia sekolah Tahap mythic-literalfaith, yang dimulai usia 7-11 tahun. Menurut Fowler dalam desmita, berpendapat bahwa tahap ini, sesuai dengan tahap perkembangan kognitifnya, anak mulai berfikir secara logis dan mengatur dunia dengan kategori -kategori baru. Pada tahap ini anak secara sistematis mulai mengambil makna dari tradisi masyarakatnya, dan secara khusus menemukan koherensi serta makna pada bentuk-bentuk naratif. Sebagai anak yang tengah berada dalam tahap pemikiran operasional konkret, maka anak usia sekolah dasar akan memahami segala sesuatu yang abstrak dengan interpretasi secara konkret.
Hal ini juga berpengaruh terhadap pemahaman mengenai konsep-konsep keagamaan. Dengan demikian, gagasan-gagasan keagamaan yang bersifat abstrak yang tadinya dipahami secara konkret, seperti tuhan itu satu,tuhan itu amat dekat, tuhan ada di mana-mana, mulai dapat di pahami secara abstrak.
 Karakteristik perkembangan spiritualitas remaja Dibandingkan dengan masa awal anak-anak misalnya keyakinan agama remaja telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Kalau pada awal masa anak-anak ketika mereka baru memiliki kemampuan berfikir simbolik Tuhan dibayangkan sebagai person yang berada di awan, maka pada masa remaja mereka mungkin berusaha mencari sebuah konsep yang lebih mendalam tentang Tuhan dan eksistensi. Perkembangan pemahaman terhadap keyakinan agama sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya. Oleh sebab itu, meskipun pada masa awal anak-anak ia telah diajarkan agama oleh orang tua mereka, namun karena pada masa remaja mereka mengalami kemajuan dalam perkembangan kognitifnya.
Mungkin mereka mempertanyakan tentang kebenaran keyakinan agama mereka sendiri. Menurut Muhammad Idrus dalam Desmita pola kepercayaan yang dibangun remaja bersifat konvensional, sebab secara kognitif, efektif dan sosial, remaja mulai menyesuaikan diri dengan orang lain yang berarti baginya (significantothers) dan dengan mayoritas lainya.

F. Perkembangan Spiritual Terhadap Pendidikan
Untuk mengembangkan spiritual, pendidikan sekolah formal yang di tuntut untuk membantu peserta didik dalam mengembangkan spiritual mereka, sehingga mereka dapat menjadi manusia yang religius. Sejatinya pendidikan tidak boleh menghasilkan manusia bermental benalu dalam masyarakat, yakni lulusan pendidikan formal yang hanya menggantungkan hidup pada pekerjaan formal semata. Pendidikan selayaknya menanamkan kemandirian, kerja keras dan kreatifitas yang dapat membekali manusianya agar bisa survaydan berguna dalam masyarakat.
Strategi yang mungkin dilakukan guru di sekolah dalam membantu perkembangan spiritual peserta didik yaitu sebagai berikut:
a.       Memberikan pendidikan keagamaan melalui kurikulum tersembunyi, yakni menjadi sekolah sebagai atmosfer agama secara keseluruhan.
b.      Menjadikan wahana yang kondusif bagi peserta didik untuk menghayati agamanya, tidak hanya sekedar bersifat teoritis, tetapi penghayatan yang benar-benar dikontruksi dari pengalaman keberagamaan.
c.       Membantu peserta didik mengembangkan rasa ketuhanan melalui pendekatan spiritual paranting,seperti:
1.      Memupuk hubungan sadar anak dengan tuhan melalui doa setiap hari.
2.       Menanyakan kepada anak bagaimana tuhan terlibat dalam aktivitasnya sehari-hari.
3.      Memberikan kesadaran kepada anak bahwa tuhan akan membimbing kita apabila kita meminta.
4.      Menyuruh anak merenungkan bahwa tuhan itu ada dalam jiwa mereka dengan cara menjelaskan bahwa mereka tidak dapat melihat diri mereka tumbuh atau mendengar darah mereka mengalir, tetapi tahu bahwa semua itu sungguh-sungguh terjadi sekalipun mereka tidak melihat apapun.

G.  Proses Perkembangan Spiritual Peserta Didik
Teori Fowler dalam Desmita mengusulkan tahap perkembangan spiritual dan keyakinan dapat berkembang hanya dalam lingkup perkembangan intelektual dan emosional yang dicapai oleh seseorang. Dan ketujuh tahap perkembangan agama itu adalah:
1.      Tahap prima faith. Tahap kepercayaan ini terjadi pada usia 0-2 tahun yang ditandai dengan rasa percaya dan setia anak pada pengasuhnya. Kepercayaan ini tumbuh dari pengalaman relasi mutual. Berupa saling memberi dan menerima yang diritualisasikan dalam interaksi antara anak dan pengasuhnya.
2.      Tahap intuitive-projective, yang berlangsung antara usia 2-7 tahun. pada tahap ini kepercayaan anak bersifat peniruan, karena kepercayaan yang dimilikinya masih merupakan gabungan hasil pengajaran dan contoh-contoh signitif dari orang dewasa, anak kemudian berhasil merangsang, membentuk, menyalurkan dan mengarahkan perhatian sepontan serta gambaran intuitif dan proyektifnya pada ilahi.
3.      Tahap mythic-literalfaith, Dimulai dari usia 7-11 tahun. pada tahap ini, sesuai dengan tahap kongnitifnya, anak secara sistematis mulai mengambil makna dari tradisi masyarakatnya. Gambaran tentang tuhan diibaratkan sebagai seorang pribadi, orangtua atau penguasa, yang bertindak dengan sikap memerhatikan secara konsekuen, tegas dan jika perlu tegas.
4.      Tahap synthetic-conventionalfaith, yang terjadi pada usia 12-akhir masa remaja atau awal masa dewasa. Kepercayaan remaja pada tahap ini ditandai dengan kesadaran tentang simbolisme dan memiliki lebih dari satu cara untuk mengetahui kebenaran. Sistem kepercayaan remaja mencerminkan pola kepercayaan masyarakat pada umumnya, namun kesadaran kritisnya sesuai dengan tahap operasional formal, sehingga menjadikan remaja melakukan kritik atas ajaran-ajaran yang diberikan oleh lembaga keagamaan resmi kepadanya. Pada tahap ini, remaja juga mulai mencapai pengalaman bersatu dengan yang transenden melalui simbol dan upacara keagamaan yang dianggap sakral. Simbol-simbol identik kedalaman arti itu sendiri. Allah dipandang sebagai “pribadi lain” yang berperan penting dalam kehidupan mereka. Lebih dari itu, Allah dipandang sebagai sahabat yang paling intim, yang tanpa syarat. Selanjutnya muncul pengakuan bahwa allah lebih dekat dengan dirinya sendiri. Kesadaran ini kemudian memunculkan pengakuan rasa komitmen dalam diri remaja terhadap sang khalik
5.      Tahap individuative- reflectivefaith, yang terjadi pada usia 19 tahun atau pada masa dewasa awal, pada tahap in8i mulai muncul sintesis kepercayaan dan tanggung jawab individual terhadap kepercayaan tersebut. Pengalaman personal pada tahap ini memainkan peranan penting dalam kepercayaan seseorang. Menurut Fowler dalam Desmita (2009:280) pada tahap ini ditandai dengan:
a.       Adanya kesadaran terhadap relativitas pandangan dunia yang diberikan orang lain, individu mengambil jarak kritis terhadap asumsi-asumsi sistem nilai terdahulu.
b.      Mengabaikan kepercayaan terhadap otoritas eksternal dengan munculnya “ego eksekutif” sebagai tanggung jawab dalam memilih antara prioritas dan komitmen yang akan membantunya membentuk identitas diri.
6.      Tahap Conjunctive-faith, disebut juga paradoxical-consolidationfaith, yang dimulai pada usia 30 tahun sampai masa dewasa akhir. Tahap ini ditandai dengan perasaan terintegrasi dengan simbol-simbol, ritual-ritual dan keyakinan agama. Dalam tahap ini seseorang juga lebih terbuka terhadap pandangan-pandangan yang paradoks dan bertentangan, yang berasal dari kesadaran akan keterbatasan dan pembatasan seseorang.
7.      Tahap universalizing faith, yang berkembang pada usia lanjut. Perkembangan agama pada masa ini ditandai dengan munculnya sistem kepercayaan transcidental untuk mencapai perasaan ketuhanan, serta adanya desentralisasi diri dan pengosongan diri. Peristiwa-peristiwa konflik tidak selamanya dipandangan sebagai paradoks, sebaliknya, pada tahap ini orang mulai berusaha mencari kebenaran universal. Dalam proses pencarian kebenaran ini, seseorang akan menerima banyak kebenaran dari banyak titik pandang yang berbeda serta berusaha menyelaraskan perspektifnya sendiri dengan perspektif orang lain yang masuk dalam jangkauan universal yang paling tua.

H.   Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Spiritual
a.       Pembawaan (internal) Setiap manusia yang lahir, baik yang masih primitif, bersahaja, maupun yang sudah modern, baik yang lahir di Negara komunis maupun kapitalis, baik dari orang tua yang saleh maupun yang jahat, menurut fitrah kejadiannya mempunyai potensi beragama atau keimanan kepada Tuhan atau percaya adanya kekuatan di luar dirinya yang mengatur yang mengatur hidup dan kehidupan alam semesta. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia memiliki fitrah untuk mempercayai suatu zat yang mempunyai kekuatan baik memberikan sesuatu yang bermanfaat maupun yang mudhorot (mencelakakan). Dalam perkembangannya, fitrah beragama ini ada yang berjalan secara alamiah dan ada yang mendapat bimbingan dari rasul dan Allah SWT, sehingga fitrah itu berkembang sesuai kehendak Allah SWT.
b.      Lingkungan (eksternal) Fitrah beragama merupakan potensi yang mempunyai kecenderungan untuk berkembang. Namun perkembangan itu tidak akan terjadi manakala tidak ada faktor luar yang memberikan stimulus yang memungkinkan fitrah itu berkembang sebaik-baiknya. · Keluarga Keluarga merupakan lingkungan yang pertama dan utama bagi anak aleh karena itu kedudukan keluarga dalam pengembangan kepribadian anak sangatlah dominan. Dalam mengembangkan fitrah beragama, ada beberapa hal yang perlu menjadi kepedulian orang tua, sebagai berikut :
1.      Sebaiknya orang tua memiliki kepribadian yang baik atau berakhlakulkarimah. Kepribadian orang tua merupakan unsur- unsur pendidikan yang tidak langsung memberikan pengaruh terhadap perkembangan fitrah beragama anak.
2.      Orang tua hendaknya memperlakukan anak dengan baik
3.      Orang tua hendaknya membina hubungan yang harmonis antara anggota keluarganya
4.      Orang tua hendaknya membimbing, mengajarkan, atau melatihkan ajaran perkembangan kepribadian agama terhadap anaknya · Sekolah Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang mempunyai program yang sistematik dalam melaksanakan bimbingan, pengajaran dan latihan kepada anak (siswa) agar mereka berkembang sesuai dengan potensinya. Menurut Hurlock pengaruh sekolah terhadap perkembangan kepribadian anak sangat besar, karena sekolah merupakan substitusi dari keluarga dan guru-guru substitusi dari orang tua. Dalam upaya mengembangkan fitrah beragama para siswa, sekolah terutama guru agama mempunyai peranan yang sangat penting dalam mengembangkan wawasan pemahaman, pembiasaan pengamalan ibadah atau akhlak mulia, maka guru agama hendaklah memiliki karakteristik sebagai berikut :
1.      Kepribadian yang mantap, seperti jujur, bertanggung jawab, komitmen terhadap tugas, disiplin dalam bekerja dan respek terhadap siswa
2.      Menguasai disiplin ilmu terutama bidang yang akan diajarkan, minimal materi yang terkandung dalam kurikulum
3.      Memahami ilmu-ilmu lain yang relevan untuk menunjang kemampuannya dalam mengelola proses belajar mengajar.
4.      Masyarakat Implikasi Tugas Perkembangan Remaja dalam Penyelenggaraan Pendidikan 1. Tugas-tugas perkembangan remaja 2. Tugas perkembangan merupakan suatu tugas yang muncul pada suatu periode tertentu dalam rentang kehidupan manusia, apabila tugas itu dapat berhasil dituntaskan akan membawa kebahagiaan dan kesuksesan dalam menuntaskan tugas berikutnya, sementara apabila gagal maka akan menyebabkan ketidakbahagiaan pada diri individu yang bersangkutan, menimbulkan penolakan masyarakat, dan menimbulkan kesulitan dalam menuntaskan tugas-tugas berikutnya. 3. Tugas perkembangan berkaitan dengan sikap, perilaku dan keterampilan yang seyogyanya dimiliki oleh individu Munculnya tugas-tugas perkembangan bersumber pada faktor-faktor : 1. Kematangan fisik, misalnya, belajar berjalan karena kematangan otot-otot kaki, belajar bertingkah laku dan bergaul sesama jenis atau dengan lain jenis karena kematangan organ-organ seksual 2. Tuntutan masyarakat secara kultural, misalnya belajar membaca, belajar menulis, belajar berhitung, belajar berorganisasi 3. Tuntutan dari dorongan dan cita-cita individu sendiri, misalnya memilih pekerjaan, memilih teman hidup 4. Tuntutan norma agama, misalnya taat beribadah kepada Allah, berbuat baik kepada sesama manusia.
I.     Pengaruh Kecerdasan Emosi dan Spiritual Dalam Perkembangan Pribadi Pserta Didik
Daniel Goleman adalah salah seorag yang mempopulerkan jenis kecerdasan manusia lainnya yang dianggap sebagai faktor penting yang dapat mempengaruhi terhadap prestasi seseorang, yaki kecerdasan emosional, yang kemudian kita mengenalnya dengan sebulan emosional Quotient (EQ). Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merujuk pada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dnegan orang lain.
Dalam bukunya, Ary Ginanjar Agustian menyebutkan dimensi spiritual (SQ) dibentuk oleh ihsan (perilaku baik), dimensi mental (EQ) dibangun oleh 6 prinsip rukun iman (the principle of faith). Sedangkan aktifitas fisik dibimbing, diarahkan dan dikendalikan oleh 5 langkah rukun Islam (the principle of Islam). Ketika formula yang disampaikan oleh Ary Ginanjar diaplikasikan dalam perkembangan pribadi sosial pada anak, tentunya sangat berpengaruh positif. Konsep 6 rukun iman dan 5 rukun Islam adalah sebuah metode yang mengajarkan sebuah tanggung jawab moral dan sosial pada kehidupan pribadi dan sosial anak dimana awal perkembangan pribadi sosial anak bergantung pada sistematika kepribadian secara terstruktur dengan pola-pola yang sekiranya memberikan dampak positif pada perkembangannya.
Emosional lebih dominan dalam mengatur dan menangani perasaan yang bermuatan emosi. Antara EQ dan SQ sangat menpunyai peranan penting dalam pengembangan maupun perkembangan pribadi dan sosial pada anak, karena hal itu merupakan satu kesatuan yang mengatur pola sikap “bagaimana” anak seharusnya menghadapi dirinya sendiri (aspek pribadi) dan juga menghadapi orang lain (aspek sosial).
Keterkaitan antara kecerdasan emosional dan spiritual (ESQ) tidak dapat dilepaskan dalam kehidupan pribadi dan sosial anak, Muhibbin Syah memberikan pandangannya tentang keterkaitan tersebut bahwa perilaku moral pada umumnya merupakan unsur fundamental dalam bertingkah laku sosial. Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan merumuskan beberapa tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek pribadi-sosial salah satunya adalah memiliki komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, baik dalam  kehidupan pribadi, keluarga, pergaulan dengan teman sebaya, sekolah, tempat kerja, maupun masyarakat pada umumnya. Maka dalam hal ini tentulah kcerdasan emosional dan spiritual (ESQ) mempunyai sumbangsih kepada perkembangan pribadi sosial pada anak antara lain:
1.      Memberi kesadaran agar bersikap rendah hati.
2.      Memberi keyakinan terhadap sosok yang diagungkan sehingga bisa mengilhami untuk menjadi pribadi yang baik dalam kehidupan pribadi sosial.
3.      Memberi motivasi untuk selalu mengatur, mengendalikan serta mengontrol emosi negatif agar perkembangan tetap seimbang.
4.      Memberi langkah-langkah sikap yang patut untuk mengembangkan pribadi dan sosial yang sesuai dengan yang dikehendaki.
K. Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi dan Spiritual dalam Perkembangan Pribadi Sosial Pada Anak
1. Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional merupakan sebuah domain dari trait. Kecerdasan emosional di pengaruhi beberapa faktor, baik faktor yang bersifat pribadi, sosial ataupun gabungan beberapa faktor. Terdapat banyak faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosioal.
Dibawah ini diberikan dua teori penyebab/faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional berdasarkan teori Goleman dan Agustin.
Menurut Goleman terdapat dua faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional, yaitu:
Faktor internal
Faktor internal merupakan faktor yang timbul dari dalam diri individu yang dipengaruhi oleh keadaan otak emosional seseorang. Otak emosional dipengaruhi oleh amygdala, neokorteks, sistem limbik, lobus prrefrontal dan hal-hal yang berada pada otak emosional.
Faktor Eksternal
Faktor eksternal, merupakan faktor yang datang dari luar individu dan mempengaruhi atau mengubah sikap pengaruh luar yang bersifat individu dapat secara perorangan, secara kelompok, antara individu dipengaruhi kelompok atau sebaliknya, juga dapat bersifat tidak langsung yaitu melalui perantara misalnya media massa baik cetak maupun elektronik serta informasi yang canggih lewat jasa satelit.
Sedangkan menurut Agustian faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional, yaitu:
Faktor psikologis
Faktor psikologis merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu. Faktor internal ini akan membantu individu dalam mengelola, mengontrol, mengendalikan dan mengkoordinasikan keadaan emosi agar termanifestasi dalam perilaku secara efektif. Menurut Goleman (2007) kecerdasan emosi erat kaitannya dengan keadaan otak emosional.
Bagian otak yang mengurusi emosi adalah sistem limbik. Sistem limbik terletak jauh dalam hemisfer otak besar dan terutama bertanggung jawab atas pengaturan emosi dan impuls. Peningkatan kecerdasan emosi secara fisiologis dapat dilakukan dengan puasa. Puasa tidak hanya mengendalikan dorongan fisiologis manusia, namun juga mampu mengendalikan kekuasaan impuls emosi. Puasa yang dimaksud salah satunya yaitu puasa sunah Senin Kamis.
Faktor pelatihan emosi
Kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang akan menciptakan kebiasaan, dan kebiasaan rutin tersebut akan menghasilkan pengalaman yang berujung pada pembentukan nilai (value). Reaksi emosional apabila diulang-ulang pun akan berkembang menjadi suatu kebiasaan. Pengendalian diri tidak muncul begitu saja tanpa dilatih. Melalui puasa sunah Senin Kamis, dorongan, keinginan, maupun reaksi emosional yang negatif dilatih agar tidak dilampiaskan begitu saja sehingga mampu menjaga tujuan dari puasa itu sendiri. Kejernihan hati yang terbentuk melalui puasa sunah Senin Kamis akan menghadirkan suara hati yang jernih sebagai landasan penting bagi pembangunan kecerdasan emosi.
Faktor pendidikan
Pendidikan dapat menjadi salah satu sarana belajar individu untuk mengembangkan kecerdasan emosi. Individu mulai dikenalkan dengan berbagai bentuk emosi dan bagaimana mengelolanya melalui pendidikan. Pendidikan tidak hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga di lingkungan keluarga dan masyarakat. Sistem pendidikan di sekolah tidak boleh hanya menekankan pada kecerdasan akademik saja, memisahkan kehidupan dunia dan akhirat, serta menjadikan ajaran agama sebagai ritual saja. Pelaksanaan puasa sunah Senin Kamis yang berulang-ulang dapat membentuk pengalaman keagamaan yang memunculkan kecerdasan emosi. Puasa sunah Senin Kamis mampu mendidik individu untuk memiliki kejujuran, komitmen, visi, kreativitas, ketahanan mental, kebijaksanaan, keadilan, kepercayaan, peguasaan diri atau sinergi, sebagai bagian dari pondasi kecerdasan emosi.

            2. Kecerdasan Spiritual
Menurut Syamsu Yusuf (2002: h.136) ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan keadaan spiritual anak, yaitu faktor pembawaan (internal) dan lingkungan (ekstrnal) adapaun penjelasannya yaitu:
Faktor Pembawaan (internal)
Secara hakiki perbedaan manusia dengan binatang adalah manusia mempunyai fitrah beragama. Oleh sebab itu manusia disebut juga dengan homo religius. Fitrah beragama ni tidak memilih kapan manusia tersebut itu berada dan dilahirkan. Dari zaman yang masih primitif sampai modern, setiap anak yang lahir dari rahim orangtua yang baik ataupun jahat, bahwasanya secara kodrati setiap manusia memiliki kepercayaan terhadap sesuatu yang berada di luar kekuasaannya yang memiliki kekuatan untuk mengatur kehidupan alam semesta.
Dalam masyarakat primitif sering kita jumpai melalui bukti-bukti peninggalan prasejarah. Adanya kepercayaan terhadap roh-roh gaibyang dapat memberikan kebaikan atau kejahatan. Semua hal tersebut diperlihatkan melalui pemberian saji-sajian (bahasa sunda sesajen) yang dibuat untuk mengusir ataupun meminta tolong kepada roh-roh yang mereka percayai. Selain itu benda-benda yang dianggap keramat, seperti keris, atau batu juga seringkali mereka percayai sebagai benda yang memiliki kekuatan-kekuatan yang dapt mendatangkan kebaikan bagi dirinya sendiri. Tidak heran jika mereka mengeramatkannya. Bahkan, dikalangan mesyarakat modern pun masih ada yang percaya terhadp hal-hal yang bersifat takhayul tersebut. Melihat kenyataan di atas maka tidak bisa dipungkiri bahwa setiap manusia yang lahir telah memiliki kepercayaan terhadap suatu zat yang mempunyai kekuatan untuk mendatangkan kebaikan ataupun kemudhoratan (mencelakakan).
Faktor Lingkungan (eksternal)
Fitrah beragam merupakan salah satu potensi yang memiliki kecenderungan untuk berkembang ke arah yang lebih baik lagi. Namun potensi tersebut tidak akan berkembang manakala tidak ada faktor luar (eksternal) yang turut serta mewarnai pertumbuhan dan perkembangan setiap individu. Jika kita menginginkan potensi beragama setiap anak berkembang ke arah yang lebih baik, tentu kita harus dapat menkondisikan situasi dan lingkungan yang ada disekitar mengarah kepada hal tersebut untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Disini lingkungan yang dimaksud menurut Syamsu Yusuf yaitu, keluarga, sekolah, dan masyarakat. Adanya keserasian antara keluarga, sekolah, dan masyarakat akan dapat memberikan dampak positif bagi anak, termasuk dalam pembentukan jiwa keagamaan dalam diri anak. Adapun penjelasana dari masing-masing lingkungan adalah sebagai berikut :
1. Lingkungan keluarga
Keluarga merupakan lingkungan yang pertama dan utama bagi setiap anak. Tentunya dalam hal ini orangtua menjadi orang yang paling bertanggungjawabdalam menumbuhkembangkan kecerdasan beragam pada anak. Para orangtua dibebankan tanggungjawab untuk membimbing potensi keagamaan anak sehingga diharapkan akan terbentuk kesadaran beragama (religious consciousness) dan pengalaman agama (religious experience) dalam diri anak-anak secara nyata dan benar. Anak-anak diberi bimbingan sehingga mereka tahu kepada siapa mereka harus tunduk dan bagaimana tatacara sebagai bentuk pernyataan dan sikap tunduk tersebut. Tentunya pembentukan jiwa keagamaan ini haruslah dimulai sejak anak dalam kandungan sampai ia lahir.
2. Lingkungan Sekolah
Lingkungan sekolah merupakan lingkungan kedua bagi anak setelah keluarga. Karena hampir setengah hari anak menghabiskan waktunya bersama teman dan gurunya di sekolah. Tentunya segala sesuatu yang ada di sekolah akan menjadi model bagi anak untuk ditiru. Seperti yang diungkapkan Hurlock(1959: h.561) bahwa pengaruh sekolah terhadap perkembangan kepribadian anak sangat besar, karena sekolah merupakan subtitusi dari keluarga dan guru-guru subtitusi dari orangtua.
Hal ini menggambarkan bahwa guru merupakan orangtua kedua bagi anak-anak. Peran guru di sekolah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi seluruh perkembangan anak, baik kognitif, sosial, emosi maupun afektif. Sayangnya masih banyak sekolah yang lebih menitikberatkan perkembangan anak secara akademik dengan mengukur kecerdasan setiap anak melalui deretan angka sebagai salah satu ukuran perbandingan antara anak yang satu dengan yang lainnya.
Tentunya hal tersebut harus dijadikan bahan pemikiran bagi seluruh guru sebagai penanggungjawab pendidikan bagi anak untuk tetap menggali seluruh potensi dan kecerdasan anak sesuai dengan tahapan perkembangannya. Karena sekolah adalah lembaga pendidikan formal yang mempunyai program sistemik dalam melaksanakan pengajaran, bimbingan dan latihan kepada anak agar mereka berkembang sesuai dengan potensinya.
Dalam kaitan mengembangkan fitrah keagamaan dalam diri anak, maka gur waji memberikan keteladanan dan perkataan, sikap maupun perbuatan yang baik serta cara berpakaian yang sesuai dengan ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari. Semua itu akan lebih efektif jika semua guru dan staf di sekolah dapat merefleksikanya melaui pembiasaan yang dimulai dari diri sendiri. Selain itu diperlukan juga guru agama yang memiliki kepribadian yang mantap (akhlak mulia), menguasai disiplin ilmu agama islam, dan memahami ilmu-ilmu yang lain yang menunjang kemampuannya dalam mengelola proses belajar mengajar. Namun bukan berarti pengembangan kecerdasan beragama hanyalah menjadi tanggungjawab guru agama saja. Melainkan juga menjadi tanggungjawab guru bidang studi laing dengan cara tetap menyisipkan nilai-nilai agama dalam seluruh proses belajar mengajar setiap hari.
3. Lingkungan Masyarakat.
Selain faktor keluarga dan sekolah, lingkungan masyarakat jua turut mempengaruhi perkembangan kecerdasan beragama pada anak. Lingkunan masyarakat yang dimaksud meliputi lingkungan rumah sekitar anak sebagai tempat bermain, televisi, serta mediacetak seperti buku cerita maupun komik yang paling banyak digemari oleh anak-anakusia dini. Menurut syamsu Yusuf lingkungan masyarakat adalah situasi atau kondisi interaksi sosial dn sosiokultural yang secara potensial berpengaruh terhadap perkembangan fitrah beragama atau kesadaran beragama individu. Dalam msayarakt akan terbentuk suatu perilaku yang dominan pada setiap individu karena adanya interaksi sosialyang terjadi antara teman sebaya maupun dengan anggota masyarakat lainnya. Pada diri anak akan muncul perilaku baik ataupun tidak baik tergantung seberapa besar lingkungan sekitarna mempengaruhi dalam pergaulan sehari-hari. Karena pada dasarnya anak cepat sekaliterpengaruh oleh hal-hal yang ia lihat, dengar dan rasakan.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Hurlock yang mengemukakan bahwa standar atau aturan-aturan ‘gang’ (kelompok bermain) memberikan pengaruh kepada pandangan moral dan tingkah laku para anggotanya”. Disini dapat dikemukankan bahwa kualitas perkembangan kesadaran beragama bagi anak sangat bergantung pada kualitas perilaku atau pribadi orang dewasa atau warga masyarakat. Jika anak sering bergaul dengan lingkungan yang kurang baik, maka bukan tidak mungkin anak akan berperilaku sama dengan apa yang ia lihat dan dengar dalam kehidupan sehari-harinya.
Selain manusia sebagai faktor yang mempengaruhi perkembangan beragama anak, media cetak dan televisi juga turut serta memberikan andil besar dalam mewarnai pertumbuhan anak dalam lingkungannya.