A. Latar
Belakang
Cinta terhadap tanah air
bisa kita lakukan dengan cara Melestarikan Dan Menjaga Kebudayaan Indonesia.
Kebudayaan dapat dilestarikan dalam dua bentuk yaitu: Culture Experience merupakan pelestarian budaya yang dilakukan dengan cara terjun langsung
kedalam sebuah pengalaman kultural serta Culture Knowledge merupakan pelestarian
budaya yang dilakukan dengan cara membuat suatu informasi mengenai kebudayaan
yang dapat difungsionalisasi kedalam banyak bentuk.
Arus budaya utama (main stream) telah
menggiring orang-orang Indonesia untuk turut ambil bagian dalam budaya global, yang sebagian
besar didominasi oleh standar budaya Barat. Indonesia memiliki kearifan lokal
yang kaya berasal dari berbagai suku bangsa yang ada, kearifan lokal tersebut
menjadi padangan hidup yang mendasari berbagai pola perilaku dan tindakan
setiap masyarakat Indonesia. Kearifan lokal lahir sebagai respon terhadapan
fenomena globalisasi yang seolah-olah berupaya untuk menyeragamkan manusia ke
dalam pola-pola budaya yang sama.
Indonesia adalah
wilayah yang luas, terdiri dari berbagai pulau kecil maupun Pulau besar.
Nusantara mempunyai keanekaragaman suku dan juga bahasa yang membina budaya yang
majemuk, masyarakat Indonesia menggunakan bahasa Indonesia
bagai bahasa komunikasi sehari-hari. Walaupun demikian,
masyarakat Indonesia masih menggunakan bahasa daerah yang menjadi ciri khas dari daerah
masing-masing.
Jauh di timur Nusantara, tepatnya di daerah Maluku,
terdapat berbagai adat-istiadat dan bahasa. Malahan diperkirakan di Maluku saja
terdapat 80 bahasa yang berbeda-beda. Dari jumlah komunitas yang menggunakan bahasa daerah itu,
walaupun sekian banyak bahasa yang ada, namun hampir tidak ada yang
dideskripsikan; hal ini disebabkan
kurangnya perhatian terhadap kelestarian bahasa daerah , untuk daerah Maluku sebagai wilayah kepulauan ini berbeda-beda bahasanya dan
sesungguhnya tidak semua penduduk di pulau-pulau itu menggunakan bahasa yang
sama dan berbagai desa menggunakan dialek yang berlainan pula. Namun, semua
mengerti bahasa Melayu, karena perdagangan (Collins 2003).
Bahasa di Maluku adalah
bahasa tanpa tulisan atau kepustakaan. Bahasa di Seram (Alune dan Wemale)
terbagi atas 35 dialek yang berlainan dan jelas serumpun dengan bahasa asli
Amboina. Data tersebut menunjukkan betapa rumitnya bahasa di daerah ini yang menurut para ahli bahasa di Maluku Tengah termasuk dalam kelompok Ambon-Timor
(salah satu dari 16 kelompok) dari anak rumpun Indonesia dalam rumpun bahasa
Melayu-Polinesia. (Cooley, 1987).
Peneliti bahasa yang umumnya para sarjana barat yang dipakai oleh kolonial Belanda untuk memetakan bahasa daerah di Maluku, menyimpulkan bahwa
awalnya penduduk menggunakan satu bahasa asli dari Seram (bahasa Alune atau
Wemale). Perbedaan kecil mulai terjadi dalam berbahasa akibat banyaknya
pendatang dan terpencarnya penduduk ke pulau-pulau lain di Maluku. Akibat dari
lemahnya bahasa asli yang digunakan penduduk pada awal tersebut dimana bahasa
dimaksud tidak memiliki tulisan atau kepustakaan. Penduduk pada periode itu
semua sibuk dengan perdagangan dan tentu ada perebutan wilayah dimana perang
terus berlangsung diantara penduduk.
Dalam perkembangan
selanjutnya tercatat bahwa lingkungan Kristen dimana desa mereka sebagian besar
pada pesisir pantai mengalami punahnya penguasaan bahasa daerah lebih cepat,
hal ini karena Bahasa Melayu dengan cepat diterima secara sistematis dan luas
yakni pada lembaga gereja dan sekolah. Penutur asli bahasa hanya terpelihara
pada mereka yang berusia tua sedangkan anak-anak muda mencoba menghindar untuk
menggunakannya. Lebih parah lagi gereja ingin membaharui konsep pandang
anggotanya dari penyembahan adat yang menggunakan bahasa daerah dengan
penyebaran teologi yang lebih terbuka dengan bahasa Melayu. Bisa terjadi salah
paham antara yang mau menggunakan bahasa daerah setempat dengan para
fungsionaris gereja yang menentang adat dalam ritual gerejawi. Akhirnya
pemangku adat menyerah dan posisi pemimpin gereja dalam lingkungan pemeluk
Kristen lebih tinggi dan sangat dihormati daripada seorang pemimpin adat atau
kepala desa.
Sayangnya penyelidikan
mengenai bahasa daerah kurang
dijalankan, walaupun memang ada sedikit tulisan, misalnya sarjana Jerman
seperti Tauern dan Niggemeyer memperlihatkan pengkajian mereka mengenai sastera
yang ada di daerah Maluku, walaupun yang diperlihatkan hanya dari segi adat dan kepercayaan. Namun tiga puluh tahun terakhir ini sastera daerah dan bahasa
daerah jarang kelihatan dalam penelitian.
B. Perumusan
Masalah
Dri latar belakang permasalah yang di
atas penulis merumuskan permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini
adalah
1.
Bagaimana gambaran umum kondisi kebahasaan dan kebudayaan lokal di Maluku
Tengah?
2.
Mengapa bahasa daerah Maluku Tengah perlu dipertahankan dalam upaya
pelesetarian kearifan budaya lokal di Indonesia?
C. Tujuan
Dan Manfaat Penulisan
Tujuan dari
penulisan ini adalah untuk:
1.
Memberikan sedikit informasi mengenai khazanah ilmu dalam hal bahasa.
2.
Secara
secara umum tulisan ini
bermaksud untuk mendokumentasikan bahasa yang ada di wilaya Maluku Tengah serta kajian ini juga penting sebagai usaha melestarikan
bahasa daerah yang semakin ditinggalkan oleh penuturnya.
Manfaat dari penulisan ini adalah
untuk menggambarkan
bahasa sebagai khasana
kebudayaan masyarakat yang
berda Maluku Tengah: Menyumbangkan wawasan untuk menjaga
kelestarian bahasa yang ada di Indonesia
Timur, khususnya Maluku. Terungkap sedikit informasi mengenai deskripsi khayalan, bayangan, konsep dan pahaman mengenai masyarakat, bahasa yang dituturkan dalam kalangan masyarakat Maluku, dan gambaran mengenai kehidupan sosial budaya yang berkembang di kalangan
masyarakat Maluku.
D. Metode
Studi Pustaka
Metode yang dipakai dalam kajian ini ialah metode
deskriptif menurut Sedarmayanti dan Hidayat (2002) dan metode refleksi-interpretatif, menurut Sudaryanto (dalam Muhammad, 2011:257.258). Dengan metode
deskriptif, penulis melihat data sebagaimana adanya; dengan kata lain data yang
diambil adalah data alamiah yang selanjutnya dideskripsikan.
E. Teori Bahasa
Saussure (1979) mengemukakan istilah langue dan parole. Langue mencakup
pengertian mengenai konsep yang dikandung dalam suatu bahasa termasuk
kaedah-kaedahnya yang milik bersama masyarakat pemakai bahasa yang dikuasai dan
diwariskan secara turun-temurun, sedangkan Parole
mengandung pengertian pengungkapan bahasa yang berbentuk tuturan perseorangan.
Di samping itu, bahasa juga merupakan sesuatu yang konkrit.
Munurut Sapir (1921), bahasa merupakan suatu kaedah yang bukan naluri
untuk manusia menyampaikan ide, emosi, dan keinginan melalui ciptaan
simbol-simbol yang lahir secara sadar. Sapir juga menghuraikan bahwa pentingnya
pengetahuan lokal atau perspektif emik sebagai salah satu alat penjelasan dan
penafsiran atas data kebahasaan. Bahasa memiliki seperangkat peraturan yang
dikenali oleh penuturnya, perangkat inilah yang menentukan struktur apa yang
diucapkannya berdasarkan struktur yang disebut tata bahasa bahasa itu terdiri
dari simbol-simbol yang arbiterari untuk berkomunikasi sesama manusia, kerana
manusia sama-sama memiliki perasaan, gagasan, dan hasrat
Definisi ini berbeda dengan definisi Sapir, sebab definisi ini
menanamkan ciri-ciri arbitrari dengan jelas dan menghadkan bahasa kepada bahasa
percakapan saja. Menurut Hymes (1989), bahasa mesti dilihat sebagai perkara
yang tidak berasingan atau terpisah daripada sistem sosial dan budaya lisan
yang beroperasi dalam sebuah masyarakat. Dengan menganggap bahasa adalah
sebahagian yang bersepadu sifat daripada organisasi sosio-budaya serta
perlakuan. Secara umum, Hymes berpendapat bahwa pendekatan berbagai disiplin ilmu amat penting dalam
penyelidikan bahasa. Berdasarkan pendekatan demikian, Hymes menganjurkan
penelitian yang melihat bahasa bukan sebagai sesuatu yang terpisah atau sebagai
hubungan kait yang abstrak daripada masyarakat yang menuturnya, tetapi sebagai
sesuatu yang terbentuk dalam keadaan dan pola keadaan yang sentiasa berubah.
Untuk mengungkapkan teori sosioliguistiknya,
Setelah para ahli sepakat menyataka bahwa bahasa adalah
“alat” dalam berkomunikasi, sebagai alat tentunya ada yang menggunakan alat
tersebut sehingga ia dapat dimanfaatkan (sebagai komunikasi). Dalam hal ini
pengguna atau pemanfaat bahasa adalah manusia (terlepas kajian ada tidaknya
bahasa juga digunakan oleh hewan) yang selanjutnya disebut sebagai penutur.
Orang atau manusia yang mendengar atau yang menjadi lawan pentur disebut dengan
“lawan tutur” atau “pendengar” atau “lawan bicara”. Dalam interaksi antara
penutur dan lawan tutur inilah timbul beberapa perilaku berdasarkan pemikiran
masing-masing sehingga lahirlah kebiasaan atau budaya. Budaya dan kebiasaan ini
akan berbeda tergantung siapa dan di mana bahasa atau pengguna bahasa itu
berada.
Bahasa sebagai hasil
budaya atau kultur mengandung nilai-nilai masyarakat penuturnya. Dalam bahasa misalnya, terdapat ungkapan berbunyi mengandung nilai ajaran. Penelitian Dede
Oetomo pada tahun 1987 (Sumarsono dan Partana, 2002:336) menyebutkan bahwa
bahasa juga dapat mempengaruhi kelompok. Kajian bahasa, terutama pada tataran
sintaksis sudah banyak dilakukan oleh para pakar terdahulu. Berkaitan dengan
penelaahan bahasa, maka tersedia beberapa pustaka yang dapat dirujuk (setidaknya
berdasarkan jangkauan peneliti), di antaranya adalah Maunareng (2011), Taber
(1993), dan Budiarta (2013).
Penelitian yang
dilakukan Maunareng (2011) merupakan penelitian pada bidang perbandingan bahasa di Maluku. Meskipun demikian, kajian tersebut memanfaatkan data leksikal dari
sejumlah isolek di Maluku. Hasil kajian itu menggambarkan bahwa secara genetis, Bahasa Maluku Tengah
merupakan subkelompok bahasa dari kelompok bahasa Ambon-Seram sebagaimana
pengelompokan Esser yang berbeda dengan pengelompokan yang dilakukan oleh
Greenberg (1971). Kendati kajian itu
berbeda dengan kajian ini, namun informasi mengenai kekerabatan antara bahasa dan sejumlah
leksikon (terutama berkaitan dengan kelas verba) dapatlah dirujuk sebagai data
awal.
Taber (1993) juga
berdasarkan hubungan genetis, mengelompokkan bahasa-bahasa di Maluku Tengah ke dalam sebuah
kelompok bahasa yang diberi label kelompok bahasa Maluku Tengah. Meskipun kajian itu
bersifat genetis, namun Taber telah menggambarkan bahwa bahasa-bahasa di Seram termasuk ke dalam
rumpun bahasa Austronesia. Pandangan itu pula sekaligus secara tersirat menolak
pengelompokan yang dilakukan oleh Greenberg (1971) yang memasukan bahasa-bahasa
di Maluku Tengah ke dalam kelompok bahasa Alor-Timor yang tergolong sebagai
keanggotaan dari rumpun bahasa Non-Austronesia
G. Sejarah
Pergeseran Bahasa di Maluku
Sejak abad ke-16 Maluku terkenal sebagai daerah
multilingual Pada abad ke-17 mulai disebut
beberapa nama bahasa yang berada
di Pulau Buru, Seram dan Saparua; bahasa
yang dituturkan di Maluku muncul dalam
dialek yang sangat beragam, mungkin sama banyak dengan jumlah kampung yang ada
di Maluku. Menurut sarjana Jerman G. Rumphius yang tinggal di Pulau Ambon pada
abad ke-17, di Pulau Ambon dialek Hatiwe
dan di wilayah Islam dialek Hitu, yang dianggap paling bagus.
Menurut Rumphius dialek yang dituturkan di Ambon
menggunakan banyak vokal dan lafalannya seakan-akan tersekat-sekat. Namun kini bahasa Hatiwe
sudah punah dan tidak dituturkan di kampung Hatiwe lagi.Antara bahasa yang
hampir punah di Seram ialah bahasa Paulohi Sejak ratusan tahun lalu bahasa Melayu
mempunyai peranan yang sangat kuat di Maluku. Bahkan masyarakat Maluku mulai meninggalkan bahasa daerahnya sehingga
dari 80 bahasa yang pernah ada di Maluku tinggal hanya beberapa kampung yang
menggunakan bahasa daerahnya (Collins 1980).
Pada abad ke-16 bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa komunikasi perdagangan dan pada masa itu juga bahasa
Melayu dipilih oleh tokoh Kristen
sebagai bahasa untuk urusan Gereja. Dengan demikian terjadilah
pergeseran dari bahasa daerah Maluku (Ambon) ke bahasa Melayu. Mungkin
pergeseran bahasa pada abad ke-16 sampai pada abad ke-18 menyebabkan terjadinya
perubahan bahasa di kalangan masyarakat Maluku. sesungguhnya pada zaman
Portugis ribuan penduduk Pulau Ambon dan sekitarnya telah memeluk agama Kristen
mazhab Katolik (Schurhammer 1980).
Bahasa Melayu dipilih sebagai bahasa yang sesuai untuk
menyebarkan agama Kristen (Collins 1980, 1998).
Namun, sejak 1605, pihak Belanda meneruskan pilihan bahasa Melayu
sebagai bahasa penyebaran agama Kristen tetapi menentukan mazhab Protestan
sebagai aliran Kristen yang hendak diamalkan di jajahannya bukan mazhab
Katolik.
Kebijakan bahasa
dan keagamaan ini berpengaruh kepada masyarakat Ambon dan juga pada sejarah
bahasa Melayu, termasuk sejarah penterjemahan di Alam Melayu. Pamah
Protestan
mengutamakan hak dan kewajiban setiap penganut agamanya untuk berhadapan
sendiri dengan isi kitab Kristen. Oleh karena itu, keberaksaraan
menduduki posisi yang penting dalam mazhab Protestan. Apabila fahaman ini dikaitkan dengan teknologi
percetakan moden, tercetuslah perubahan besar bukan saja di Eropah (Eisenstein
1983), tetapi juga di kalangan masyarakat
Nusantara.
Melalui struktur birokrasinya, termasuk petugas agama Protestan yang
digajinya (Niemeijer 2001, Collins 2003), VOC memperkenalkan sistem pendidikan
moden yang berbahasa Melayu di kepulauan Ambon.
Pada abad ke-17, kota Ambon
terombang ambing dengan arus sosial yang bergelora dengan intensiti yang luar
biasa. Selain pergantian kekuasan kolonial dari tangan Portugis ke Belanda
(VOC), sepanjang abad ke-17 perlawanan, hukum penggusuran dan pemindahan
penduduk secara paksa, gempa bumi serta
keadaan ekonomi dan sosial (Rumphius 1910, 1983, 1675) menyebabkan
bahasa daerah mulai ditinggalkan dan rakyat beralih bahasa sehingga menggunakan
bahasa Melayu.
Pada abad ke-17 F. Caron mengusulkan agar petugas agama
Protestan belajar bahasa Melayu, dan
juga bahasa daerah. Tetapi rupanya usaha itu tidak pernah diikuti. Pada abad
ke-17, bahasa daerah yang ada di Maluku
tidak pernah dideskripsikan apalagi diklasifikasi. Perhatian yang mendalam terhadap bahasa daerah belum muncul, apalagi
kalau dijejaki tulisan mengenai bahasa di Maluku.
Sudah sejak abad ke-18 dan
ke-19 penggunaan bahasa daerah oleh
kebanyakan komunitas Kristen tidak lazim sehingga tidak
mengherankan bahwa sekarang tidak terdapat lagi
percakapan bahasa daerah di komunitas Kristen. Penutur bahasa daerah di komunitas Kristen hanya tinggal orang tua;
namun, itupun tidak diturunkan kepada generasi selanjutnya. Umpamanya pada
akhir abad ke-20 masih dapat ditemukan dua bahasa yang sebelumnya tidak pernah
didokumentasikan, mungkin tidak diketahui wujudnya. Tetapi pada waktu itu di
pantai utara Pulau Seram, bahasa Hulung hanya dituturkan oleh sekitar 20 orang
dan bahasa Naka’ela oleh 3 orang saja (Collins 1982,1983a). Diperkirakan
sekarang dua bahasa ini sudah tidak dituturkan lagi.
Pertumbuhan agama Islam di
Ambon, yang memiliki sejarah yang lebih lama dari penyebaran agama Kristen, juga
membawa perkembangan terhadap bahasa Melayu. Meskipun jalur dan tahunya
sukar dipastikan, bukti linguistik dan filologi mendukung andaian bahwa bahasa Melayu diperkenalkan kepada masyarakat Ambon melalui
orang Islam yang sampai di sana pada abad ke-15. Bahasa-bahasa daerah yang kini masih berfungsi dalam masyarakat Islam
di Ambon dicirikan dengan kata pinjaman
dari bahasa Melayu, terutamanya bahasa dalam hal keagamaan.
Hilangnya bahasa daerah di
beberapa desa di Maluku Tengah maupun di Ambon, khususnya desa-desa Kristen
tidak terlepas dari dampak penjajahan Belanda selama lebih
kurang 350 tahun di Maluku (Collins 1982,1983a). Pada awal tahun 1980-an masih
dapat dihitung lebih kurang sebanyak 40-45 daerah yang bahasanya berbeda di Maluku Tengah. Walau bagaimanapun, pada masa
itu hanya satu bahasa saja yang
digunakan secara meluas di Ambon, iaitu bahasa Melayu.
Pada pertengahan abad ke-19,
seorang penginjil Belanda A. Van Ekris
yang bertugas di Kamarian (Pulau Seram), menyusun kosa kata sebelas
bahasa di Pulau Seram dan Ambon yang mana bahasa tersebut terbahagi dalam tiga
bagian yang berjumlah lebih kurang 90 halaman. Semua data bahasa itu
dibandingkan dengan bahasa Kamarian,
kerana ia lebih menguasai bahasa
itu (Van Ekris 1864-1865). Seterusnya Baron G.W.C. van Hoëvell mengajukan
klasifikasi bahasa mengenai Seram dan Ambon yang cukup komprehensif. Namun, van Hoëvell tidak
memberikan dasar perbebaan yang digunakannya dalam proses yang
menghasilkan data bahasa tersebut (Hoëvell 1877). Lebih lanjut, Hoëvell berpendapat bahwa bahasa-bahasa Seram dan Ambon-Uliase dapat diklasifikasikan dalam
dua cabang besar.
Akhir-akhir ini banyak sarjana dan pemerhati bahasa
prihatin tentang pengaruh budaya global
yang mengancam kelestarian bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Bukan saja
akademisi Indonesia yang sibuk mengadakan seminar dan menerbitkan tulisan, tetapi sarjana dan ahli luar negeri sudah mengarahkan perhatian kepada kasus
Indonesia. Hanya sekitar sepuluh tahun lalu, linguis internasional yang tersohor, Profesor Peter Muhlhdusler (1996:205), memproklamir
bahasa Indonesia sebagai "killer language".
H.
Menjajaki Jumlah Bahasa
di Maluku Tengah
Pada awal era
modern, yang sebenarnya mulai pada akhir abad ke-16, Maluku Tengah maksudnya
Pulau Buru, Ambon dan Seram Barat pulau-pulau lain yang berdekatan muncul dalam jaringan
ekonomi global sebagai sumber pertanian dan pusat perdagangan dua komoditi yang tinggi nilainya pada
zaman tersebut: cengkih dan pala (Collins 1980b, 2006c). Sebagai akibat kebijakan
kolonial, kepulauan ini, terutamanya Pulau Ambon, menjadi fokus aktivitas ekonomi dan administrasi pada awal
abad ke-17. Pendirian infrastruktur kolonial yang
intensif di daerah yang kurang penduduk ini berdampak
secara drastis kepada bahasa-bahasa asli di Maluku Tengah. Dampak
kolonial pada kurun awal itu masih berpengaruh pada hari ini. Sebagai contoh dampak kolonial, mari kita memantau situasi bahasa di Maluku Tengah.
Pada awal tahun 1980-an, masih dapat dihitung sebanyak 40-45 bahasa
daerah yang berbeda di Maluku Tengah Walau
bagaimanapun, pada waktu itu hanya satu bahasa saja, yaitu Bahasa Melayu Ambon, digunakan
oleh lebih daripada 10.000
orang. Pada waktu itu, Bahasa Melayu Ambon dituturkan oleh seratus ribu penduduk Maluku Tengah sebagai
bahasa pertama; Grimes (1988:516) menganggarkan lebih dari 200.000 orang
penutur. Kebanyakan bahasa lain di daerah itu tidak sampai 5.000 orang penutur, malahan, pada waktu itu dicatat bahasa yang hanya dituturkan atau diingat oleh dua-tiga orang
penutur. Walaupun kadar diversitas bahasa memang lebih tinggi di
Papua New Guinea, namun di
Maluku Tengah 40-45 bahasa
yang terbagi secara tidak merata di populasi yang hanya sebanyak 400.000 masih dapat dianggap suatu kadar diversitas yang tinggi
sekali, apa lagi dengan pertimbangan bahwa
200.000 orang dari keseluruhan 400.000 itu merupakan penutur Bahasa
Melayu Ambon.
Penulis barat mulai menulis;
tentang jumlah bahasa di Maluku pada awal abad ke-16
(Collins 1980b). Ada yang berpendapat bahwa setiap kampung menggunakan bahasa yang berbeda-beda sehingga penduduk tidak mampu saling mengerti, melainkan
mereka menggunakan bahasa Melayu Arnbon.
Begitulah pendapat misionaris Basque, Sto, Francisco Javier, pada tahun 1545. Tetapi ada penulis lain, seperti
G. Rumphius, sarjana Jerman
yang pernah tinggal di Ambon selama 48 tahun
pada abad ke-17, yang bersikeras
bahwa, walaupun terdapat sejumlah besar dialek ("dialectos") di
Pulau Ambon, semua penduduk dapat saling paham.
Kedua penulis ini, Javier
dan Rumphius, termasuk cendekiawan yang terkenal pada zamannya, malah sampai sekarang.
Keduanya tidak naif sebagai pengamat
bahasa; bahkan, mereka
sendiri berpengalaman sebagai penutur
multilingual. Makanya, pandangan mereka harus dinilai sihih, walaupun
pandangan-pandangan itu nampaknya berlawanan.
Harus diingat bahwa mereka menulis dari perspektif yang berlainan.
E. Javier, menulis sebagal misionaris yang
harus menentukan dan memilih bahasa yang harus
dimanfaatkan untuk usaha penginjilannya. Seorang lagi, yaitu G. Rumphius,
merupakan ahli ilmu zoologi yang biasanya mengklasifikasikan spesies dalam
genera yang umum. oleh itu, mungkin kedua penulis ini melebih-lebihikan posisinya demi
profesi dan tujuannya.
Dari segi adanya banyak
bahasa di Maluku Tengah, perlu dicatat bahwa pada akhir abad ke-20, masih dapat ditemukan dua bahasa
yang sebelurnnya tidak pernah dokumentasi,
malahan mungkin tidak diketahui wujudnya. Pada waktu itu di pantai utara Pulau Seram, bahasa Hulung
dituturkan oleh sekitar 20 orang dan bahasa Naka'ela oleh
3 orang saja.Satu
lagi bahasa daerah, yaitu bahasa Laha, yang
belum pernah didokumentasikan pada waktu
itu, nyatanya dituturkan di Pulau Ambon sendiri, bahkan
ditepi bandara Ambon! Selama ratusan tahun kolonialisme,
yang kadang-kadang diwarnai perhatian terhadap bahasa daerah.
Mungkin jumlah penutur yang
hanya sedikit itu mengakibatkan bahasa-bahasa tersebut tidak diperhatikan? Atau dalam peredaran
waktu 400-500 tahun ada bahasa yang berkembang dan
berpisah menjadi lebih daripada satu bahasa; agaknya proses pengembangan itu terlepas dari pandangan para penjajah di kota Ambon. Sukar juga menentukan faktor kelalaian dalam hal
dokumentasi ini. Sebaliknya, bahwa ada bahasa yang ditinggalkan oleh penutur yang sengaja memilih bahasa lain sebagai bahasa utamanya diperhatikan pemantau barat.
Banyak penutur bahasa daerah di Pulau Ambon telah memilih bahasa Melayu Ambon sebagai bahasa pertama sehingga
anak cucu mereka tidak lagi
mengetahui. bahasa daerahnya. Pada abad ke-17 bahasa Hatiwe dinilai oleh Rumphius
(1678/1983:7) antara bahasa daerah yang paling indah, tetapi kini bahasa Hatiwe sudah hilang; sama sekali
tanpa bekasnya.
I.
Perubahan Bahasa dan Faktor Sosial
Dapat dikatakan bahwa kini
di Ambon terdapat sekurang-kurangnya 200.000 penutur bahasa Melayu Ambon sebagai
bahasa pertama, bahkan mungkin sebagai satu-satunya
bahasa mereka. Padaha, kebanyakan
moyang mereka pernah berbahasa lain, yaitu salah satu bahasa daerah Maluku Tengah. Faktor yang mendorong
perpindahan bahasadan dalam
hal ini yang mengakibatkan punahnya bahasa memang kompleks sekali dan sering berkaitan.
Pertama perlu diakui bahwa ada faktor di luar
kuasa dan pilihan penutur. Gempa bumi
dan tsunami yang melanda kampung Elpaputih di Seram Selatan pada 30 September 1899 mengakibatkan kematian 94% penutur bahasa Paulohi
(Collins 2003a) pada hari itu juga. Lebih
kurang dua ratus
tahun kemudian, pada tahun 1978, hanya tiga orang yang masih mampu
ingat sedikit bahasa Paulohi yang
sudah lama tidak digunakan
di Elpaputih. Begitu juga, E. Stresemann (1927)
mencatat beberapa perkataan bahasa Loun
di Seram Utara, tetapi hampir semua penutur
bahasa itu meninggal dalam wabah virus influensa global pada tahun 1918 (hanya 6
tahun setelah Stresemann. meninggalkan
Seram). Pada tahun 1979 seorang dua yang mengaku berketurunan Loun tidak tabuh sama sekali bahasa Loun (Collins 1982). Bahasa tinggal nama saja.
Kedua, dalam sejarah sosial
Maluku Tengah beberapa faktor sosial dan ekonomi harus
diperhitungkan; sebagiannya diuraikan dalam. Collins (1997). Dalam kasus Maluku Tengah, dua faktor dasar
ditekankan. Perpindahan paksa dari daerah asal ke daerah
lain, dan; Penganutan
agama yang dipraktikkan dalam bahasa yang bukan bahasa asli penganutnya.
Kedua faktor ini (Collins
2003a) mengaitkan peralihan budaya dan penyesuaian psikologis yang mendalam.
Tidak akan dibahas dengan
terperinci di sini contoh-contoh perubahan loyalitas bahasa yang diperkirakan terjadi akibat perpindahan paksa pada zaman
kolonialisme awal. Dua
kasus migrasi paksa itu, yaitu Kelang dan Batu merah, sudah dibicarakan dengan agak
panjang lebar. Begitu juga, penggunaan bahasa sebagai salah satu sirnbol kultural dalam penganutan agama Kristen
(Protestan). Hal seperti migrasi paksa
dan pilihan bahasa oleh kuasa luar dalam urusan gerejawi adalah hakikat sejarah.
Yang perlu digaris bawahi di
sini adalah kenyataan bahwa dua perubahan budaya itu, baik perpindahan lokasi
maupun perpindahan agama, mulai ratusan tahun lalu pada awal era penjajahan di Maluku. Namun,
dampaknya bukan terjadi pada saat perpindahan itu tetapi beberapa kurun kemudian. Dan dalam kasus
hubungan agama dan bahasa ciri-ciri
kultural yang berasaskan ketentuan pembesar VOC 400 tahun lalu masih menyebabkan perpindahan bahasa, walaupun VOC sudah berakhir 200
tahun lalu.
Mungkin pada kesempatan ini akan bermanfaat kalau kita memberikan perhatian
terhadap perubahan yang sedang terjadi di Maluku Tengah, selain menyimak
perubahan yang pernah terjadi pada waktu silam. Seperti yang dinyatakan di atas
sebagian perubahan prilaku
bahasa diakibatkan keputusan kolonial ratusan tahun lalu, tetapi ada juga faktor-faktor lain yang menyebabkan perubahan dalam loyalitas
bahasa. Ikatan gereja Protestan Maluku pada
bahasa Indonesia, yang diputuskan pada zaman VOC pada abad ke-17, tetap mempengaruhi pilihan bahasa di
Maluku Tengah.
Pola prilaku ini sangat mudah dipantau di kalangan
masyarakat Maluku Tengah lainnya, walau tidak dideskripsikan dengan ketelitian yang menyamai karya-karya Florey. Misalnya,
di pantai selatan Pulau Seram bahasa yang dulunya dituturkan di empat kampung, sekarang hanya
diketahui dan digunakan sekali-sekali di satu kampung saja. Pada waktu
penelitian tahun lalu, bahasa yang dulu dituturkan dengan meluas di Eti, Kaibobo, Waesamu danHatusua jarang digunakan di satu kampung saja, Kaibobo. Begitu juga, bahasa "Amahai"
yang dulu dituturkan di Makariki, Amahai dan Rutah hanya digunakan di Rutah
pada tahun 70 itupun hanya oleh orang yang berumur 40 tahun ke atas.
J.
Pergeseran Bahasa: Kasus Ruta dan Tulehu
Pada hakikatnya, kini di
Maluku Tengah proses perubahan afiliasi bahasa kelihatan
terjadi tanpa hubungan dengan perpindahan lokasi maupun perpindahan agama. Kampung Tehoru di Pulau Seram dihuni 100 persen oleh masyarakat yang sudah ratusan tahun menganuti agama Islam. Tetapi di
kampung ini juga peralihan loyalitas bahasa sudah
disaksikan upaya, keadaan sedemikian juga
sedang terjadi di kampung-kampung lain yang beragama Islam, termasuk Rutah dan Tulehu.
Sejarah sosial dan perubahan penggunaan bahasa di dresa Rutah, sebuah kampung Islam asli Seram di pantai Selatan Pulau Seram, diterangkan dengan
ringkas. Bahasa daerah tersebut digunakan dan
dituturkan oleh semua orang yang lahir dan dibesarkan di kampung Rutah, termasuk orang yang tidak berketurunan Rutah, dan juga oleh kebanyakan orang yang berpindah ke Rutah dan mendiami kampung itu selama beberapa tahun. Namun, sejak 20 tahun lalu telah terjadi banyak perubahan sosial dan ekonomi, umpamanya dalam hal peluang dan sarana pendidikan, pola perkawinan, sumber ekonomi, sarana transportasi, migrasi pulang kampung serta fasilitas media massa. Nampaknya
perubahan seperti ini telah
berdampak kepada sikap terhadap bahasa dan pola penggunaan bahasa di kampung Rutah. Walaupun bahasa Rutah masih merupakan
bahasa utama di kampung Rutah, pendatang yang pindah ke Rutah tidak berusaha menguasai bahasa Rutah lagi termasuk anak-anak Rutah yang pindah dari
tempat lain (migrasi pulang kampung). Jadi, walaupun
penutur bahasa Rutah dianggarkan melebihi 10.000 orang (Collins 2006d), peranan dan kedudukan
bahasa Rutah kini
merosot.
Baru-baru ini Musgrove (2005) juga melaporkan
kemerosotan penggunaan bahasa daerah di
Tulehu, yang juga merupakan
kampung Ambon Asli
Islam di Pulau Ambon. Bahkan, mungkin kemerosotan di Tulehu sudah lebih lanjut karena
dilaporkan bahwa generasi muda (di bawah umur 10 tahun) tidak sanggup
menggunakan bahasa Tulehu. Jadi walaupu jumlah penutur bahasa
Kontak bahasa dan perubahan bentuk
gramatis di Maluku Tengah
telah diuraikan, begitu juga laporan dari Maluku
Tenggara, fenomena seperti kontak, pertukaran kod serta penyerapan kata dan bentuk gramatis tidak
dilihat sebagai tanda mutlak
kemerosotan bahasa, tetapi dengan adanya wawasan Musgrove (2005) ini mungkin data dulu itu harus disimak semula.
Sudah menjadi tanggung jawab seluruh masyarakat Maluku untuk
mendokumentasikan dan mewarisi semua pengetahuan bahasa yang mereka ketahui kepada
generasi-generasi baru supaya proses enkulturasi bahasa daerah ini tidak berhenti dan tidak punah begitu saja.
Diharapkan tidak hanya orang-orang tua saja yang mengetahui dan dapat mengunakan bahasa daerah
yang ada di dalam masyarakat. Inilah kiranya masa yang tepat untuk kalangan muda untuk
turut serta bahkan mengambil alih peranan orang tua untuk terus mengembangkan
dan menghidupkan budaya lisan yang ada di masyarakat setempat.
K.
Pelestarian
Bahasa Daerah
Bahasa daerah sebagai kekayaan intelektual itu
cenderung kurang disadari oleh masyarakat penutur bahasa itu, khususnya generasi mudanya,
sehingga ketika ada komunikasi lain yang oleh generasi
muda dinilai lebih efektif, bahasa daerah itu sedikit demi sedikit mulai
ditinggalkan. Banyaknya pemuda yang datang ke kota merupakan salah satu faktor
penyebab terkendalanya pengembangan bahasa daerah
itu karena mereka di tempat baru dengan anggota masyarakat yang beragam
dituntut untuk menggunakan bahasa
yang dapat komunikasi antaranggota masyarakat yang baru itu. Di samping itu, tingkat mobilitas masyarakat juga
berpengaruh terhadap kelangsungan hidup bahasa daerah itu. Oleh karena itu, agar bahasa daerah tetap berkembang, perlu dilakukan
langkah-langkah strategi dalam pengembangan bahasa
daerah itu.
1.
Pengembangan
Langkah pertama yang harus
dilakukan sebelum upaya pembinaan bahasa adalah pengembangan, yang meliputi penelitian berbagai aspek kebahasaan., inventarisasi,
kodifikasi, dan dokumentasi.
2.
Penelitian
Penelitian berbagai aspek kebahasaan
yaitu fonologi, morfologi, sintaksis,
dan wacana diperlukan untuk
pengembangan korpus bahasa. Pengembangan korpus meliputi kodifikasi tata tulis atau ejaan, tata bahasa, penyusunan
kamus, tata peristilahan, dan penyusunan buku ajar. Ejaan memudahkan penutur melambangkan bunyi-bunyi
bahasa, menggabungkan, dan menuliskannya.
Adanya ejaan yang disepakati bersama memungkinkan komunikasi secara tertulis antar anggota penutur bahasa daerah dapat beralatar lancar dan terminimalkan kemungkinan salah tafsir
selama berkomunikasi secara tulis.
3. Inventarisasi
Inventarisasi ini dilakukan dengan pendataan
kosakata dasar, kosakata budaya, ungkapan, peribahasa, kosakata
lainnya, dan cerita rakyat. Inventarisasi dilakukan untuk mengetahui seberapa
banyak kekayaan kosakata suatu bahasa,
persebaran bahasa, keragaman bahasa, jumlah penutur bahasa itu, dan pembuatan peta
bahasa.
4. Dokumentasi
Tata lulis, tata istilah, tata bahasa, kamus, peta bahasa,
cerita rakyat yang sudah dibukukan merupakan bukti keberadaan suatu bahasa. Keberadaan dan
kemudahan memperoleh bukti itu menunjukkan bahwa bahasa
itu terpelihara dengan baik dan tingkat kepedulian pihak yang berkepentingan terhadap bahasa
itu sangat tinggi.
L. Kesimpulan
Pola
prilaku masyarakat Ambon
dan Maluku Tengah dalam hal sikap terhadap bahasa, baik bahasa daerah maupun bahasa Melayu Ambon, belum
diketahui dengan jelas dan Yang jelas hanyalah kenyataan bahwa sebagian besar bahasa daerah di Maluku Tengah dituturkan
oleh komunitas-komunitas yang kini menghadapai berbagai
perubahan sosial ekonomi. Dapat dikatakan bahawa kini di Ambon terdapat
sekurang-kurangnya 200,000 penutur bahasa Melayu Ambon sebagai bahasa pertama,
bahkan mungkin sebagai satu-satunya bahasa komunikasi. Padahal kebanyakan
masyarakat Maluku Tengah, pada masa lampau menggunakan bahasa lain iaitu
salah satu bahasa daerah Maluku Tengah. Faktor yang mendorong perpindahan
bahasa dan dalam hal ini yang mengakibatkan punahnya bahasa.
Pengembangan
korpus meliputi kodifikasi tata tulis atau ejaan, tata bahasa, penyusunan kamus, tata peristilahan, dan
penyusunan buku ajar, Inventarisasi ini dilakukan dengan pendataan
kosakata dasar, kosakata budaya, ungkapan, peribahasa, kosakata
lainnya. Tata lulis,
tata istilah, tata bahasa, kamus, peta bahasa, cerita rakyat yang sudah
dibukukan merupakan bukti
keberadaan suatu bahasa. Keberadaan dan kemudahan memperoleh bukti itu
menunjukkan bahwa bahasa itu terpelihara dengan baik dan tingkat kepedulian
pihak yang berkepentingan terhadap bahasa itu sangat tinggi.
M. Rekomendasi
Saran yang perlu diperhatikan pemerintah (Departeman PendidikanNasional,
termasuk Pusat Bahasa) terkait dengan pemberdayaan demi kelestarian
keanekaragaman dan budaya bangsa Indonesia, maka perlu melaksanakan rekomendasi berikut:
1. Pemerintah/DPR RI mengamandemen UUD RI Tahun 1945 Pasal36, menjadi
dua ayat, yakni: Ayat (1) Bahasa Negara ialah bahasaIndonesia; Ayat (2)
Keanekaragaman bahasa daerah dibina dandikembangkan sebagai aset pemasok kosakata
bahasa nasional Indonesia.
2. Pemerintah daerah (pemda) segera menyusun peraturan daerah tentang
pembinaan dan pengembangan bahasa daerah masing-masing sesuai kebutuhan daerah demi kelestarian bahasa,
budaya dan kearifan lokal.
3. Khususnya Pemda Provinsi Maluku dan atau Pemda Maluku
Tengah diharapkan menghidupkan bahan pelajaran mulok
bahasa daerah sesuai dengan kerangka dasar dan struktur kurikulum yang menjadi
pedoman penyusunan KTSP dan standar isi 2006;