Teori linguistik tentang Tanah Asal
Bahasa Austronesia (Linguistic Theoris about Austrenesian Homeland) yang
dikemukakan J. Anceaux:
Istilah Austronesia pada awalnya
diberikan oleh ahli linguistik untuk menyebut suatu rumpun bahasa yang hampir
secara mayoritas dituturkan di Asia Tenggara Kepulauan, Micronesia, Melanesia
Kepulauan dan Polynesia. Pada perkembangannya, istilah Austronesia juga
digunakan untuk menyebut suatu komunitas yang berbudaya Austronesia serta
menuturkan bahasa Austronesia. Perhatian terhadap kajian rumpun bahasa
Austronesia dapat dirunut hingga awal abad 16, ketika para pengembara
mengumpulkan daftar kosa kata bahasa Austronesia dari tempat-tempat yang mereka
kunjungi, seperti misalnya Antonio Pigafetta (seorang berkebangsaan Italia)
yang ikut dalam ekspedisi Magellan 1519-1522 (Fox, 2004: 3). Kapten Cornelis de
Houtman seorang kapten kapal Belanda yang berlayar menuju Hindia Timur
(mendarat di Banten) melalui Madagaskar pada tahun 1596, mengamati berbagai
kemiripan antara bahasa Malagasy dan bahasa Melayu (Tanudirjo, 2001:9).
William von Humboldt adalah tokoh
yang pertama kali mengajukan istilah “Malayo-Polynesia” untuk menyebut
bahasa-bahasa di kawasan Malaya sampai Polynesia yang memiliki kemiripan.
Pada tahun 1889, berdasarkan pada
kajian linguistik yang detail dan sistematis, Hendrik Kern membagi rumpun
bahasa “Malayo-Polynesia” menjadi bahasa “Malayo Polynesia Barat” yang terdiri
dari bahasa-bahasa di Asia Tenggara Kepulauan serta Micronesia bagian barat,
dan bahasa “Malayo-Polynesia Timur” yang terdiri dari bahasa-bahasa di
Melanesia Kepulauan dan Polynesia. Kemudian pada tahun 1906, Wilhelm Schmidt
memperkenalkan terminology “Austronesia”, untuk menyebut bahasa
“Malayo-Polynesia”. Selain itu beliau juga mengajukan hipotesis bahwa pada masa
lampau di Asia daratan terdapat bahasa “Austric” yang merupakan nenek moyang
bahasa Austronesia dan Austroasiatic. Selain itu, di Asia Daratan juga terdapat
beberapa rumpun bahasa besar lainnya, antara lain adalah; Indo-Eropa,
Sino-Tibetan, Tai-Kadai, Altaic, Korea, dan Hmong Mien. Bahasa Austronesia
kemudaian menurunkan bahasa-bahasa di Asia Tenggara Kepulauan dan Pasifik, sedangkan
bahasa Austroasiatic berkembang menjadi dua rumpun besar bahasa yaitu; bahasa
Mon-Khmer di Indochina dan bahasa Munda di India bagian timur (lihat: Anceaux,
1991:73 serta Blench dan Dendo, 2004: 13).
Robert von Heine Geldern adalah ahli arkeologi
yang pertama kali mengadopsi konsep budaya Austronesia dari para linguist.
Beliau berpendapat bahwa luas persebaran budaya Austronesia ditunjukkan dengan
persebaran kompleks budaya Vierkantbeil Adze, dengan ciri utamanya adalah
kehadiran beliung berpenampang lintang persegi. Roger Duff kemudian melakukan
kajian berdasarkan hasil penelitian Geldern. Beliau melakukan klasifikasi
tipologi beliung persegi berdasarkan bentuk irisan, bentuk tajaman dan bentuk
pangkal (Duff, 1970:8). Akhirnya Duff sampai pada kesimpulan bahwa persebaran
komunitas Austronesia di Kepulauan Indonesia (kecuali Papua) yang didukung
dengan pola subsistensi pertanian berasal dari Semenanjung Malaya bagian
selatan. Hal tersebut tercermin oleh persebaran beliung paruh (Malayan Beacked
Adze) dan belincung (Indonesian Pick Adze) (Duff, 1970:14). Ahli lainnya adalah
Wilhelm G. Solheim II yang mengajukan teori bahwa wilayah geografis persebaran
gerabah Sa-Huynh dan Kalanay di Asia Tenggara Kepulauan dan Lapita di Melanesia
bagian barat memiliki hubungan dengan persebaran orang Austronesia. Namun,
beliau mengajukan istilah Nusantara untuk menyebut kelompok orang Austronesia
dan budayanya tersebut.
Persebaran Austronesia Sangat
mengagumkan melihat persebaran rumpun bahasa Austronesia yang dituturkan pada
hampir seluruh kawasan kepulauan Indo-Pasifik. Banyak ahli yang berpendapat
bahwa persebaran rumpun bahasa Austronesia yang luas disebabkan oleh proses
ekspansi komunitas penutur rumpun bahasa tersebut ke luar dari daerah asalnya.
Hendrik Kern mencoba untuk mencari daerah asal persebaran bahasa Austronesia
menggunakan metode pemilihan kosa kata sebagai bentuk bahasa Austronesia purba
dari kosa kata yang maknanya bersangkutan dengan unsur-unsur flora, fauna dan
lingkungan geografis. Hasil kajian tersebut membawa beliau pada suatu
kesimpulan bahwa tanah asal nenek moyang rumpun bahasa Austronesia terletak di
suatu pantai daerah tropis (Anceaux, 1991: 74-75, Blust, 1984-1985:47-49).
Robert Blust (1984-1985) seorang
linguist, berusaha menyusun silsilah kekerabatan bahasa Austronesia dengan
menggunakan metode “Wirter und Sachen Technique”, yaitu dengan menggunakan kosa
kata sebagai dasar untuk menyimpulkan berbagai referensi yang diketahui oleh
penutur bahasa yang direkonstruksi. Kosa kata tersebut juga digunakan sebagai
dasar untuk merekonstruksi budaya dan lingkungan alam penutur bahasa yang
direkonstruksi. Hasil reksonstruksi Blust adalah; nenek moyang bahasa
Austronesia dituturkan di sekitar daerah yang tidak jauh dari Pulau Taiwan
(Formosa) pada kurun sebelum 4.500 SM. Kemudian bahasa tersebut memisahkan diri
menjadi bahasa Austronesia Formosa (Atayal, Tsou dan Paiwan) dan Proto
Melayu-Polynesia (seluruh bahasa Austronesia di luar Taiwan) pada 4.500 SM.
Melayu-Polynesia kemudian berkembang menjadi Melayu-Polynesia Barat dan
Melayu-Polynesia Timur-Tengah pada 3.500 SM. Pada 3.000 SM, bahasa
Melayu-Polynesia Barat berkembang menjadi bahasa-bahasa Austronesia di kawasan
antara Filipina Selatan, Sumbawa bagian Barat dan Sumatra, sedangkan
Melayu-Polynesia Timur-Tengah berkembang menjadi Melayu-Polynesia Tengah dan
Melayu Polynesia Timur.
Akhirnya, pada 2.500 SM bahasa
Melayu-Polynesia Timur berkembang menjadi bahasa Halmahera Selatan-Nugini Barat
dan bahasa Oseania. Silsilah Rumpun Bahasa Austronesia (Blust, 1978) Saat ini
berkembang beberapa teori persebaran Austronesia yang diajukan oleh para ahli
dari berbagai sudut pandang yang berbeda, diantaranya adalah; The Express Train
from Taiwan to Polynesia (Bellwood), The Taiwan Homeland concept (Reed), Island
Southeast Asia Origin (Solheim), From South America via Kon Tiki (Heyerdahl),
An Entangled Bank (Terrell), The Geneflow Model (Devlin), The Genetic
Bottleneck in Polynesia (Flint), The Eden in the East concept (Oppenheimer),
Voyaging Corridor Triple I account (Green) (lihat Chambers, 2006:303).
Berdasarkan beberapa teori yang berkembang tersebut, pada intinya terdapat tiga
kubu model persebaran Austronesia yang berbeda, yaitu; (1) Austronesia berasal
dari Pulau Taiwan, (2) Austronesia berasal dari dari kawasan Asia Tenggara
Kepulauan dan (3) Austronesia berasal dari dari kawasan Melanesia.
Diantara beberapa teori tersebut,
salah satunya yang terkuat dan mendapat banyak dukungan dari berbagai sudut
pandang keilmuan adalah model yang diajukan oleh Bellwood. Beliau menyarankan
bahwa Austronesia berasal dari Taiwan dan Pantai Cina bagian selatan. Kawasan
tersebut oleh berberapa ahli linguistik dianggap sebagai tempat asal bahasa
proto-Austronesia. Disamping itu, secara arkeologis daerah tersebut
menghasilkan bukti pola subsistensi bercocok tanam dan aspek budaya Austronesia
lainnya yang paling tua di kawasan ini berupa beliung persegi dan gerabah,
seperti yang ditemukan di situs Hemudu di Teluk Hangzou, Propinsi Zhejiang yang
berumur 7000 tahun (Bellwood, 1995:97-98). Kolonisasi Austronesia di Jawa Pulau
Jawa merupakan salah satu pulau yang paling padat penduduknya di Kepulauan
Nusantara. Dari sudut pandang genetik dan linguisik, pada saat ini mayoritas
penduduk Pulau Jawa adalah masyarakat dengan ciri genetik Mongoloid serta
menuturkan bahasa yang termasuk dalam rumpun Austronesia. Sampai saat ini,
penjelasan yang paling luas diterima bagi kasus penyebaran masyarakat penutur
bahasa Austronesia adalah Blust-Bellwood model yang dibangun berdasarkan
gabungan antara data linguistic historis dan arkeologi. Teori yang diajukan
mereka disebut juga model Out of Taiwan atau Express Train from Taiwan to
Polynesia yang intinya bahwa masyarakat penutur bahasa Austronesia berekspansi
dari Taiwan sejak 5.000 BP menuju Asia Tenggara Kepulauan, Melanesia Kepulauan,
Micronesia hingga Polynesia, dengan cepat selama satu millennium berikutnya via
Filipina.
Pada masa sebelumnya, Taiwan
dikoloni oleh sekelompok populasi petani dari daratan Cina Selatan via Pulau
Peng Hu (Pascadores) pada sekitar 6.000 BP akibat tekanan demografi (Tanudirjo,
2006: 87). Persebaran Geografis Bahasa Austronesia (Diamond, 2000) Berdasarkan
kajian linguistik, Robert Blust (1984/1985) berpendapat bahwa kelompok bahasa
Jawa-Bali-Sasak memiliki hubungan yang erat dengan kelompok bahasa
Malayo-Chamic dan Bahasa Barito di Kalimantan Selatan (termasuk Madagaskar).
Beliau menduga bahwa proto kelompok bahasa-bahasa tersebut dituturkan di bagian
tenggara Kalimantan pada periode 1000-1500 SM.
Kemudian mengalami pemisahan yang
pertama menjadi nenek moyang Bahasa Barito, Bahasa Malayo-Chamic dan Bahasa
Jawa-Bali-Sasak. Proses pemisahan berikutnya yang dialami oleh proto
bahasa-bahasa tersebut terjadi pada 800-1000 SM. Namun proses pembentukan proto
bahasa Jawa, Bali, Sasak dan Sumbawa bagian barat baru terjadi pada 2500 tahun
terakhir yang kemungkinan berasal dari suatu daerah di Borneo atau Sumatra.
Beberapa Permasalahan Berdasarkan kajian arkeologi, paket budaya neolitik yang
dapat diasosiasikan dengan penyebaran komunitas Austronesia awal dari Taiwan
antara lain adalah; pertanian padi-padian, domestikasi anjing dan babi, gerabah
berdasar membulat berhias slip merah, cap, gores dan tera tali dengan bibir
melipat ke luar, kumparan penggulung benang dari tanah liat, beliung batu
dengan potongan lintang persegi empat yang diasah, artefak dari batu sabak
(lancipan) dan nephrite (aksesoris), batu pemukul kulit kayu, serta batu
pemberat jala.
Beberapa dari kategori tersebut,
terutama gerabah slip merah berlanjut hingga Indonesia timur kemudian menuju
Oseania dalam bentuk komplek budaya Lapita (3.350-2.800 BP) (lihat: Bellwood,
2000: 313 dan 2006: 68). Namun, bukti arkeologis tersebut di atas yang dapat
digunakan untuk menguji hipotesis linguistik Blust masih sangat terbatas ditemukan
di Pulau Jawa, sehingga proses awal penghunian pulau ini oleh masyarakat
neolitik penutur bahasa Austronesia sampai sekarang masih menjadi misteri. Data
arkeologis yang mengindikasikan adanya kolonisasi Austronesia di Jawa adalah
persebaran berbagai macam tipologi beliung persegi yang telah dicatat oleh H.R
van Heekeren (1974), antara lain dari daerah; Banten, Kelapa Dua, Pejaten,
Kampung Keramat, dan Buni (Jakarta dan Tangerang), Pasir Kuda (Bogor), Cibadak,
Cirebon, Tasikmalaya (Priangan), Pekalongan, Gunung Karangbolang (Banyumas),
Semarang, Yogyakarta, Punung dan Wonogiri, Madiung, Surabaya, Madura, Malang,
Kendeng Lembu dan Pager Gunung (Besuki). Namun sayangnya, sebagian besar dari
temuan tersebut berasal dari laporan penduduk dan situs yang tidak jelas
asalusulnya, kecuali beberapa situs yang saat ini telah di teliti secara
intensif seperti misalnya Punung. Bukti arkeologis yang langsung dapat
digunakan untuk mendukung hipotesis linguistik masih sangat sedikit yang
ditemukan, sehingga proses awal penghunian Pulau Jawa oleh masyarakat penutur
bahasa Austronesia sampai saat ini masih menjadi misteri.
Proses transformasi data
arkeologi berpengaruh sangat besar bagi proses pembentukan dan ditemukannya
bukti-bukti arkeologis tersebut. Mungkin keadaannya pada saat ini situs-situs
neolitik awal di pantai utara Pulau Jawa telah terkubur beberapa meter di bawah
endapan aluvial, sehingga sukar untuk ditemukan dan diteliti (Bellwood, 2000:
337). Hal tersebut disebabkan karena di pulau Jawa terdapat beberapa sungai
besar yang bermuara ke pantai utara, antara lain adalah; Sungai Cisadane,
Sungai Ciliwung dan Sungai Citarum di bagian barat, Sungai Kuto, Sungai
Tuntang, dan Sungai Lusi di bagian Tengah, serta Sungai Bengawan Solo dan
Sungai Brantas yang mengalir ke timur dan bermuara di Selat Madura.
Permasalahan yang serupa mungkin juga terjadi pada situs-situs di pantai timur
Sumatra yang diperkirakan menjadi lokasi pendaratan Austronesia di pulau
tersebut.
Prospek Penelitian Untuk
menyiasati permasalahan belum banyaknya bukti arkeologis akibat proses
transformasi tersebut, maka harus dicari situs-situs di kawasan yang
diperkirakan selamat dari proses pengendapan yang cepat oleh material alluvial
kegiatan vulkanik beberapa gunung berapi yang dimulai sejak Jaman Kuarter. Data
geologi dan geomorfologi memiliki peran yang sangat penting dalam hal ini.
Selain itu juga perlu diperhatikan perubahan tinggi muka air laut pada masa
lampau. Berdasarkan pada indicator biogenic dan inorganic untuk merekonstruksi
muka air laut pada masa lampau, dapat dikatahui bahwa di Semenanjung Malaysia
dan Thailand yang gerak tektoniknya stabil, muka air laut lebih tinggi 5 meter
dari muka air laut sekarang yang terjadi pada 5.000 BP (lihat: Tjia, 2006).
Jika hal ini juga terjadi di pantai utara Jawa, maka situs-situs pendaratan
Austronesia antara 3.000-2.500 BP harus dicari pada kawasan pantai yang
konturnya lebih tinggi dari 3-4 meter di atas permukaan laut saat ini.
Berdasarkan pada persyaratan tersebut di atas, maka beberapa kawasan pantai utara
Pulau Jawa bagian tengah dan timur yang memiliki potensi sebagai lokasi
pendaratan Austronesia adalah pantai-pantai di sepanjang Semenanjung
Blambangan, Tuban, Semarang dan Batang.
Oleh karena itu, harus dicari
situs permukiman neolitik terbuka di sekitar kawasan pantai-pantai tersebut.
Metode pencarian data dari bidang keilmuan lain mungkin sangat membantu dalam
hal ini, seperti geoelektrik misalnya yang berguna untuk membantu menemukan
garis pantai masa lampau sesuai dengan kronologi yang diinginkan (3.000-2.500
BP untuk awal pendaratan Austronesia di Pulau Jawa berdasarkan hipotesis
linguistik). Punung Purbalingga, Kendenglembu Kondisi Geomorfologi Pulau Jawa,
dan Hipotesis pendaratan Austronesia Mahirta (2006) mengembangkan beberapa
model migrasi-kolonisasi yang diajukan oleh Moore untuk diujikan pada kasus
persebaran Austronesia. Beliau berpendapat bahwa di Kepulauan Indonesia bagian
timur terdapat dua macam pola permukiman prasejarah Austronesia, yaitu (1)
permukiman tersebar di sepanjang pantai jika mengkoloni pulau yang tidak
terlalu besar, seperti misalnya Pulau Kayoa dan Pulau Gebe di Maluku Utara dan
(2) permukiman berkembang memanjang ke pedalaman sejajar dengan alur sungai,
seperti misalnya situs-situs Kalumpang di Sulawesi Barat dan permukiman
tradisional etnis Dayak di Kalimantan yang masih bisa kita saksikan hingga saat
ini (lihat: Mahirta, 2006).
Sebagai referensi lainnya, pada situs-situs
Austronesia awal di Cina daratan dan Taiwan, rupa-rupanya telah dikenal sistem
pemukiman menetap, dan berkelompok di tempat terbuka dalam bentuk perkampungan.
Situs-situs pemukiman rumah panggung antara lain terdapat di Xitou, Kequitou
dan Tanshishan di Fujian, situs Hemudu di Zhejiang dan di Guangdong.
Situs-situs tersebut berumur 5200 dan 4200 SM. Rumah-rumah tersebut berdenah
persegi yang dibangun dengan teknik lubang dan pasak yang amat rapi dan
didirikan di atas deretan tumpukan kayu kecil. Kemudian pada masa selanjutnya
muncul situs desa seluas 40-80 hektar di Peinan yang bertarik 1500 dan 800 SM.
Situs rumah panggung juga terdapat di Feng pi tou di Taiwan yang dihuni
2500-500 SM dan situs Dimolit di Luzon utara, yang dihuni 2500-1500 SM
(Bellwood, 2000: hlm. 309, 315, 319, dan 323). Di Pasifik, pola permukiman
budaya Lapita pada umumnya terdiri atas beberapa rumah panggung yang berada di
pinggir pantai atau pulau kecil diseberangnya, seperti di Kepulauan Mussau
dengan luas 7 hektar. Indikasi mengenai situs tersebut biasanya ditandai dengan
sebaran pecahan gerabah, tungku dari tanah, dan bekas perapian (Spriggs, 1995:
118).
Berdasarkan data linguistik, kosa
kata Austronesia mengenai rumah dan unsurunsurnya permukiman lainnya ditemukan
di seluruh kawasan barat dan timur persebaran bahasa ini. Bahkan kata *Rumaq
(Ind. Rumah) telah muncul sejak awal perkembangan bahasa Austronesia di Taiwan
(Blust, 1984-1985: 220). Sedangkan berdasarkan bukti etnografi, sampai saat ini
sistem permukiman terbuka tradisional dengan rumah panggung masih banyak
ditemukan pada masyarakat tradisional Austronesia, seperti: Rumah Gadang
(Minangkabau), Lamin (Dayak), Tongkonan (Toraja). Implikasi Banyak situs
permukiman neolitik telah ditemukan di Indonesia, dan beberapa diantaranya
telah dilakukan penelitian secara intensif, seperti misalnya; Tipar Ponjen,
Purbalingga (1.180-870 BP), Nangabalang, Kalimantan Barat (2.871 BP), Minanga
Sipakko, Sulawesi Barat (2.570 BP) dan Punung, Pacitan (2.100-1.100 BP)
(Simanjuntak, 2002). Namun dari beberapa situs tersebut hanya Situs
Kendenglembu di Pulau Jawa, yang merupakan satu di antara dua (yang baru
ditemukan) kompleks situs permukiman pure (murni) neolitik di Indonesia
berdasarkan kerangka kronologi (bukan tradisi).
Situs sejenis lainnya adalah
situs-situs di sepanjang Sungai Karama, Kalumpang di Sulawesi Barat, mulai dari
Tasiu, Sikendeng dan Lattibung di hilir hingga Minanga Sipakko, Kamassi dan
Tambing-tambing di hulu (lihat: Simanjuntak 2006). Namun, berbeda dengan
situs-situs Kalumpang yang terletak di sepanjang Sungai Karama dari hilir
hingga hulu, Situs Kendenglembu merupakan situs pedalaman di selatan Jawa
bagian timur yang kelihatannya tidak memiliki akses sungai menuju ke pantai
utara Jawa, tempat diperkirakannya awal pendaratan Austronesia di pulau ini.
Walaupun demikian, melihat perkembangan yang cukup signifikan dari hasil penelitian
Situs Kalumpang, maka perlu juga dilakukan penelitian secara sistematis di
Situs Kendenglembu dan eksplorasi situs-situs permukiman terbuka neolitik
lainnya di pantai utara, yang diperkirakan merupakan situs koloni awal
(pendaratan) Austronesia di Pulau Jawa, sebagai cikal bakal atau nenek moyang
etnis Jawa di pulau ini.