A. Latar Belakang
Peran pendidikan sangat penting
dalam kehidupan manusia bahkan tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan proses
kehidupan manusia. Dengan kata lain, kebutuhan manusia terhadap pendidikan
bersifat mutlak dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat, bangsa dan
negara. Jika sistem pendidikanya berfungsi secara optimal maka akan
tercapai kemajuan yang dicita-citakanya sebaliknya bila proses pendidikan yang
dijalankan tidak berjalan secara baik maka tidak dapat mencapai kemajun yang
dicita-citakan.
Betapapun terdapat banyak kritik
yang dilancarkan oleh berbagai kalangan terhadap pendidikan, atau tepatnya
terhadap praktek pendidikan, namun hampir semua pihak sepakat bahwa nasib suatu
komunitas atau suatu bangsa di masa depan sangat bergantung pada kontibusinya
pendidikan. misalnya sangat yakin bahwa pendidikanlah yang dapat memberikan
kontribusi pada kebudayaan di hari esok. Pendapat yang sama juga bisa kita baca
dalam penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 20 Tahun 2003
tentang sistem pendidikan Nasional (UU No. 20/2003), yang antara lain
menyatakan: Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan
merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses
pembelajaran atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat”. Namun
didalam dunia pendidikan sendiri banyak masalah-masalah pendidikan yang
dihadapi di era globalisasi ini. Baik itu masalah yang bersifat internal maupun
eksternal.
Makalah ini berusaha
mengidentifikasi dan memahami permasalahan-permasalahan pendidikan. Perlu pula
dikemukakan bahwa permasalah pendidikan yang diuraikan dalam makalah ini
terbatas pada permasalahan pendidikan formal. Namun sebelum menguraikan
permasalahan pendidikan islam di era globalisasi, terlebih dahulu disajikan
uraian singkat tentang fungsi pendidikan. Uraian yang disebut terakhir ini
dianggap penting, karena permasalahan pendidikan pada hakekatnya terkait erat
dengan realisasi fungsi pendidikan
Indonesia merupakan negara yang mutu
pendidikannya masih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain bahkan
sesama anggota negara ASEAN pun kualita SDM bangsa Indonesia masuk dalam
peringkat yang paling rendah. Hal ini terjadi karena pendidikan di Indonesia
belum dapat berfungsi secara maksimal. Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia
harus segera diperbaiki agar mampu melahirkan generasi yang memiliki keunggulan
dalam berbagai bidang supaya bangsa Indonesia dapat bersaing dengan bangsa lain
dan agar tidak semakin tertinggal karena arus global yang berjalan cepat.
Untuk memperbaiki
pendidikan di Indonesia diperlukan sistem pendidikan yang responsif terhadap
perubahan dan tuntutan zaman. Perbaikan itu dilakukan mulai dari pendidikan
dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Oleh karena itu, bangsa
Indonesia harus menggunakan sistem pendidikan dan pola kebijakan yang sesuai
dengan keadaan Indonesia.
Masa depan
suatu bangsa sangat tergantung pada mutu sumber daya manusianya dan kemampuan
peserta didiknya untuk menguasai ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Hal tersebut dapat
kita wujudkan melalui pendidikan dalam keluarga, pendidikan masyarakat maupun
pendidikan sekolah.
Saat ini
pendidikan sekolah wajib di terima oleh seluruh masyarakat Indonesia, karena
dengan mengenyam pendidikan kita dapat mengikuti arus global dan dapat mengejar
ketertinggalan kita dari bangsa lain. Namun dalam kenyataannya sekarang ini
masih banyak orang yang belum dapat mengenyam pendidikan sekolah karena faktor
ekonomi. Akan tetapi di dalam era global ini, hal tersebut tidak boleh terjadi
karena akan menghambat perkembangan SDM dan bangsa pada umumnya. Maka dari itu,
pemerintah Indonesia harus mengambil kebijakan yang dapat mengatasi masalah
tersebut.
B.
Sistem Pendidikan yang di Anut di Indonesia
Indonesia sekarang menganut sistem
pendidikan nasional. Namun, sistem pendidikan nasional masih belum dapat
dilaksanakan sebagaimana mestinya. Ada beberapa sistem di Indonesia yang telah
dilaksanakan, di antaranya:
1. Sistem Pendidikan Indonesia yang berorientasi pada nilai.
Sistem pendidikan ini telah diterapkan sejak sekolah dasar. Disini peserta
didik diberi pengajaran kejujuran, tenggang rasa, kedisiplinan, dsb. Nilai ini
disampaikan melalui pelajaran Pkn, bahkan nilai ini juga disampaikan di tingkat
pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.
2. Indonesia menganut sistem pendidikan terbuka.
Menurut sistem pendidikan ini, peserta didik di tuntut untuk dapat bersaing
dengan teman, berfikir kreatif dan inovatif
3. Sistem pendidikan beragam.
Di Indonesia terdiri dari beragam suku, bahasa, daerah, budaya, dll. Serta
pendidikan Indonesia yang terdiri dari pendidikan formal, non-formal dan
informal.
4. Sistem pendidikan yang efisien dalam pengelolaan waktu.
Di dalam KBM, waktu di atur sedemikian rupa agar peserta didik tidak merasa
terbebani dengan materi pelajaran yang disampaikan karena waktunya terlalu
singkat atau sebaliknya.
5. Sistem pendidikan yang disesuaikan dengan perubahan zaman.
Dalam sistem
ini, bangsa Indonesia harus menyesuaikan kurikulum dengan keadaan saat ini.
Oleh karena itu, kurikulum di Indonesia sering mengalami perubahan / pergantian
dari waktu ke waktu, hingga sekarang Indonesia menggunakan kurikulum KTSP.
C.
Problem di Bidang Pendidikan
Problem
yang dihadapi bangsa Indonesia di bidang pendidikan mencakup tiga pokok proble,
yaitu:
a. Pemerataan Pendidikan
Saat ini bangsa Indonesia masih mengalami di bidang pemerataan pendidikan.
Hal tersebut dikarenakan pendidikan di Indonesia hanya dapat dirasakan oleh
kaum menengah ke atas. Agar pendidikan di Indonesia tidak semakin terpuruk,
maka pemerintah harus mengambil kebijakan yang tepat. Misalnya, adanya
kebijakan wajib belajar 9 tahun. Kebijakan ini dilaksanakan dari mulai bangku
SD hingga SMP. Pemerintah membuat kebijakan dengan meratakan tenaga pendidik di
setiap daerah.
b. Biaya pendidikan
Keadaan ekonomi Indonesia yang semakin terpuruk berdampak pula pada
pendidikan di Indonesia. Banyak sekali anak yang tidak dapat mengenyam
pendidikan karena biaya pendidikan yang mahal. Maka dari itu, agar bangsa
Indonesia tidak semakin terbelakang, Pemerintah mulai mengeluarkan dana BOS,
yang diberikan kepada peserta didik di SD dan SMP. Hal tersebut dilakukan
dengan membebaskan biaya SPP atau membuat kebijakan free-school bagi pendidikan
dasar. Dengan dikeluarkan kebijakan tersebut, di harapkan semua pendidikan
dapat dirasakan di semua kalangan masyarakat Indonesia.
c. Kualitas Pendidikan
Selain kedua
masalah tersebut, permasalahan yang paling mendasar adalah masalah mutu
pendidikan. Karena sekarang ini pendidikan kita masih jauh tertinggal jika di
bandingkan dengan negara-negara lain. Hal tersebut di buktikan dengan banyaknya
tenaga pendidik yang mengajar namun tidak sesuai dengan bidangnya. Selain itu,
tingkat kejujuran dan kedisiplinan peserta didik masih rendah. Contohnya:
dengan adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan saat mengikuti Ujian
Nasional peserta didik cenderung pilih mendapat jawaban secara instan, misalnya
dengan membeli jawaban soal UN. Oleh karena itu, mutu pendidikan harus
diperbaiki, maka pemerintah membuat kebijakan yang berupa peningkatan mutu
pendidik. Yang dilakukan dengan cara mengevaluasi ulang tenaga pendidik agar
sesuai dengan syarat untuk menjadi pendidik. Selain itu, pemerintah harus
meningkatkan sarana dan prasarana, misalnya memperbaiki fasilitas gedung,
memperbanyak buku.
Pendidikan sangat penting pengaruhnya
bagi suatu bangsa. Tanpa adanya pendidikan, maka bangsa tersbut akan tertinggal
dari bangsa lain. Sepeti halnya juga bangsa Indonesia, pendidikan merupakan
salah satu upaya yang dibutuhkan untuk mengejar ketertinggalan dari bangsa lain
khususnya bangsa-banga ASEAN. Maka pendidikan Indonesia harus diperbaiki, baik
dari segi sistem pendidikan maupun sarana prasarana.
Indonesia
terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Saat
ini pemerintah mulai memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia dengan membuat
berbagai kebijakan dan merubah sistemnya. Pendidikan Indonesia saat ini
menggunakan sistem nasional yang meliputi sistem terbuka, sistem yang
berorientasi pada nilai, sistem pendidikan yang beragam, sistem pendidikan yang
disesuaikan dengan perubahan zaman dan sistem pendidikan yang efektif dan
efisien. Untuk menjalankan sistem tersebut, pemerintah mengeluarkan sistem
wajib belajar 9 tahun yang ditujukan untuk peserta didik SD dan SMP, adanya
free-school. Perubahan kurikulum dari waktu ke waktu yang disesuaikan dengan
keadaan pendidikan sekarang, memperbaiki sarana-prasarana, mengevaluasi kinerja
tenaga pendidik dll. Dengan adanya upaya pendidikan di Indonesia dapat lebih
baik agar bangsa Indonesia dapat mengimbangi negara lain terutama negara-negara
ASEAN.
D. Kemadegkan
Mutu Pendidikan Nasional
Dalam berbagai kesempatan, hasil dari proses sistem
pendidikan yang tengah dijalankan oleh Bangsa Indonesia masih jauh dari
harapan. Secara garis besarnya, fenomena itu di karena dua faktor utama yang
mempengaruhi. Dua faktor itu selanjutnya berbias kepada sistem yang lain di
bidang pendidikan. Dua faktor utama itu adalah; pertama dominasi
pengaruh politik di Indonesia atas sistem pendidikan, kedua kekaburan
orientasi.
Pertama dominasi pengaruh politik yang masuk sampai
pada wilayah pendidikan. Diakui bersama bahwa pendidikan merupakan wilayah
pemberdayaan. Pemberdayaan bagi anak-anak Bangsa yang akan memimpin dan mengisi
pembangunan negeri ini secara baik. Apabila wilayah pendidikan sudah dimasuki
“virus-virus” politis, maka hasilnya akan menjadi naif bagi perkembangan bangsa
Indonesia khususnya bidang pendidikan. Berbagai temuan kasus dijumpai secara
eksplisit pada ujung-ujungnya adalah dominannya praktik-praktik politik atau
kepentingan dalam dunia pendidikan.
Mengkaji tentang praktik politik adalah berbicara pada
wilayah kekuasaan. Sementara, sangat mengenaskan apabila kekuasaan di dapat
dari jerih payah “biaya politik”. Kekuasaan yang diperoleh dari biaya tidak
jauh beda dengan rumusan ekonomi, yakni mendapat keuntungan besar dengan modal
yang sedikit. Selanjutnya pertanyaan akhir adalah bagaimana mengembalikan biaya
(baca: modal) dan keuntungan yang didapat ketika ada di kekuasaan. Untuk itu
wajar bahwa kasus pemberantasan korupsi di Indonesia sulit di cegah. Bahkan
berdasarkan hasil survei harian Kompas tanggal 17 November 2005 negara
Indonesia masuk peringkat ke-6 dari 159 negara yang tersurvei. Ini menunjukkan
budaya korupsi berjamaah masih mengakar kuat di negeri Indonesia. Demikian
juga, wacana bagi-bagi kekuasaan pun menjadi sebuah kewajaran.
Apabila fenomena tersebut tetap terpelihara dengan
baik, maka sikap profesionalitas pemimpin sulit diwujudkan. Karena perwujudan
profesionalitas pemimpin merupakan indikator dari bentuk akuntabilitas publik.
Bagaimana publik mampu bersikap akuntabel bila sikap profesionalisme tidak
dimiliki? Dari pertanyaan itu, kemudian memunculkan faktor kedua, yakni
kekaburan orientasi.
Orientasi pendidikan yang secara konstitusinya dibuat
seideal mungkin tercoreng akibat praktek-praktek korupsi, kolusi atau bagi-bagi
kekuasaan. Kenyataan itu pada dasarnya merugikan publik. Bagaimana tidak!
Syarat para penguasa atau pemimpin diterima oleh banyak kalangan adalah
berangkat dari bentuk-bentuk kompromistis belaka. Selanjutnya, kualitas dan
idealitas di keduakan atau bahkan tertelantarkan sama sekali. Yang tepenting
adalah mengakomodir semua kelompok tanpa di pertimbangkan profesionalitas.
Akibatnya, kualitas dan idealitas terabaikan demi kepentingan kekuasan.
Fenomena tersebut merupakan problem Bangsa Indonesia yang
menjadikan mutu pendidikan sulit untuk diwujudkan. Namun upaya demikian bisa
teratasi dengan baik apabila muncul dari kesadaran kolektif. Kesadaran kolektif
dari berbagai elemen masyarakat. Dan kesadaran itu diperoleh melalui berbagai
usaha dan fasilitas yang memungkinkan terbangunnya sebuah kesadaran kolektif
itu sendiri
Disamping harapan besar yang ada tersebut perlu juga
diiringi dengan penerapan sistem aturan yang tegas. Penegasan aturan diharapkan
dari embrio demokratisasi yang sudah mengejala di negeri ini. Dengan budaya
demokratisasi minimal akan memunculkan sikap keterbukaan, keteraturan dan
mengarah kepada tercapainya cita-cita bersama, yakni kemanusiaan, keadilan,
kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Potensi ini merupakan
modal untuk mewujudkan mutu pendidikan yang lebih baik dari hari sebelumnya.
E. Akar Sistem
Pendidikan Dua Atap
Dalam konstelasinya, akar masalah terdapatnya dua
sistem lembaga pendidikan di negeri Indonesia, yakni yang pertama adalah
lembaga pendidikan yang berbasis pengetahuan agama (Islam) dan kedua
lembaga pendidikan yang berbasis pengetahuan umum. Kedua sistem lembaga
pendidikan itu menjadi perhatian karena keduanya telah eksis sejak masa
penjajahan sampai masa kemerdekaan hingga saat ini tetap terpelihara dengan
baik. Oleh karenanya bila diruntut sejarah terjadinya sistem pendidikan dua
atap di Indonesia sudah terjadi sejak jaman sejarah Indonesia merintis
kemerdekaannya.
Bangsa Belanda yang menjajah Bangsa Indonesia selama
hampir + 350 tahun ingin menanamkan pengaruhnya melalui jalur
pendidikan yang berakar dari masyarakat setempat. Dalam kenyataannya,
masyarakat setempat khususnya di pulau Jawa telah berkembang suatu sistem
pendidikan agama Islam. Materi belajarnya pun berorientasi pada pemahaman tentang
agama Islam. Sumber literaturnya pun mengunakan bahasa arab, demikian juga cara
menulisnya menurut Belanda menggunakan tulisan arab. Realitas demikian,
pemerintah Belanda mengansumsikan bahwa pendidikan itu tidak sesuai dengan
masyarakat pribumi (baca: Indonesia). Karena, Belanda menganggap sistem
pendidikan yang dilakukan bukan berasal dari masyarakat Indonesia tetapi
berasal dari negara Arab. Bangsa Arab berbeda secara geotafis maupun secara
kultur.
Berdasarkan hasil pengamatan atas pelaksanaan pendidikan
yang ada di masyarakat, pemerintah Belanda menginginkan suatu sistem pendidikan
yang sesuai dengan keadaan masyarakat apa adanya. Persepsi tentang pendidikan
yang sesuai dengan keadaan masyarakat apa adanya adalah sesuatu itu didasarkan
kebutuhan pribumi murni, secara teratur dan disesuaikan dengan konteks
masyarakat desa. Sehingga dalam kenyataannya, beberapa kali pendidikan agama
Islam sudah melembaga di tengah masyarakat Indonesia yang ada diusulkan untuk
dikembangkan selalu ditolak oleh pemerintah kolonial Belanda.
Pengembangan lembaga pendidikan yang ada agar, dapat
dimanfaatkan terkait kebijakan mengenai pendidikan sesuai dengan orientasi
pemerintah Koloni Belanda di perwakilan Indonesia.
Kenyataannya pemerintah Koloni Belanda selalu memilih
jalan lain dari pada menyesuaikan diri dengan pendidikan Islam. J.A. Van der
Chijs, inspektur Pendidikan Kolonial Belanda pertama di Indonesia dan beberapa
orang pembantunya menilai tradisi dikdaktis pendidikan Islam terlalu rendah dan
tidak berguna apabila dikembangkan. Sejalan dengan penilaian itu, Menteri
Pendidikan Kolonial Belanda menolak memberi subsidi kepada sekolah-sekolah
Islam di Indonesia. Alasan itu didasarkan atas pertimbangan bahwa Pemerintah
Kolonial Belanda tidak ingin mengorbankan uang negara untuk keperluan yang
tidak ada kejelasan manfaatnya bagi negara.
Berdasarkan atas pertimbangan tersebut, pemerintah
Kolonial Belanda mendirikan pendidikan bagi masyarakat Indonesia yang disebut
Sekolah Desa. Lembaga pendidikan yang disebut dengan nama Sekolah Desa,
kemudian menjadi embrio lembaga pendidikan umum yang saat ini dikelola oleh
Departemen Pendidikan Nasional. Sejalan dengan berkembangnya Sekolah Desa,
tidak ketinggalan pula sistem pendidikan Islam yang berbasis di masyarakat
pedesaan berkembang atas swadaya masyarakat. Karena sifatnya swadaya, maka
kebanyakan lembaga ini mengabaikan atau bahkan tidak memiliki jalur hubungan
dengan Pemerintah Kolonial Belanda pada waktu itu. Sikap seperti itu
digambarkan oleh Karel A. Steenbrink merupakan gerakan anti Belanda. Oleh sebab
itu, sekolah Islam selalu mengambil jalan sendiri, lepas dari Gubermen (istilah
pemerintah Kolonial Belanda yang berkuasa di Indonesia).
Setelah kemerdekaan sistem pendidikan yang demikian
tetap mengakar dalam masyarakat Indonesia. Satu sisi sebagian para tokoh
kemerdekaan tetap memandang ideal sistem pendidikan yang diwariskan oleh
pemerintah Kolonial Belanda, sebagian yang lain menganggap yang diideal untuk
dikembangkan adalah sistem pendidikan Islam. Bahkan beberapa pejabat yang
menangani bidang pendidikan kurang menghargai atau meremehkan sekolah-sekolah
Islam. Untuk menjebatani hal itu, maka sistem pendidikan Islam dikelola oleh
Departemen Agama yang para menterinya berlatarbelakang Islam. Sementara sistem
pendidikan warisan Kolonial Belanda diserahkan pengelolaannya pada Departemen
Pengajaran, pendidikan dan Kebudayaan yang sekarang berganti nama dengan
Departemen Pendidikan Nasional.
Pada tahun 1950, terjadi suatu pristiwa bersejarah
yang menandai dualisme terkait tentang polemik pendidikan di Indonesia.
Presiden Soekarno menetapkan berdirinya Universitas Gadjah Mada (Universitas
Umum) yang diperuntukkan bagi golongan Nasional dan dalam kurun waktu bersamaan
menetapkan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) Yogyakarta yang
diperuntukkan bagi umat Islam. Kebijakan ini dinilai oleh sebagian para tokoh
sebagai accident sejarah dalam dunia pendidikan Indonesia.
Pertimbangan Presiden Soekarno waktu itu tidak lepas
dari sistuasi politik saat itu. Tetapi bagaimanapun pertimbangan untuk
mengotakkan golongan Islam dan golongan Nasional kedalam dua entitas yang
berbeda yakni pendidikan “pendidikan agama” dan “pendidikan umum” merupakan
kelanjutan fenomena sebuah sistem pendidikan di Indonesia. Dan fenomena itupun
merupakan warisan dari zaman Kolonial Belanda.
Dalam perkembangannya, Universitas Umum dan PTAIN
telah membentuk polarisasi yang lebih menyeluruh. Artinya implementasi atas
fenomena itu memperkuat dualisme sistem pendidikan di Indonesia. Atas
perkembangan realitas itu Nurcholish Madjid mengandaikan bahwa umpamanya negeri
Indonesia tidak pernah mengalami penjajahan oleh Bangsa Asing, mungkin
pertumbuhan sistem pendidikannya akan mengikuti jalur-jalur yang ditempuh oleh
sistem pendidikan Islam. Sehingga perguruan-perguruan tinggi yang ada sekarang
ini tidak akan berupa UGM, ITB, IPB, Unair, UNDIP, UNIBRAU, UNTAG, UNES, UBAYA
ataupun yang lain, tetapi mungkin namanya “universitas” Krapak, Tremas,
Tebuireng, Rejoso, Lasem, Bangkalan, dan seterusnya. Kemungkinan itu ditarik
secara kasat mata atas pertumbuhan sistem pendidikan di negeri-negeri Barat.
Dimana hampir semua universitas terkenal cikal bakalnya adalah
perguruan-perguruan yang semula berorientasi keagamaan.
F. Implementasi
Kebijakan Sistem Pendidikan Nasional
Disampaikan bahwa dalam implentasinya, sistem
pendidikan di Indonesia tidak lepas dari kondisi sosio kultural dan politis
Bangsa ini. Beuground historis menjadi landasan yang tidak terpisahkan
dalam prakteknya. Ketika memperhatikan sistem pendidikan di negara Indonesia,
dunia pendidikan sudah berkembang dalam sistem yang dualistik antara pendidikan
umum (nasional) di satu pihak dan pendidikan agama di lain pihak.
Apabila ditinjau dari segi historisitasnya, dualisme
itu pada awalnya sudah eksis sejak masa penjajahan Belanda. Namun sebagai
refleksi, eksistensi kedua lembaga pendidikan itu merupakan pergumulan dari dua
basis politik Islam dan Nasionalisme yang sejak awal kemerdekaan Indonesia
tidak bisa dielakkan untuk melebur kedalam salah satu sistem pendidikan yang
ada. Sampai pada puncaknya ---dalam sejarah mencatat--- benturan yang cukup
serius terjadi saat penentuan dasar dan bentuk negara Indonesia. Meskipun dalam
kenyataannya terjadi rekonsiliasi dalam formula negara yang berdasarkan
Pancasila. Tetapi implikasi dualisme ideologis itu berdampak terhadap dunia
pendidikan. Fenomena itu tampaknya tidak bisa dihapuskan dalam masa
pendek. Disamping masalahnya cenderung bersifat instrumental, juga karena secara
realistik khususnya lembaga pendidikan berbasiskan Islam memiliki akar historis
yang sangat panjang di Indonesia, bahkan jauh lebih panjang dari tradisi
lembaga pendidikan berbasiskan umum yang di dominasi oleh pendidikan nasional
dewasa ini.
Atas berbagai fenomena dan faktor historis yang ada
tersebut, implementasi sistem pendidikan Indonesia dikelola oleh dua
Departemen. Departemen Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (saat ini berganti
nama menjadi Departemen Pendidikan Nasional) membawahi pelaksanaan pendidikan
yang di dominasi oleh pengajaran ilmu pengetahuan umum. Sementara di sisi yang
lain pelaksanaan pendidikan yang di dominasi pengajaran ilmu pengetahuan Agama
dikelola oleh Departemen Agama.
Usaha untuk memadukan sistem pendidikan yang dualistik
tersebut sebagaimana telah diusahakan di era pemerintah Orde Baru. Namun usaha
itu bukan merupakan sesuatu yang baru. Karena pada masa awal abad ke-19 usaha
ke arah itu sudah di mulai ketika gerakan modernis Islam. Gerakan ini mencoba
pada tahap usaha memperbaharui pendidikan Islam dengan memasukkan mata-mata
pelajaran baru (umum) dan memperkenalkan sistem didaktik metodik ala “Barat”.Gagasan
itu dilakukan mengingat ketertinggalan ilmu pengetahuan umat Islam tertinggal
jauh dengan Bangsa Barat. Akibat ketertinggalan itu dikarenakan orientasi
pendidikan umat Islam lebih mengarah pada persoalan-persoalan ukhrowiyah
(ke-akhirat-an), sementara pendidikan dikalangan umat Islam mengabaikan pada
penguasaan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan hal-hal duniawiyah (ke-dunia-an).
Gerakan modernisme Islam mencoba melakukan penggabungan penguasaan ilmu
pengetahuan dengan mengorientasikan kepada dua hal itu (dunia dan akherat).
Dasar pembaharuan dalam pendidikan dikalangan umat Islam pun perlu dilakukan
perombakan keorientasian. Usaha pembaharuan itu diwujudkan dengan mencoba
menggabungkan ilmu pengetahuan yang berorientasi keduniaan dan ilmu pengetahuan
yang berorientasi keagamaan secara seimbang.
Disamping ketidakbaruan pemerintahan Orde Baru dalam
usaha penggabungan dualistik sistem pendidikan di Indonesia dan juga tidak
menuai hasil memuaskan karena usaha itu diorientasikan lebih bersifat network.
Padahal, kedua institusi itu memiliki orientasi yang berbeda. Bisa dilihat
pemberian materi pelajaran di lembaga pendidikan yang dikelola oleh Diknas.
Hingga saat ini, jam pelajaran keagamaan masih belum sebanding dengan materi
pelajaran lain, demikian juga sebaliknya. Juga terkait dengan persoalan
pembiayaan dan manajemen manajemen yang tidak seimbang. Sebagai contoh dalam
persoalan pendanaan di lembaga pendidikan yang di kelola oleh Departemen
Pendidikan Nasional memperoleh banyak kesempatan untuk mengembangkan sarana dan
prasarana pendidikan. Berbeda dengan lembaga pendidikan yang dikelola oleh
Departemen Agama.
Karena tanggung jawab Depag cukup beragam selain
menangani masalah pendidikan yang dikelolanya. Akibat beragamnya tanggungjawab
Depag berimbas pada perolehan dana yang dialokasikan pengelolaan pendidikannya
pun menjadi terbatas. Minimnya perolehan aliran dana ke lembaga pendidikan yang
berbasiskan ilmu pengetahuan keagamaan ini, lembaga itu tidak bisa berbuat
banyak untuk mengembangkan sarana dan prasarananya secara maksimal. Maka, yang
terjadi sebuah jurang pemisah yang sangat dalam dan lebar antara lembaga
pendidikan di bawah naungan Depag dengan lembaga pendidikan di bawah naungan
Diknas.
Usaha yang cukup monumental karena boleh dinilai cukup
revosioner adalah pada masa pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid. Di saat
presiden Gus Dur (panggilan akrab KH. Abdurrahman Wahid) menyusun Kabinetnya.
Beliau berani mengubah salah satu nama Departemen yang selama 32 tahun
menangani tentang pelaksanaan pendidikan nasional yakni Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan (Depdikbud) diganti nama menjadi Departemen Pendidikan Nasional
(Depdiknas). Dengan berganti nama itu, diharapkan juga akan berganti orientasi dalam
mengelola pendidikan nasional. Untuk itu banyak kalangan para pengamat menilai
bahwa perubahan nama departemen ini memiliki makna dan implementasi tertentu
terhadap dunia pendidikan di Indonesia. Boleh jadi implementasi pendidikan di
Indonesia yang selama ini masih dualistik dan memiliki orientasi yang berbeda
dilebur dalam satu “atap” atau satu Departemen.
Penilaian tersebut mungkin juga mendekati kebenaran
tatkala dalam berbagai kesempatan Presiden Gur Dur menyampaikan pandangan untuk
menempatkan apa yang disebut sebagai sekolah-sekolah agama ke bawah sistem
pendidikan nasional. Bisa jadi ide itu mempertimbangkan kebutuhan Indonesia
yang masih memerlukan perhatian serius tentang rendahnya kualitas SDM apabila
dibandingkan dengan kualitas SDM negara lainnya. Disamping mempertimbangkan hal
itu, juga terkait munculnya kepentingan global. Sebab, kepentingan global mampu
memberikan dampak yang cukup signifikan pada pola kehidupan umat manusia
diseluruh penjuru dunia tanpa terkecuali.
Kepentingan global menjadi perhatian karena salah satu
dampak yang ditimbulkan adalah terbangunnya jaring-jaring komunikasi yang
sangat intensif antar satu masyarakat dengan masyarakat lain. Apalagi
intensitas komunikasi ini ditunjang dengan kemajuan teknologi khususnya kecanggihan
teknologi komunikasi. Bisa jadi akibat dari intensitas komunikasi akan
menyebarnya kepentingan maupun misi-misi suatu kelompok atau negara tertentu
dengan mudah. Akibat mudahnya sosialisasi tersebut, menjadikan suatu masyarakat
apabila tidak memiliki SDM berkualitas maka bisa jadi akan terbawa dan ikut
arus dengan kepentingan tersebut. Untuk itu perlunya mempertegas sistem
pendidikan kondusif, sehingga mampu menghasilkan SDM yang berkualitas.
Disamping sistem kebijakan yang kondusif juga perlu suatu sistem pendidikan
progresif. Progresifitas pendidikan perlu menjadi pandangan agar orientasi
pendidikan mampu merespon perkembangan zamannya.
G. Keterkaitan Antara UU 1945-UU Sistiknas No. 20 Tahun
2003
Kalau saja jujur, antara esensi dan kenyataan yang ada
terkait dengan pendidikan kita di Indonesia, sangat jelas bahwa antara
harapan(das sollen ) dan realitas (das sein), sangatlah jauh melenceng.
Undang-undang Dasar 1945 mengamanatkan agar pendidikan itu dinikmati oleh
seluruh rakyat Indonesia secara merata dan adil untuk mengentaskan kemiskinan,
memberikan pendidikan yang berkeadilan, dan membebaskan dari kebodohan. Pada
kenyataannya? Dua fakta ini terkesan antara langit dan bumi.
Munculnya berbagai kebijakan pemerintah dengan undang-undang pendidikan sejak
Indonesia merdeka, telah mengindikasikan bahwa esensi pendidikan itu kurang
mendapat porsi penanganan yang pasti dan inkonsistensional. Sebut saja
munculnya: Kurikulum berbasis KTSP, UN (Ujian Nasional), UU
BHP yang akhirnya ditolak di MA, dan masih banyak yang lainnya.
Menurut Pemerintah, lahirnya Ujian Nasional adalah sebagai alat
untuk mengukur mutu pendidikan nasional. Disinyalir oleh kalangan birokrasi
kependidikan bahwa tingkat kelulusannya cukup bagus. Kenyataannya ternyata
hampir menurun tiap tahun. Sebagai contoh, tingkat kelulusan
SMA/SMK di Bali tahun 2010 menurun dari sebelumnya yakni: dari
93,74 menjadi 89,88. Berdasarkan data Badan Standar Nasional Pendidikan,
terdapat 154,079 siswa yang tidak lulus dari total peserta 1.522.162 siswa yang
ikut ujian di seluruh Indonesia. Kalau demikian benarkah UN layak
sebagai alat untuk mengukur dan mengevaluasi kualitas mutu pendidikan
nasionals? Secara teoritis mungkin benar.
Digulirkannya kebijakan desentralisasi khususnya di
bidang pendidikan penyelenggaraan UN ini sangatlah tidak rasional.
Mengapa? Lihat saja kelulusan anak-anak sekolah dari level sekolah dasar
hingga menengah atas. Prosentase kelulusan dari tiap-tiap kabupaten/kota,
hingga ke provinsi, juga semakin menurun tiap tahun. Ini baru di
Bali. Bagaimana dengan di tempat yang lain?
Melihat realitas tersebut, kebijakan Ujian Nasional ini seharusnya
perlahan-lahan dihapuskan saja. Dengan melihat realitas di lapangan, betapa
banyaknya rakyat Indonesia yang kecewa karena anaknya tidak lulus. Khususnya
mereka yang berasal dari rakyat miskin. Apakah ini sesuai dengan esensi dari
tujuan UU 1945 terkait dengan Pendidikan di Indonesia? Jangankan pemerataan dan
keadilan pendidikan yang diharapkan mampu membebaskan mereka dari kemiskinan,
namun justru sebaliknya bahwa telah menghancurkan harapan mereka di
tengah sulitnya untuk bertahan hidup, dan membiayai sekolah anaknya agar
tidak droup out. Ironisnya lagi, dengan isu tidak adanya ujian susulan bagi
peserta UAN yang tidak lulus, menurut hasil akhir perdebatan antara
Mendiknas dengan wakil rakyat, betapa tidak menambah beban orang
tua siswa anak-anak bangsa ini. What the joke?
UAN adalah suatu bentuk evaluasi hasil belajar yang dilakukan terhadap peserta
didik untuk mengetahui tingkat keberhasilan mereka dalam menyerap pengetahuan
yang diberikan. Oleh karena itu, evaluasi adalah suatu hal yang wajib dilakukan
dalam dunia pendidikan untuk mengetahui tingkat keberhasilan itu. Masalahnya
apakah evaluasi itu dilakukan oleh orang/lembaga/institusi yang
mengetahui seberapa jauh proses belajar yang dilakukan oleh peserta
didik. Faktanya sangatlah berbeda.
Dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pasal
58 ayat (1) dikatakan” Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh
pendidik untuk memantau proses kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta
didik secara berkesinambungan”. Dari ayat ini sudah diketahui bahwa yang berhak
dan berkewajiban menyelenggarakan evaluasi terhadap peserta didik atas proses
hasil belajar adalah pendidik alias GURU. Hal ini karena guru-lah yang paling
tahu tentang proses belajar murid dalam kelas, guru-lah yang paling mengerti
tentang kemajuan siswa dalam proses belajar itu. Itulah salah satu
fungsinya guru. Lalu tiba-tiba kita dikejutkan bahwa Negara (baca:
pemerintah/depdiknas) menyelenggarakan UAN yang berfungsi sebagai evaluasi
hasil belajar dan juga sebagai penentu kelulusan/keberhasilan peserta didik.
What the joke? Apa yang pemerintah tahu tentang proses belajar di kelas? Apa
yang pemerintah tahun tentang kemajuan prosaes pendidikan? Apa yang
pemerintah tahu tentang seberapa jauh seorang peserta didik bisa
mengikuti tingkat pendidikan itu. Nothing. Menteri Pendidikan terdahulu,
Bambang Sudibyo mengatakan bahwa tingkat kelulusan UAN di SMU telah mencapai
diatas 90% What bullshit? Semua orang tahu bahwa kualitas mutu pendidikan di
Negara kita sangatlah jomblang.
Perdebatan seputar mana yang harus diprioritaskan, apakah kualitas pendidikan
atukah pemerataan pendidikan, adalah seperti memperdebatkan mana yang lebih
dahulu, ayam atau telur. Jawabnya bisa keduanya. Namun jika kondisi
dimana pendidikan menjadi suatu alat membangun manusia, maka pemerataan
pendidikan haruslah mendapat tempat utama. Logikanya, Negara kita bertujuan
membangun manusia Indonesia seutuhnya ( lihat Pembukaan UUD 1945).
Manusia Indonesia seutuhnya adalah manusia yang terdidik, baik
intelektualitasnya, emosinya, maupun perilakunya. Dan pembangunan itu
hanya, dan hanya bisa didapat mmelalui pendidikan. Oleh karena pendidikan
menjadi alat utama dan terutama dalam membangun manusia. Jelaslah
dibutuhkan oleh bangsa Indonesia sekarang ini adalah kesempatan
memperoleh pendidikan yang seadil-adilnya bagi seluruh rakyat Indonesia.
Setelah semua anak negeri ini mendakapatkan kesempatan yang sama untuk
memperoleh pendidikan, barulah benar kita berbicara tentang kualitas.
Menurut BPS tahun 2003, angka buta huruf di Indonesia yang berusia di atas 10
tahun mencapai 9,07 % atu 15,5 juta orang. Apa artinya angka ini? Artinya
pendidikan belum merata di negeri ini, karena masih banyak rakyat yang
bahkan masih belum bisa membaca dan menulis. Lalu bagaimana bisa
berpikiir mendahulukan kualitas pendidikan sedangkan pendidikan masih
belum merata di negeri ini?
H. Maraknya Demo Dan Isu Sekitar
Pendidikan
Bukan rahasia lagi bahwa antara output dan outcome yang dihasilkan oleh
sebuah proses lembaga pendidikan di Indonesia tidak memuaskan dari tahun
ketahun. Maka tidak heran bahwa demopun tidak terhindarkan, walaupun
masih dalam koridor yang wajar.
Demo yang kritis muncul karena distorsi di bidang pendidikan di tiap
wilayah berbeda di Indonesia. Kita tidak bisa membandingkan kualitas
pendidikan di Papua dan di Jakarta. Itu tidak ubahnya membandingkan kecepatan
lari kuda dengan siput. Semua orang tahu bahwa ada disparitas. Lalu ketika ada
ujian nasional yang terstandarisasi, kita memakai standar yang mana? Ada
yang dilupakan oleh para penentu kebijakan pendidikan di Negara ini,
yakni filosofi pendidikan, hasil ujian bukanlah salah satu indikator
keberhasilan pendidikan. Proses sebuah pendidikan jauh lebih esensial.
Maka keberhasilan pendidikan juga tidak bisa dilihat dari kertas nilai
hasil ujian dengan nilai sekian dan ada cap LULUS (yang ditentukan pemerintah).
Pendidikan adalah proses membangun manusia seutuhnya.
Bukan hanya membangun kecerdasan (intelektual) belaka, tapi juga membangun dan
meningkatkan afeksi dan motorik. Pemerintah tentu tidak perlu diajari
lagi masalah ini.
Akhir-akhir ini muncul lagi kebijakan yang meresahkan lembaga pendidikan
swasta. Ditetapkannya BHP yang mana oleh pemerintah dianggap sebagai instrument
untuk menakar pendirian dan rekrutmen peserta didik dalam suatu wilayah,
sangatlah memberatkan. Lembaga swasta adalah lembaga independent yang
mencari peluang dari menjual kualitas jasa pendidikan. Jika dibatasi, diatur
dengan Permen dan ketentuan lain, akan banyak lembaga pendidikan swasta yang
gulung tikar. Selanjutnya akan muncullah peodalisme pendidikan. Sekolah
negeri dengan materai milik pemerintah akan menjadi raksasa di wilayah
pendidikan? Jelas adalah kebijakan yang tidak arif dan melanggar Undang-Undang
Dasar 1945 tentang kemerdekaan setiap warga untuk mendapatkan pendidikan.
Selama kurun waktu hampir 60 tahun lebih sejak Indonesia merdeka, sekolah
swasta adalah mitra kerja dalam upaya memajukan pendidikan di tanah air
Indonesia. Kalau boleh jujur, sekolah swasta bahkan merupakah pilihan utama
(primadona) masyarakat dalam menentukan dimana anaknya harus disekolahkan.
Swasta yang tertib, desiplin, lengkap sarananya, dan lain-lain, merupakan image
positive yang tidak bisa dilihat sebelah mata. Maka adalah tidak fair
jika kemudian ada aturan semacam BHP. Adakah pemerintah akan menjadikan
proses pengembangan baik kuantitas maupun kualitas pendidikan dengan pendirian
dan rekrutmen siswa sebagai proyek? Hanya yang memikirkan BHP yang tahu jawabnya.
Jika itu maksud dan tujuannya maka niscaya Negara kita ini akan
semakin terpuruk dan terperosok dalam lubang problematika antara mutu dan
proyek para pemegang otoritas.
Tidak kalah ramainya, terkait dengan Kurikulum berbasis KTSP yang berbanding
linear dengan pelaksanaan desentralisasi. Yang benar saja. KTSP kini
menjadi sebuah “ Joke”. KTSP bukanlah kepanjangan dari
kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, namun “Kurikulum Tidak Siap Pakai.” Tentu
gunjingan ini sangat beralasan. Semua perubahan instrument yang dirujuk
oleh Pemerintah tak lebih hanyalah sebuah inovasi” trial and error”. Hal hasil,
semakin tampak bahwa karakter dan mutu pendidikan kita semakin tidak jelas arah
dan tujuannya.
isu-isu kritis pengembangan dan pembinaan profesi guru dan tenaga kependidikan
juga mempengaruhi kurangnya mutu pendidikan di Indonesia. Sebelumnya, membuka
kuliah umum ini, Ir. Maruli Gultom, rektor Universitas Kristen Indonesia
Jakarta, menyampaikan bahwa pendidikan di daerah terpencil harus diperhatikan
oleh pemerintah. Beliau menyampaikan bagaimana FKIP UKI pernah melakukan
kerjasama dengan PT. Astra Tbk., untuk mengadakan survey dan assessment
sekolah-sekolah binaan Astra, dan dari hasil assessment, FKIP UKI melakukan
tindakan nyata dengan malakukan pelatihan soft skill dan hardskill
guru-guru di sekolah-sekolah binaan. Hasil dari pelatihan tersebut, sekarang
sekolah-sekolah binaan tersebut menjadi sekolah unggulan di daerahnya.
Isu-isu kritis tersebut diantaranya menyinggung otonomi daerah, kualifikasi dan
penilaian kinerja guru, pembinaan karir guru. Sekarang ini pengelolaan guru
desentralisasi karena otonomi daerah. Hal ini menjadi kendala dalam distribusi
guru dan kebijakan-kebijakan yang lain dalam hal pemerataan baik secara
kualitas apalagi secara kwantitas dan matapelajaran. Apakah perlu
disentralisiskan? Kemungkinan lebih baik, tapi harus adanya Peraturan
Pemerintah atau Revisi UU No. 32 tentang Otomoni daerah.
Kualifikasi guru juga salah satu isu penting yang harus segera diperhatikan
pemerintah. Data sekarang, 48.69% guru belum S1/D4, dan banyak yang belum
linier, serta sebanyak 70% guru juga belum memiliki sertifikat pendidik.
Ditambah lagi Penilaian Kinerja Guru (PKG) belum jelas pemetaan peran tentang pelaksanaan
dan sistem pengendaliannya. Hal ini menyebabkan tidak bisa berlanjutnya
Penilaian Kinerja Berkelanjutan karena belum ada database berbasis sistem
informasi dan kurikulum untuk setiap jenjang kepangkatan.
Selain itu, pelaksanaan pembinaan dan system kenaikan pangkat dilakukan secara
manual dan konvensional, bahkan pengangkatan kepala sekolah belum berdasarkan
karir. Belum lagi sistem perlindungan terhadap profesi guru masih sangat minim,
terutama di sekolah swasta.
Tunjangan guru juga perlu diperhatikan mengingat yang terjadi sekarang adalah
masih menjadi masalah pada mekanisme pembayaran, komitmen daerah untuk
pembayaran, dukungan data base lemah, juga terjadi kelemahan pada pengawasandan
pengendalian, dan tunjangan yang seharusnya berdampak pada peningkatan kinerja
belum tampak.
Isu strategis yang lain adalah peningkatan pendidikan di daerah khusus, yaitu daerah-daerah yang masih belum tersentuh pendidikan yang layak. Hal ini menjadi perhatian karena sekarang ini belum ada kriteria daerah khusus yang menyebabkan kualifikasi dan kompetensi guru sangatlah lemah.
Isu strategis yang lain adalah peningkatan pendidikan di daerah khusus, yaitu daerah-daerah yang masih belum tersentuh pendidikan yang layak. Hal ini menjadi perhatian karena sekarang ini belum ada kriteria daerah khusus yang menyebabkan kualifikasi dan kompetensi guru sangatlah lemah.
Yang perlu diperhatikan lagi adalah mengenai guru honor (Guru Bantu, HONDA,
GYT, dan GTT) dan asosiasi profesi guru karena belum adanya regulasi guru honor
dan pendirian asosiasi profesi yang menyebabkan tidak optimalnya pembinaan
profesi. Seharusnya ada regulasi bagi guru honor dan perlindungan dan pembinaan
profesi.
Isu isu kritis ini perlu diperhatikan pemerintah dalam membuat undang-udang dan kebijakan-kebijakan untuk peningkatan mutu pendidikan Indonesia. Dihimbau juga kepada para peneliti atau praktisi pendidikan agar melakukan penelitian tentang isu-isu tersebut sehingga tersedianya data yang memberikan kontribusi bagi kebijakan pemerintah.
Isu isu kritis ini perlu diperhatikan pemerintah dalam membuat undang-udang dan kebijakan-kebijakan untuk peningkatan mutu pendidikan Indonesia. Dihimbau juga kepada para peneliti atau praktisi pendidikan agar melakukan penelitian tentang isu-isu tersebut sehingga tersedianya data yang memberikan kontribusi bagi kebijakan pemerintah.
I. Ketimpangan dalam penyediaan Mutu dan Jasa Pendidikan
1.
Tidak semua anak
bersekolah.
Indonesia masih belum mampu memenuhi program wajib
belajar 9 tahun bagi semua anak. Saat ini masih terdapat sekitar 20 persen anak
usia sekolah menengah pertama yang masih belum bersekolah. Perbedaan
partisipasi antar daerah yang cukup besar. Pada tahun 2002, sebagai contoh,
angka partisipasi murni pada jenjang sekolah dasar berkisar antara 83,5 persen
di propinsi Gorontalo dan 94,4 persen di Sumatera Utara. Pada jenjang sekolah
menengah pertama, angka partisipasi murni berkisar antara 40,9 persen di Nusa
Tenggara Timur dan 77,2 persen di Jakarta dan pada jenjang sekolah menengah
atas berkisar antara 24,5 persen di Nusa Tenggara Timur dan 58,4 persen di
Yogyakarta.
2.
Anak dari kelompok
miskin keluar dari sekolah lebih dini.
Pada tahun 2002 angka partisipasi sekolah menengah
pertama dari kelompok penduduk seperlima terkaya, lebih tinggi 69 persen
dibandingkan dengan angka partisipasi dari kelompok seperlima termiskin.
Sementara pada jenjang sekolah menengah atas, angka partisipasi murni dari
kelompok seperlima terkaya mencapai tiga setengah kali lebih tinggi
dibandingkan dengan angka partisipasi murni kelompok termiskin. Walaupun hamper
semua anak dari berbagai kelompok pendapatan bersekolah di kelas satu sekolah
dasar, anak dari kelompok pendapatan termiskin cenderung menurun partisipasinya
setelah mencapai kelas enam.
3.
Kualitas sekolah
di Indonesia masih rendah dan cenderung memburuk.
Selama ini ekspansi sekolah tidak menghasilkan lulusan
dengan pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan untuk membangun masyarakat yang
kokoh dan ekonomi yang kompetitif di masa depan. Bukti ini ditunjukkan dengan
rendahnya kemampuan murid tingkat 8 (SMP kelas 2) dibandingkan dengan negara
tetangga Asia pada ujian-ujian internasional di tahun 2001 (lihat tabel 1).
Telihat cukup jelas bahwa ekspansi partisipasi sekolah di Indonesia tidak
diikuti dengan peningkatan kualitas.
4.
Persiapan dan
kehadiran tenaga pengajar yang masih kurang.
Berbeda dengan kebanyakan negara, Indonesia
memperbolehkansemua lulusan institusi pendidikan keguruan menjadi tenaga
pengajar, tanpa perlu melewati ujian dalam hal kesiapan untuk memberikan ilmu
pengetahuan dan keahlian mereka pada kondisi sekolah yang beragam. Pada waktu
yang sama terdapat kesulitan untuk memberhentikan tenaga pengajar yang tidak
mampu mengajar. Lebih jauh, berdasarkan survei yang dilakukan untuk Laporan
Pembangunan Dunia 2004, 20 persen tenaga pengajar Indonesia tidak masuk sekolah
pada saat pengecekan di sekolah-sekolah yang terpilih secara random. Ini
berarti 20 persen dari dana yang digunakan untuk membiayai tenaga pengajar
tidak memberikan manfaat secara langsung kepada murid, karena ternyata tenaga
pengajar tersebut tidak berada di kelas.
5.
Pemeliharaan
sekolah-sekolah tidak dilakukan secara berkala.
Berdasarkan data survei sekolah dari Departemen
Pendidikan Nasional, satu dari enam sekolah di Jawa Tengah berada dalam kondisi
yang buruk, sementara itu sedikitnya satu dari dua sekolah di Nusa Tenggara
Timur juga berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Murid-murid berada di
ruang kelas tanpa peralatan belajar yang memadai, seperti buku pelajaran, papan
tulis, alat tulis, dan tenaga pengajar yang menguasai materi pelajaran sesuai
kurikulum.
Mutu pendidikan kita secara nasional dapat dikatakan masih sangat
memprihatinkan. International Education Achievement (IEA) memperlihatkan
kemampuan mambaca siswa SD Indonesia menempati urutan 30 dari 38 negara.
The Third International Mathematics and Science Study Report (1999) melaporkan
kemampuan siswa Indonesia dalam bidang matematika dan IPA berurutan menempati
urutan 34 dan 32 dari 38 negara. UNDP, badan pembangunan PBB,
melaporkan Human Development Index (HDI, Indeks Pembangunan Manusia), tahun
2002 dan 2003 berurutan menempati urutan 110 dari 173, dan 112 dari 175
negara. HDI adalah salah satu komponennya indeks pendididkan.
Dari data tersebut dapat dikatakan bahwa kualitas pendidikan kita sebagai
Negara yang sudah cukup lama merdeka masih sangat rendah. Inilah adalah fakta
yang jika tidak dengan arif dan bijaksana diformulasikan pemerintah dan para
pemegang otoritas di bidang pendidikan dan dilaksanakan dengan
tanggungjawab, maka Negara ini tidak akan pernah maju dan berkembang di
tengah kompetisi Negara-negara berkembang lainnya.
Kembali kepada visi dan misi pendidikan awal yang telah diletakkan secara
fundamental oleh Bapak Pendidikan nasional kita, Ki hajar Dewantara, dan
mengkemas strategi Pengembangan Pendidikan yang sesuai dengan kultur
Bangsa dan selektif dengan kemajuan IPTEK, adalah jawabannya. Kita tidak ingin
hanyut di tengah derasnya gelombang kompetisi global, namun berupaya ikut
secara alami maju bersama gelombang tanpa menghilangkan karakter bangsa yang
Adiluhung ini.