Kamis, 07 April 2016
Selasa, 05 April 2016
Peran Kepemimpinan Kepala Pemerintah Desa Untuk Mewujudkan Pemerintahan Yang Baik Di Desa Yainuelo Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah
Bergulirnya reformasi membawa angin segar bagi proses
demokratisasi di Indonesia. Sebuah rezim yang amat kuat, solid sekaligus juga
korup dan sentralistis terpaksa menyudahi perannya sebagai penguasa desa ini.
Berarti terbuka sebuah kesempatan emas untuk memulai proses perbaikan di
berbagai bidang. Sebagai catatan saja kondisi kita waktu itu adalah kondisi
yang amat terpuruk. Tak hanya di bidang ekonomi saja, tapi juga di bidang
hukum, birokrasi dan juga moralitas.
Otonomi
daerah memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada
Daerah. Keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan daerah sangat ditentukan oleh
kesiapan dan kemampuan daerah itu sendiri dalam mengelola dan memberdayakan
seluruh potensi dan sumberdaya yang tersedia. Masa transisi sistem pemerintahan
daerah yang ditandai dengan keluarnya UU No. 22 Tahun 1999 telah membawa
beberapa perubahan yang mendasar. Pertama, daerah yang sebelum berlakunya UU
No. 22 tahun 1999, hanya memiliki otonomi nyata dan bertanggung jawab saja,
dengan berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 menjadi memiliki otonomi luas, nyata dan
bertanggung jawab yang dimiliki oleh pemerintahan daerah perlu adanya aparat
birokrasi yang semakin bertanggung jawab pula (Tjokroamidjojo:2001).
Dalam
hal otonomi UU No. 32 Tahun 2004, juga mengisyaratkan kepada pemerintah pusat
untuk mengakui kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh pemerinta desa agar
otonomi ini tetap berjalan dengan baik.Penyempurnaan dalam struktur organisasi
juga terjadi.terjadinya peningkatan mutu dan kemampuan aparatur pemerintah desa
di bidang administrasi yang tentunya juga akan berpengaruh pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat secara umum (Dwiyanto, Agus: 2005).
Secara
teoritis otonomi daerah akan dapat meningkatkan kualitas pelayanan umum, karena
dengan adanya otonomi daerah dapat menciptakan kesetaraan posisi tawar antara
pemerintah daerah sebagai penyelenggara jasa pelayanan dengan masyarakat
sebagai pengguna jasa.
Keberhasilan
organisasi pemerintahan dalam mencapai tujuannya tidak lepas dari peran sumber
daya aparatur dalam pengelolaan manajemen organisasi untuk mewujudkan tujuan
yang akan dicapai dengan menggerakan fungsi-fungsi yang mencakup fungsi
pengorganisasian dan pengerakan yang transparan dan akuntabel. Hal
menjadi tanggung jawab pimpinan dan staf dalam menyelenggarakan pemerintahan (Dwipayana, Ari dan S. Eko: 2003)
Dengan
berlakunya otonomi daerah maka peran pemerintah perlu ditingkatkan, peran
kepemimpinan pemerintah di Indonesia diminta untuk berperanan aktif dalam
melihat personal mayarakat yang terjadi. Fenomena kepemimpinan peda level desa
telah membuktikan bagaimana kepemimpinanberpengaruh sangat besar terhadap
kehidupan berpolitik dan bernegara. Dalam dunia organisasi, kepemimpinan berpengaruh
sangat kuat terhadap jalannya organisasi dan kelangsungan hidup masyarakat desa.
Kepemimpinan
mempunyai fungsi yang harus dilaksanakan secara bersama dalam menjalankan peran
sebagai pemimpin sebuah kelompok atau organisasi agar secara operasional berhasil
guna. Fungsi tersebut adalah fungsi yang berkaitan dengan tugas dan fungsi
sosial atau pemeliharaan kelompok. Fungsi yang berkaitan dengan tugas dapat
meliputi pemberian perintah, pendelegasian tugas, pemberian saran pemecahan dan
menawarkan informasi serta pendapat. Sedangkan fungsi sosial atau fungsi
pemeliharaan kelompok meliputi semua hal yang berkaitan dengan kelompok dalam
melaksanakan tugas operasinya untuk mencapai tujuan dan sasaran secara
bersama-sama dan atau secara sendiri-sendiri sesuai dengan tugas dan
kewajibannya sebagai mata rantai suatu sistem saling membutuhkan (Hening
Widiatmoko: 2007).
Pencapain
hasil yang baik dalam suatu organisasi kerja, berada pada kunci kepemimpinan.
Pemimpin yang baik akan dapat menghasilkan kinerja yang baik, sebaiknya
kepemimpinan yang buruk akan menjadikan hambatan yang besar terhadap pencapaian
tujuan dari setiap organisasi, termasuk organisasi pemerintahan. Dalam era
otonomi yang diwarnai dengan tuntutan reformasi dan demokrasi membuat para
pemimpin harus bekerja secara arif dan bijaksana.
Pemimpin
sebagain pengambil keputusan dalam organisasi kerja dan setiap keputusan
pemimpin akan dilaksanakan oleh para stafnya sesuai dengan tugas dan fungsi
dari organisasi yang dipimpinnya dalam rangka pencapaian tujuan. Pengambilan
keputusan yang dilakukan setiap pemimpin, diharapkan dapat mengandung
unsur-unsur pemerintahan yang baik (good governance) yang mencakup
akuntabel, transparansi, responsive, dan kredibilitas dengan melibatkan staf
sebagai mitra yang sekaligus sebagai pelaksana keputusan tersebut.
Tujuan
untuk mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance), membuat
setiap pemimpin diharapkan dapat berperan aktif dalam pelaksanaan tugas dan
fungsi. Tugas untuk melaksanakan kepemimpinan dan fungsi untuk mengawasi dan
mengevaluasi hasil kerja staf. Upaya untuk mewujudkan good governance dilaksanakan
dari pemerintahan tingkat pusat hingga tingkat desa. Desa merupakan lingkup
pemerintahan mikro yang berada dalam pengawasan pemerintahan kecamatan memiliki
otoritas untuk menyelenggarakan pemerintahaan dan pembangunan yang
berkoordinasi dengan camat dan jajarannya.
Pemerintahan
di tingkat desa, menyelenggarakan berbagai kegiatan pelayanan administrasi dan
pelayanan masyarakat yang dilaksanakan oleh aparatur pemerintah. Kinerja
aparatur didukung oleh sikap, perilaku dan etos kerja yang diharapkan
dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan dengan baik. Aplikasi pemerintahan yang
baik (good governance) selama ini belum dapat tercapai hasilnya dengan
baik dalam penyelengaraan pemerintahan, oleh karena adanya keterbatasan
kualitas sumber daya manusia dalam menerapkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik (Moenir:
1997).
Sementara
itu perwujudan pemerintahan yang baik telah dikomandangkan di seluruh instansi
pemerintah sejak dicetuskannya otonomi daerah untuk memberikan pelayanan yang
baik dengan mengutamakan kepentingan masyarakat. Olehnya itu dibutuhkan peranan
pemimpin yang mampu melaksanakan dan menyelenggarakan pemerintahan dan bekerja
sama dengan para staf yang menjadi rekan kerjanya.
Perwujudan
pemerintahan yang baik (good governance) pada tingkat pemerintahan desa
merupakan salah satu harapan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya, khususnya
kebutuhan masyarakat dalam bidang administrasi dan kemampuan aparatur yang
berpendidikan, serta berpengalaman dalam pelaksanaan tugas dan tanggung
jawabnya. Desa administrasi Yainuelo merupakan level pemerintahan yang dituntut
untuk menyelenggarakan pelayanan kepada masyarakat. Upaya pemerintahan untuk
mewujudkan pemerintahan yang baik di Desa Administratif Yainuelo merupakan
bagian penting yang terus diupayakan oleh pemerintah desa, namun kondisi dan
kemampuan aparat desa membuat pemimpin harus bekerja keras dalam membina dan
mengarahkan serta memotivasi staf dan masyarakatnya.
Dwipayana,
A. S Eko 2003 Mengatakan salah satu aktualisasi nilai dan prinsip-prinsip
pemerintahan yang baik adalah Transparansi. Aparatur dan sistem manajemen
publik harus mengembangkan keterbukaan dan sistem akuntabilitas. Bersikap
terbuka dan bertanggungjawab untuk mendorong para pimpinan dan seluruh sumber
daya manusia di dalamnya berperan dalam mengamalkan dan melembagakan kode etik
dimaksud, sehingga dapat menjadikan diri mereka sebagi panutan masyarakat; dan
itu dilakukan sebagai bagian dari pelaksanaan tanggungjawab dan
pertanggungjawaban kepada masyarakat dan negara. Upaya pemberdayaan masyarakat
dan dunia usaha, peningkatan dan kemitraan, selain: memerlukan keterbukaan
birokrasi pemerintah; juga memerlukan langkah-langkah yang tegas dalam
mengurangi peraturan dan prosedur yang menghambat kreativitas mereka; memberi
kesempatan kepada masyarakat untuk dapat berperan serta dalam proses penyusunan
peraturan kebijakan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan. Pemberdayaan dan
keterbukaan akan lebih mendorong; akuntabilitas dalam pemanfaatan sumber daya,
dan adanya keputusan-keputusan pembangunan yang benar-benar diarahkan sesuai
prioritas dan kebutuhan masyarakat, serta dilakukan secara riil dan adil sesuai
aspirasi dan kepentingan masyarakat.
Untuk
mengakomodir aspirasi masyarakat yang terus berkembang serta dalam menghadapi
perubahan yang terjadi baik dalam lingkungan nasional maupun lingkungan
internasional yang secara langsung akan berpengaruh pada roda pemerintahan dan
pelaksanaan program pembangunan di negara kita, maka diperlukan adanya suatu
pemerintahan kelurahan yang tangguh dan didukung oleh sistem dan mekanisme
kerja yang profesional dalam memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat.
Pemerintahan desa harus benar-benar siap dan mampu untuk mengelola setiap
potensi yang ada dalam lingkungan masyarakat untuk dapat mewujudkan
kesejahteraan bagi rakyatnya.
Pemerintah
desa juga harus cepat dan tanggap dalam memperhatikan segala sesuatu yang
menjadi kebutuhan warga masyarakatnya. Diharapkan dengan terciptanya
pemerintahan kelurahan yang tangguh dan mandiri yang dapat memenuhi
kebutuhan-kebutuhan masyarakat dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, dan dapat mewujudkan program-program pembangunan yang terencana
secara efektif dan efisien yang pada akhirnya diharapkan dapat mewujudkan cita-cita
masyarakat yang adil dan sejahtera
Fenomena
penyelenggaraan pemerintahan yang kurang partisipatif, tidak transparan dan
tidak akuntabel menyebabkan pelayanan adminsitrasi menjadi tidak efektif, hal
ini diperburuk lagi dengan kualitas pendidikan dan keterampilan kerja aparatur pemerintahan
desa yang rendah sehingga berdampak pada upaya pencapaian pemerintahan yang
baik khusus pelayanan aparatur di Desa Yainuelo.
Pelayanan
aparatur di Desa Administratif Yainuelo berlangsung dari pukul 08.00-14.30 WIT,
namun staf desa yang bertugas, sering mangkir dari jam kerja bahkan menunda pekerjaan
yang pada akhirnya pelayanan masyarakat menjadi tidak efektif dan pelaksanaan
tugas tidak produktif. Kenyataan ini memberikan dampak terhadap upaya
perwujudan pemerintahan yang baik di Desa
Administratif Yainuelo, olehnya itu dibutuhkan adanya peningkatan peran kepala
desa dalam meningkatan kualitas dan kinerja staf sehingga tujuan yang
diharapkan dapat tercapai.
Tidak
transparansi atau keterbukaan pemerintahan administratif Desa Yainuelo dalam
membuat kebijakan-kebijakan, sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh
masyarakat. Transparansi pada akhirnya akan menciptakan horizontal
accountabilility antara pemerintah dengan masyarakat. Ini akan menciptakan
pemerintahan yang tidak efektif, efisien, akuntabel, dan responsif terhadap
aspirasi dan kepentingan masyarakat.
Fakta
yang sangat mencolok sebagai bukti masih lemahnya pemerintahan yang baik (good governance) selama ini adalah Pemerintah Desa Administratif Yainuelo disini berperan dalam perencanaan program
pembangunan didaerah harus mampu berkoordinasi dan bekerjasama dengan
masyarakat dan mampu menampung segala aspirasi masyakat, agar dapat mengetahui
apa yang menjadi kebutuhan masyarakat
Masih
banyaknya penyelewengan-penyelewenagn dalam penyelenggaraan pemerintahan di Desa
administrasi Yainuelo Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah menunjukkan
bahwa kepala desa masih belum melaksanakan prinsip-prinsip pemerintahan yang
baik. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengetahui
pelaksanaan pemerintahan yang baik pada Pemerintahan Desa Administrasi Yainuelo
Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah Untuk itu peneliti tertarik untuk
mengambil judul penelitian.
Adapun
konsep dasar yang menjadi landasan berpikir penulis dalam penelitian ini yaitu
sebagai berikut:
1.
Teori Kepemimpinan
Dalam
bahasa Indonesia “pemimpin” sering disebut penghulu, pemuka, pelopor, pembina,
panutan, pembimbing, pengurus, penggerak, ketua, kepala, penuntun, raja,
tua-tua, dan sebagainya. Sedangkan istilah Memimpin digunakan dalam konteks
hasil penggunaan peran seseorang berkaitan dengan kemampuannya mempengaruhi
orang lain dengan berbagai cara.
Istilah
pemimpin, kemimpinan, dan memimpin pada mulanya berasal dari kata dasar yang sama
“pimpin”. Namun demikian ketiganya digunakan dalam konteks yang
berbeda.Pemimpin adalah suatu lakon/peran dalam sistem tertentu; karenanya
seseorang dalam peran formal belum tentu memiliki ketrampilan kepemimpinan dan
belum tentu mampu memimpin. Istilah Kepemimpinan pada dasarnya berhubungan
dengan ketrampilan, kecakapan, dan tingkat pengaruh yang dimiliki seseorang;
oleh sebab itu kepemimpinan bisa dimiliki oleh orang yang bukan “pemimpin”.Keberhasilan
seorang pemimpin ditentukan oleh sifat-sifat, perangai atau ciri-ciri yang
dimiliki pemimpin itu.Atas dasar pemikiran tersebut timbul anggapan bahwa untuk
menjadi seorang pemimpin yang berhasil, sangat ditentukan oleh kemampuan
pribadi pemimpin.Dan kemampuan pribadi yang dimaksud adalah kualitas seseorang
dengan berbagai sifat, perangai atau ciri-ciri di dalamnya (Riswanda: 1998).
Salah
satu tugas utama dari seorang pemimpin adalah membuat keputusan.karena
keputusan yang dilakukan para pemimpin seringkali sangat berdampak kepada para
bawahan mereka jelas bahwa komponen utama dari efektifitas pemimpin adalah
kemampuan mengambil keputusan yang sangat menentukan keberhasilan yang
bersangkutan melaksanakan tugas-tugas pentingnya.pemimpin yang mampu membuat
keputusan dengan baik akan lebih efektif dlam jangka panjang dibandingkan
dengan mereka yang tidak mampu membuat keputusan dengan baik.
Salah
satu teori kepemimpinan adalah “Trait Theory” yang mengidentifikasi
karakteristik yang menentukan kepemimpinan yang baik.Karakteristik tersebut
bisa mencakup kepribadian, dominasi dan kehadiran pribadi, karisma, kepercayaan
diri, pencapaian atau prestasi, atau bisa juga kemampuan untuk memformulasikan
visi dengan jelas.Salah satu diskusi yang menarik dari teori ini adalah apakah
karakteristik seorang pemimpin tersebut bias gender, misalnya apakah pemimpin
itu harus pria, atau sebaliknya, apakah wanita bisa menjadi pemimpin.
Pertanyaan lainnya, apakah karakteristik tersebut menjamin bahwa seseorang akan
menjadi pemimpin yang baik, apakah seorang pemimpin itu sebatas membuat
perubahan saja, serta apakah pemimpin itu dilahirkan atau diciptakan.
Teori
yang kedua adalah “Behavioural Theory“ yang secara tersirat menyatakan bahwa
seorang pemimpin itu bisa dilatih, yaitu dengan memusatkan pada cara melakukan
sesuatu, misalnya tugas, pekerjaan, dan berbagai aktivitas lainnya. Dengan
penguasaan cara tersebut maka seseorang bisa mempunyai kemampuan lebih dari
orang lain. Akhirnya, orang lain pun bisa mengikuti apa yang anda lakukan.
Akhirnya orang yang mempunyai penguasaan tersebut menjadi seorang
pemimpin.Fokus itu sendiri terdiri dari dua, yaitu pemimpin fokus terhadap
kelembagaan dari pekerjaan secara terstuktur, atau membangun hubungan
(relationship) yang berfokus pada proses.Jadi bisa saja ada pemimpin yang lebih
mementingkan pekerjaan (walaupun mungkin relasi dengan bawahannya buruk), namun
ada juga pemimpin yang lebih menitikberatkan pada relasi yang baik dengan
bawahannya dibanding hasil akhir atau tujuan organisasi.Pertanyaan yang manarik
adalah, adakah pemimpin yang dapat meraih keduanya, yakni pekerjaan sukses
dibarengi dengan relasi yang harmonis dengan bawahan (Muchlas, Mahmuri:1998).
Terori
yang ketiga adalah “Contingency Theory”.Menurut teori ini, kepemimpinan bersifat
luwes atau fleksibel. Gaya kepemimpinan yang berbeda bisa diterapkan pada waktu
yang berbeda tergantung lingkungannya.Dengan demikian, kepemimpinan bukanlah
sekumpulan karakteristik yang dapat dialihkan begitu saja dalam konteks yang
berbeda. Intinya, seseorang mungkin bisa menjadi otoriter pada lingkungan
tertentu, namun berubah menjadi pemimpin yang demokratis pada lingkungan yang
lain. Sebagai contoh kasus, apakah seorang bapak rumah tangga akan mempunyai
gaya kepemimpinan yang berbeda antara di rumah atau di lingkungan rumahnya
dibandingkan ketika menjadi seorang manajer di sebuah perusahaan. Jadi gaya
kepemimpinan tersebut bisa berubah tergantung tipe bawahan, sejarah organisasi
atau bisnisnya, budaya perusahaan, kualitas hubungan, wujud perubahan yang
diinginkan, serta norma-norma yang dianut di perusahaan (Keban, T. Yeremias:1994).
2.
Teori Good Govermence/Pemerintahan Yang Baik
Istilah
“governance atau pemerintahan yang baik” menunjukkan suatu proses di
mana rakyat bisa mengatur ekonominya, institusi dan sumber-sumber sosial dan
politiknya tidak hanya dipergunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk
menciptakan kohesi, integrasi, dan untuk kesejahteraan rakyat. Dengan demikian,
bahwa kemampuan suatu negara mencapai tujuan negara sangat tergantung pada
kualitas tata kepemerintahan di mana pemerintah melakukan interaksi dengan
sektor swasta dan masyarakat (Thoha; 2000, 12).
Pemerintahan
yang baik adalah suatu kesepakatan menyangkut pengaturan negara yang diciptakan
bersama oleh pemerintah, masyarakat madani, dan swasta. Pemerintahan yang baik
juga merupakan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang
saham, pengurus (pengelola perusahaan), pihak kreditur, pemerintah, karyawan,
serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan
dengan hak-hak atau kewajiban mereka, atau dengan kata lain suatu system yang
mengatur dan mengendalikan perusahaan.
Lembaga
Administrasi Negara (2000) medefinisikan pemerintahan yang baik (good
governance) sebagai penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan
bertanggung jawab, serta efisien dan efektif dengan menjaga
“kesinergisan” interaksi yang konstruktif di antara domain-domain negara,
sector swasta dan masyarakat (society). Pada tataran ini, pemerintahan
yang baik (good governance) berorientasi pada 2 (dua) hal pokok, yakni:
Pertama, orientasi ideal negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional.
Pada tataran ini, good governance mengacu pada demokratisasi dalam kehidupan
bernegara dengan elemen-elemen konstituennya, seperti legitimacy,
accountability, scuring of human right, autonomy and devolution of power
dan assurance of civilian control; Kedua, pemerintahan yang berfungsi
secara ideal yaitu secara efektif dan efisien dalam melakukan upaya mencapai
tujuan nasional. Dalam konteks ini, good governance tergantung pada pada
sejauh mana struktur serta mekanisme politik dan administratif berfungsi secara
efektif dan efisien.
Dengan jernih Mas’oed menjelaskan, bahwa governance
merupakan kegiatan, proses atau kualitas memerintah. Bukan tentang struktur
pemerintahan, tetapi kebijakan yang dibuat dan efektivitas penerapan kebijakan.
Kebijakan bukan dibuat oleh seorang pemimpin atau satu kelompok, melainkan dari
proses konsultasi antara berbagai pihak yang terkena kebijakan.
Sabtu, 05 Maret 2016
Jumat, 04 Maret 2016
PERBANDINGAN BAHASA NUSANTARA TEORI LINGUISTIK TENTANG BAHASA (MELAYU/NUSANTARA)
Teori linguistik tentang Tanah Asal
Bahasa Austronesia (Linguistic Theoris about Austrenesian Homeland) yang
dikemukakan J. Anceaux:
Istilah Austronesia pada awalnya
diberikan oleh ahli linguistik untuk menyebut suatu rumpun bahasa yang hampir
secara mayoritas dituturkan di Asia Tenggara Kepulauan, Micronesia, Melanesia
Kepulauan dan Polynesia. Pada perkembangannya, istilah Austronesia juga
digunakan untuk menyebut suatu komunitas yang berbudaya Austronesia serta
menuturkan bahasa Austronesia. Perhatian terhadap kajian rumpun bahasa
Austronesia dapat dirunut hingga awal abad 16, ketika para pengembara
mengumpulkan daftar kosa kata bahasa Austronesia dari tempat-tempat yang mereka
kunjungi, seperti misalnya Antonio Pigafetta (seorang berkebangsaan Italia)
yang ikut dalam ekspedisi Magellan 1519-1522 (Fox, 2004: 3). Kapten Cornelis de
Houtman seorang kapten kapal Belanda yang berlayar menuju Hindia Timur
(mendarat di Banten) melalui Madagaskar pada tahun 1596, mengamati berbagai
kemiripan antara bahasa Malagasy dan bahasa Melayu (Tanudirjo, 2001:9).
William von Humboldt adalah tokoh
yang pertama kali mengajukan istilah “Malayo-Polynesia” untuk menyebut
bahasa-bahasa di kawasan Malaya sampai Polynesia yang memiliki kemiripan.
Pada tahun 1889, berdasarkan pada
kajian linguistik yang detail dan sistematis, Hendrik Kern membagi rumpun
bahasa “Malayo-Polynesia” menjadi bahasa “Malayo Polynesia Barat” yang terdiri
dari bahasa-bahasa di Asia Tenggara Kepulauan serta Micronesia bagian barat,
dan bahasa “Malayo-Polynesia Timur” yang terdiri dari bahasa-bahasa di
Melanesia Kepulauan dan Polynesia. Kemudian pada tahun 1906, Wilhelm Schmidt
memperkenalkan terminology “Austronesia”, untuk menyebut bahasa
“Malayo-Polynesia”. Selain itu beliau juga mengajukan hipotesis bahwa pada masa
lampau di Asia daratan terdapat bahasa “Austric” yang merupakan nenek moyang
bahasa Austronesia dan Austroasiatic. Selain itu, di Asia Daratan juga terdapat
beberapa rumpun bahasa besar lainnya, antara lain adalah; Indo-Eropa,
Sino-Tibetan, Tai-Kadai, Altaic, Korea, dan Hmong Mien. Bahasa Austronesia
kemudaian menurunkan bahasa-bahasa di Asia Tenggara Kepulauan dan Pasifik, sedangkan
bahasa Austroasiatic berkembang menjadi dua rumpun besar bahasa yaitu; bahasa
Mon-Khmer di Indochina dan bahasa Munda di India bagian timur (lihat: Anceaux,
1991:73 serta Blench dan Dendo, 2004: 13).
Robert von Heine Geldern adalah ahli arkeologi
yang pertama kali mengadopsi konsep budaya Austronesia dari para linguist.
Beliau berpendapat bahwa luas persebaran budaya Austronesia ditunjukkan dengan
persebaran kompleks budaya Vierkantbeil Adze, dengan ciri utamanya adalah
kehadiran beliung berpenampang lintang persegi. Roger Duff kemudian melakukan
kajian berdasarkan hasil penelitian Geldern. Beliau melakukan klasifikasi
tipologi beliung persegi berdasarkan bentuk irisan, bentuk tajaman dan bentuk
pangkal (Duff, 1970:8). Akhirnya Duff sampai pada kesimpulan bahwa persebaran
komunitas Austronesia di Kepulauan Indonesia (kecuali Papua) yang didukung
dengan pola subsistensi pertanian berasal dari Semenanjung Malaya bagian
selatan. Hal tersebut tercermin oleh persebaran beliung paruh (Malayan Beacked
Adze) dan belincung (Indonesian Pick Adze) (Duff, 1970:14). Ahli lainnya adalah
Wilhelm G. Solheim II yang mengajukan teori bahwa wilayah geografis persebaran
gerabah Sa-Huynh dan Kalanay di Asia Tenggara Kepulauan dan Lapita di Melanesia
bagian barat memiliki hubungan dengan persebaran orang Austronesia. Namun,
beliau mengajukan istilah Nusantara untuk menyebut kelompok orang Austronesia
dan budayanya tersebut.
Persebaran Austronesia Sangat
mengagumkan melihat persebaran rumpun bahasa Austronesia yang dituturkan pada
hampir seluruh kawasan kepulauan Indo-Pasifik. Banyak ahli yang berpendapat
bahwa persebaran rumpun bahasa Austronesia yang luas disebabkan oleh proses
ekspansi komunitas penutur rumpun bahasa tersebut ke luar dari daerah asalnya.
Hendrik Kern mencoba untuk mencari daerah asal persebaran bahasa Austronesia
menggunakan metode pemilihan kosa kata sebagai bentuk bahasa Austronesia purba
dari kosa kata yang maknanya bersangkutan dengan unsur-unsur flora, fauna dan
lingkungan geografis. Hasil kajian tersebut membawa beliau pada suatu
kesimpulan bahwa tanah asal nenek moyang rumpun bahasa Austronesia terletak di
suatu pantai daerah tropis (Anceaux, 1991: 74-75, Blust, 1984-1985:47-49).
Robert Blust (1984-1985) seorang
linguist, berusaha menyusun silsilah kekerabatan bahasa Austronesia dengan
menggunakan metode “Wirter und Sachen Technique”, yaitu dengan menggunakan kosa
kata sebagai dasar untuk menyimpulkan berbagai referensi yang diketahui oleh
penutur bahasa yang direkonstruksi. Kosa kata tersebut juga digunakan sebagai
dasar untuk merekonstruksi budaya dan lingkungan alam penutur bahasa yang
direkonstruksi. Hasil reksonstruksi Blust adalah; nenek moyang bahasa
Austronesia dituturkan di sekitar daerah yang tidak jauh dari Pulau Taiwan
(Formosa) pada kurun sebelum 4.500 SM. Kemudian bahasa tersebut memisahkan diri
menjadi bahasa Austronesia Formosa (Atayal, Tsou dan Paiwan) dan Proto
Melayu-Polynesia (seluruh bahasa Austronesia di luar Taiwan) pada 4.500 SM.
Melayu-Polynesia kemudian berkembang menjadi Melayu-Polynesia Barat dan
Melayu-Polynesia Timur-Tengah pada 3.500 SM. Pada 3.000 SM, bahasa
Melayu-Polynesia Barat berkembang menjadi bahasa-bahasa Austronesia di kawasan
antara Filipina Selatan, Sumbawa bagian Barat dan Sumatra, sedangkan
Melayu-Polynesia Timur-Tengah berkembang menjadi Melayu-Polynesia Tengah dan
Melayu Polynesia Timur.
Akhirnya, pada 2.500 SM bahasa
Melayu-Polynesia Timur berkembang menjadi bahasa Halmahera Selatan-Nugini Barat
dan bahasa Oseania. Silsilah Rumpun Bahasa Austronesia (Blust, 1978) Saat ini
berkembang beberapa teori persebaran Austronesia yang diajukan oleh para ahli
dari berbagai sudut pandang yang berbeda, diantaranya adalah; The Express Train
from Taiwan to Polynesia (Bellwood), The Taiwan Homeland concept (Reed), Island
Southeast Asia Origin (Solheim), From South America via Kon Tiki (Heyerdahl),
An Entangled Bank (Terrell), The Geneflow Model (Devlin), The Genetic
Bottleneck in Polynesia (Flint), The Eden in the East concept (Oppenheimer),
Voyaging Corridor Triple I account (Green) (lihat Chambers, 2006:303).
Berdasarkan beberapa teori yang berkembang tersebut, pada intinya terdapat tiga
kubu model persebaran Austronesia yang berbeda, yaitu; (1) Austronesia berasal
dari Pulau Taiwan, (2) Austronesia berasal dari dari kawasan Asia Tenggara
Kepulauan dan (3) Austronesia berasal dari dari kawasan Melanesia.
Diantara beberapa teori tersebut,
salah satunya yang terkuat dan mendapat banyak dukungan dari berbagai sudut
pandang keilmuan adalah model yang diajukan oleh Bellwood. Beliau menyarankan
bahwa Austronesia berasal dari Taiwan dan Pantai Cina bagian selatan. Kawasan
tersebut oleh berberapa ahli linguistik dianggap sebagai tempat asal bahasa
proto-Austronesia. Disamping itu, secara arkeologis daerah tersebut
menghasilkan bukti pola subsistensi bercocok tanam dan aspek budaya Austronesia
lainnya yang paling tua di kawasan ini berupa beliung persegi dan gerabah,
seperti yang ditemukan di situs Hemudu di Teluk Hangzou, Propinsi Zhejiang yang
berumur 7000 tahun (Bellwood, 1995:97-98). Kolonisasi Austronesia di Jawa Pulau
Jawa merupakan salah satu pulau yang paling padat penduduknya di Kepulauan
Nusantara. Dari sudut pandang genetik dan linguisik, pada saat ini mayoritas
penduduk Pulau Jawa adalah masyarakat dengan ciri genetik Mongoloid serta
menuturkan bahasa yang termasuk dalam rumpun Austronesia. Sampai saat ini,
penjelasan yang paling luas diterima bagi kasus penyebaran masyarakat penutur
bahasa Austronesia adalah Blust-Bellwood model yang dibangun berdasarkan
gabungan antara data linguistic historis dan arkeologi. Teori yang diajukan
mereka disebut juga model Out of Taiwan atau Express Train from Taiwan to
Polynesia yang intinya bahwa masyarakat penutur bahasa Austronesia berekspansi
dari Taiwan sejak 5.000 BP menuju Asia Tenggara Kepulauan, Melanesia Kepulauan,
Micronesia hingga Polynesia, dengan cepat selama satu millennium berikutnya via
Filipina.
Pada masa sebelumnya, Taiwan
dikoloni oleh sekelompok populasi petani dari daratan Cina Selatan via Pulau
Peng Hu (Pascadores) pada sekitar 6.000 BP akibat tekanan demografi (Tanudirjo,
2006: 87). Persebaran Geografis Bahasa Austronesia (Diamond, 2000) Berdasarkan
kajian linguistik, Robert Blust (1984/1985) berpendapat bahwa kelompok bahasa
Jawa-Bali-Sasak memiliki hubungan yang erat dengan kelompok bahasa
Malayo-Chamic dan Bahasa Barito di Kalimantan Selatan (termasuk Madagaskar).
Beliau menduga bahwa proto kelompok bahasa-bahasa tersebut dituturkan di bagian
tenggara Kalimantan pada periode 1000-1500 SM.
Kemudian mengalami pemisahan yang
pertama menjadi nenek moyang Bahasa Barito, Bahasa Malayo-Chamic dan Bahasa
Jawa-Bali-Sasak. Proses pemisahan berikutnya yang dialami oleh proto
bahasa-bahasa tersebut terjadi pada 800-1000 SM. Namun proses pembentukan proto
bahasa Jawa, Bali, Sasak dan Sumbawa bagian barat baru terjadi pada 2500 tahun
terakhir yang kemungkinan berasal dari suatu daerah di Borneo atau Sumatra.
Beberapa Permasalahan Berdasarkan kajian arkeologi, paket budaya neolitik yang
dapat diasosiasikan dengan penyebaran komunitas Austronesia awal dari Taiwan
antara lain adalah; pertanian padi-padian, domestikasi anjing dan babi, gerabah
berdasar membulat berhias slip merah, cap, gores dan tera tali dengan bibir
melipat ke luar, kumparan penggulung benang dari tanah liat, beliung batu
dengan potongan lintang persegi empat yang diasah, artefak dari batu sabak
(lancipan) dan nephrite (aksesoris), batu pemukul kulit kayu, serta batu
pemberat jala.
Beberapa dari kategori tersebut,
terutama gerabah slip merah berlanjut hingga Indonesia timur kemudian menuju
Oseania dalam bentuk komplek budaya Lapita (3.350-2.800 BP) (lihat: Bellwood,
2000: 313 dan 2006: 68). Namun, bukti arkeologis tersebut di atas yang dapat
digunakan untuk menguji hipotesis linguistik Blust masih sangat terbatas ditemukan
di Pulau Jawa, sehingga proses awal penghunian pulau ini oleh masyarakat
neolitik penutur bahasa Austronesia sampai sekarang masih menjadi misteri. Data
arkeologis yang mengindikasikan adanya kolonisasi Austronesia di Jawa adalah
persebaran berbagai macam tipologi beliung persegi yang telah dicatat oleh H.R
van Heekeren (1974), antara lain dari daerah; Banten, Kelapa Dua, Pejaten,
Kampung Keramat, dan Buni (Jakarta dan Tangerang), Pasir Kuda (Bogor), Cibadak,
Cirebon, Tasikmalaya (Priangan), Pekalongan, Gunung Karangbolang (Banyumas),
Semarang, Yogyakarta, Punung dan Wonogiri, Madiung, Surabaya, Madura, Malang,
Kendeng Lembu dan Pager Gunung (Besuki). Namun sayangnya, sebagian besar dari
temuan tersebut berasal dari laporan penduduk dan situs yang tidak jelas
asalusulnya, kecuali beberapa situs yang saat ini telah di teliti secara
intensif seperti misalnya Punung. Bukti arkeologis yang langsung dapat
digunakan untuk mendukung hipotesis linguistik masih sangat sedikit yang
ditemukan, sehingga proses awal penghunian Pulau Jawa oleh masyarakat penutur
bahasa Austronesia sampai saat ini masih menjadi misteri.
Proses transformasi data
arkeologi berpengaruh sangat besar bagi proses pembentukan dan ditemukannya
bukti-bukti arkeologis tersebut. Mungkin keadaannya pada saat ini situs-situs
neolitik awal di pantai utara Pulau Jawa telah terkubur beberapa meter di bawah
endapan aluvial, sehingga sukar untuk ditemukan dan diteliti (Bellwood, 2000:
337). Hal tersebut disebabkan karena di pulau Jawa terdapat beberapa sungai
besar yang bermuara ke pantai utara, antara lain adalah; Sungai Cisadane,
Sungai Ciliwung dan Sungai Citarum di bagian barat, Sungai Kuto, Sungai
Tuntang, dan Sungai Lusi di bagian Tengah, serta Sungai Bengawan Solo dan
Sungai Brantas yang mengalir ke timur dan bermuara di Selat Madura.
Permasalahan yang serupa mungkin juga terjadi pada situs-situs di pantai timur
Sumatra yang diperkirakan menjadi lokasi pendaratan Austronesia di pulau
tersebut.
Prospek Penelitian Untuk
menyiasati permasalahan belum banyaknya bukti arkeologis akibat proses
transformasi tersebut, maka harus dicari situs-situs di kawasan yang
diperkirakan selamat dari proses pengendapan yang cepat oleh material alluvial
kegiatan vulkanik beberapa gunung berapi yang dimulai sejak Jaman Kuarter. Data
geologi dan geomorfologi memiliki peran yang sangat penting dalam hal ini.
Selain itu juga perlu diperhatikan perubahan tinggi muka air laut pada masa
lampau. Berdasarkan pada indicator biogenic dan inorganic untuk merekonstruksi
muka air laut pada masa lampau, dapat dikatahui bahwa di Semenanjung Malaysia
dan Thailand yang gerak tektoniknya stabil, muka air laut lebih tinggi 5 meter
dari muka air laut sekarang yang terjadi pada 5.000 BP (lihat: Tjia, 2006).
Jika hal ini juga terjadi di pantai utara Jawa, maka situs-situs pendaratan
Austronesia antara 3.000-2.500 BP harus dicari pada kawasan pantai yang
konturnya lebih tinggi dari 3-4 meter di atas permukaan laut saat ini.
Berdasarkan pada persyaratan tersebut di atas, maka beberapa kawasan pantai utara
Pulau Jawa bagian tengah dan timur yang memiliki potensi sebagai lokasi
pendaratan Austronesia adalah pantai-pantai di sepanjang Semenanjung
Blambangan, Tuban, Semarang dan Batang.
Oleh karena itu, harus dicari
situs permukiman neolitik terbuka di sekitar kawasan pantai-pantai tersebut.
Metode pencarian data dari bidang keilmuan lain mungkin sangat membantu dalam
hal ini, seperti geoelektrik misalnya yang berguna untuk membantu menemukan
garis pantai masa lampau sesuai dengan kronologi yang diinginkan (3.000-2.500
BP untuk awal pendaratan Austronesia di Pulau Jawa berdasarkan hipotesis
linguistik). Punung Purbalingga, Kendenglembu Kondisi Geomorfologi Pulau Jawa,
dan Hipotesis pendaratan Austronesia Mahirta (2006) mengembangkan beberapa
model migrasi-kolonisasi yang diajukan oleh Moore untuk diujikan pada kasus
persebaran Austronesia. Beliau berpendapat bahwa di Kepulauan Indonesia bagian
timur terdapat dua macam pola permukiman prasejarah Austronesia, yaitu (1)
permukiman tersebar di sepanjang pantai jika mengkoloni pulau yang tidak
terlalu besar, seperti misalnya Pulau Kayoa dan Pulau Gebe di Maluku Utara dan
(2) permukiman berkembang memanjang ke pedalaman sejajar dengan alur sungai,
seperti misalnya situs-situs Kalumpang di Sulawesi Barat dan permukiman
tradisional etnis Dayak di Kalimantan yang masih bisa kita saksikan hingga saat
ini (lihat: Mahirta, 2006).
Sebagai referensi lainnya, pada situs-situs
Austronesia awal di Cina daratan dan Taiwan, rupa-rupanya telah dikenal sistem
pemukiman menetap, dan berkelompok di tempat terbuka dalam bentuk perkampungan.
Situs-situs pemukiman rumah panggung antara lain terdapat di Xitou, Kequitou
dan Tanshishan di Fujian, situs Hemudu di Zhejiang dan di Guangdong.
Situs-situs tersebut berumur 5200 dan 4200 SM. Rumah-rumah tersebut berdenah
persegi yang dibangun dengan teknik lubang dan pasak yang amat rapi dan
didirikan di atas deretan tumpukan kayu kecil. Kemudian pada masa selanjutnya
muncul situs desa seluas 40-80 hektar di Peinan yang bertarik 1500 dan 800 SM.
Situs rumah panggung juga terdapat di Feng pi tou di Taiwan yang dihuni
2500-500 SM dan situs Dimolit di Luzon utara, yang dihuni 2500-1500 SM
(Bellwood, 2000: hlm. 309, 315, 319, dan 323). Di Pasifik, pola permukiman
budaya Lapita pada umumnya terdiri atas beberapa rumah panggung yang berada di
pinggir pantai atau pulau kecil diseberangnya, seperti di Kepulauan Mussau
dengan luas 7 hektar. Indikasi mengenai situs tersebut biasanya ditandai dengan
sebaran pecahan gerabah, tungku dari tanah, dan bekas perapian (Spriggs, 1995:
118).
Berdasarkan data linguistik, kosa
kata Austronesia mengenai rumah dan unsurunsurnya permukiman lainnya ditemukan
di seluruh kawasan barat dan timur persebaran bahasa ini. Bahkan kata *Rumaq
(Ind. Rumah) telah muncul sejak awal perkembangan bahasa Austronesia di Taiwan
(Blust, 1984-1985: 220). Sedangkan berdasarkan bukti etnografi, sampai saat ini
sistem permukiman terbuka tradisional dengan rumah panggung masih banyak
ditemukan pada masyarakat tradisional Austronesia, seperti: Rumah Gadang
(Minangkabau), Lamin (Dayak), Tongkonan (Toraja). Implikasi Banyak situs
permukiman neolitik telah ditemukan di Indonesia, dan beberapa diantaranya
telah dilakukan penelitian secara intensif, seperti misalnya; Tipar Ponjen,
Purbalingga (1.180-870 BP), Nangabalang, Kalimantan Barat (2.871 BP), Minanga
Sipakko, Sulawesi Barat (2.570 BP) dan Punung, Pacitan (2.100-1.100 BP)
(Simanjuntak, 2002). Namun dari beberapa situs tersebut hanya Situs
Kendenglembu di Pulau Jawa, yang merupakan satu di antara dua (yang baru
ditemukan) kompleks situs permukiman pure (murni) neolitik di Indonesia
berdasarkan kerangka kronologi (bukan tradisi).
Situs sejenis lainnya adalah
situs-situs di sepanjang Sungai Karama, Kalumpang di Sulawesi Barat, mulai dari
Tasiu, Sikendeng dan Lattibung di hilir hingga Minanga Sipakko, Kamassi dan
Tambing-tambing di hulu (lihat: Simanjuntak 2006). Namun, berbeda dengan
situs-situs Kalumpang yang terletak di sepanjang Sungai Karama dari hilir
hingga hulu, Situs Kendenglembu merupakan situs pedalaman di selatan Jawa
bagian timur yang kelihatannya tidak memiliki akses sungai menuju ke pantai
utara Jawa, tempat diperkirakannya awal pendaratan Austronesia di pulau ini.
Walaupun demikian, melihat perkembangan yang cukup signifikan dari hasil penelitian
Situs Kalumpang, maka perlu juga dilakukan penelitian secara sistematis di
Situs Kendenglembu dan eksplorasi situs-situs permukiman terbuka neolitik
lainnya di pantai utara, yang diperkirakan merupakan situs koloni awal
(pendaratan) Austronesia di Pulau Jawa, sebagai cikal bakal atau nenek moyang
etnis Jawa di pulau ini.
Langganan:
Postingan (Atom)