Bergulirnya reformasi membawa angin segar bagi proses
demokratisasi di Indonesia. Sebuah rezim yang amat kuat, solid sekaligus juga
korup dan sentralistis terpaksa menyudahi perannya sebagai penguasa desa ini.
Berarti terbuka sebuah kesempatan emas untuk memulai proses perbaikan di
berbagai bidang. Sebagai catatan saja kondisi kita waktu itu adalah kondisi
yang amat terpuruk. Tak hanya di bidang ekonomi saja, tapi juga di bidang
hukum, birokrasi dan juga moralitas.
Otonomi
daerah memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada
Daerah. Keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan daerah sangat ditentukan oleh
kesiapan dan kemampuan daerah itu sendiri dalam mengelola dan memberdayakan
seluruh potensi dan sumberdaya yang tersedia. Masa transisi sistem pemerintahan
daerah yang ditandai dengan keluarnya UU No. 22 Tahun 1999 telah membawa
beberapa perubahan yang mendasar. Pertama, daerah yang sebelum berlakunya UU
No. 22 tahun 1999, hanya memiliki otonomi nyata dan bertanggung jawab saja,
dengan berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 menjadi memiliki otonomi luas, nyata dan
bertanggung jawab yang dimiliki oleh pemerintahan daerah perlu adanya aparat
birokrasi yang semakin bertanggung jawab pula (Tjokroamidjojo:2001).
Dalam
hal otonomi UU No. 32 Tahun 2004, juga mengisyaratkan kepada pemerintah pusat
untuk mengakui kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh pemerinta desa agar
otonomi ini tetap berjalan dengan baik.Penyempurnaan dalam struktur organisasi
juga terjadi.terjadinya peningkatan mutu dan kemampuan aparatur pemerintah desa
di bidang administrasi yang tentunya juga akan berpengaruh pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat secara umum (Dwiyanto, Agus: 2005).
Secara
teoritis otonomi daerah akan dapat meningkatkan kualitas pelayanan umum, karena
dengan adanya otonomi daerah dapat menciptakan kesetaraan posisi tawar antara
pemerintah daerah sebagai penyelenggara jasa pelayanan dengan masyarakat
sebagai pengguna jasa.
Keberhasilan
organisasi pemerintahan dalam mencapai tujuannya tidak lepas dari peran sumber
daya aparatur dalam pengelolaan manajemen organisasi untuk mewujudkan tujuan
yang akan dicapai dengan menggerakan fungsi-fungsi yang mencakup fungsi
pengorganisasian dan pengerakan yang transparan dan akuntabel. Hal
menjadi tanggung jawab pimpinan dan staf dalam menyelenggarakan pemerintahan (Dwipayana, Ari dan S. Eko: 2003)
Dengan
berlakunya otonomi daerah maka peran pemerintah perlu ditingkatkan, peran
kepemimpinan pemerintah di Indonesia diminta untuk berperanan aktif dalam
melihat personal mayarakat yang terjadi. Fenomena kepemimpinan peda level desa
telah membuktikan bagaimana kepemimpinanberpengaruh sangat besar terhadap
kehidupan berpolitik dan bernegara. Dalam dunia organisasi, kepemimpinan berpengaruh
sangat kuat terhadap jalannya organisasi dan kelangsungan hidup masyarakat desa.
Kepemimpinan
mempunyai fungsi yang harus dilaksanakan secara bersama dalam menjalankan peran
sebagai pemimpin sebuah kelompok atau organisasi agar secara operasional berhasil
guna. Fungsi tersebut adalah fungsi yang berkaitan dengan tugas dan fungsi
sosial atau pemeliharaan kelompok. Fungsi yang berkaitan dengan tugas dapat
meliputi pemberian perintah, pendelegasian tugas, pemberian saran pemecahan dan
menawarkan informasi serta pendapat. Sedangkan fungsi sosial atau fungsi
pemeliharaan kelompok meliputi semua hal yang berkaitan dengan kelompok dalam
melaksanakan tugas operasinya untuk mencapai tujuan dan sasaran secara
bersama-sama dan atau secara sendiri-sendiri sesuai dengan tugas dan
kewajibannya sebagai mata rantai suatu sistem saling membutuhkan (Hening
Widiatmoko: 2007).
Pencapain
hasil yang baik dalam suatu organisasi kerja, berada pada kunci kepemimpinan.
Pemimpin yang baik akan dapat menghasilkan kinerja yang baik, sebaiknya
kepemimpinan yang buruk akan menjadikan hambatan yang besar terhadap pencapaian
tujuan dari setiap organisasi, termasuk organisasi pemerintahan. Dalam era
otonomi yang diwarnai dengan tuntutan reformasi dan demokrasi membuat para
pemimpin harus bekerja secara arif dan bijaksana.
Pemimpin
sebagain pengambil keputusan dalam organisasi kerja dan setiap keputusan
pemimpin akan dilaksanakan oleh para stafnya sesuai dengan tugas dan fungsi
dari organisasi yang dipimpinnya dalam rangka pencapaian tujuan. Pengambilan
keputusan yang dilakukan setiap pemimpin, diharapkan dapat mengandung
unsur-unsur pemerintahan yang baik (good governance) yang mencakup
akuntabel, transparansi, responsive, dan kredibilitas dengan melibatkan staf
sebagai mitra yang sekaligus sebagai pelaksana keputusan tersebut.
Tujuan
untuk mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance), membuat
setiap pemimpin diharapkan dapat berperan aktif dalam pelaksanaan tugas dan
fungsi. Tugas untuk melaksanakan kepemimpinan dan fungsi untuk mengawasi dan
mengevaluasi hasil kerja staf. Upaya untuk mewujudkan good governance dilaksanakan
dari pemerintahan tingkat pusat hingga tingkat desa. Desa merupakan lingkup
pemerintahan mikro yang berada dalam pengawasan pemerintahan kecamatan memiliki
otoritas untuk menyelenggarakan pemerintahaan dan pembangunan yang
berkoordinasi dengan camat dan jajarannya.
Pemerintahan
di tingkat desa, menyelenggarakan berbagai kegiatan pelayanan administrasi dan
pelayanan masyarakat yang dilaksanakan oleh aparatur pemerintah. Kinerja
aparatur didukung oleh sikap, perilaku dan etos kerja yang diharapkan
dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan dengan baik. Aplikasi pemerintahan yang
baik (good governance) selama ini belum dapat tercapai hasilnya dengan
baik dalam penyelengaraan pemerintahan, oleh karena adanya keterbatasan
kualitas sumber daya manusia dalam menerapkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik (Moenir:
1997).
Sementara
itu perwujudan pemerintahan yang baik telah dikomandangkan di seluruh instansi
pemerintah sejak dicetuskannya otonomi daerah untuk memberikan pelayanan yang
baik dengan mengutamakan kepentingan masyarakat. Olehnya itu dibutuhkan peranan
pemimpin yang mampu melaksanakan dan menyelenggarakan pemerintahan dan bekerja
sama dengan para staf yang menjadi rekan kerjanya.
Perwujudan
pemerintahan yang baik (good governance) pada tingkat pemerintahan desa
merupakan salah satu harapan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya, khususnya
kebutuhan masyarakat dalam bidang administrasi dan kemampuan aparatur yang
berpendidikan, serta berpengalaman dalam pelaksanaan tugas dan tanggung
jawabnya. Desa administrasi Yainuelo merupakan level pemerintahan yang dituntut
untuk menyelenggarakan pelayanan kepada masyarakat. Upaya pemerintahan untuk
mewujudkan pemerintahan yang baik di Desa Administratif Yainuelo merupakan
bagian penting yang terus diupayakan oleh pemerintah desa, namun kondisi dan
kemampuan aparat desa membuat pemimpin harus bekerja keras dalam membina dan
mengarahkan serta memotivasi staf dan masyarakatnya.
Dwipayana,
A. S Eko 2003 Mengatakan salah satu aktualisasi nilai dan prinsip-prinsip
pemerintahan yang baik adalah Transparansi. Aparatur dan sistem manajemen
publik harus mengembangkan keterbukaan dan sistem akuntabilitas. Bersikap
terbuka dan bertanggungjawab untuk mendorong para pimpinan dan seluruh sumber
daya manusia di dalamnya berperan dalam mengamalkan dan melembagakan kode etik
dimaksud, sehingga dapat menjadikan diri mereka sebagi panutan masyarakat; dan
itu dilakukan sebagai bagian dari pelaksanaan tanggungjawab dan
pertanggungjawaban kepada masyarakat dan negara. Upaya pemberdayaan masyarakat
dan dunia usaha, peningkatan dan kemitraan, selain: memerlukan keterbukaan
birokrasi pemerintah; juga memerlukan langkah-langkah yang tegas dalam
mengurangi peraturan dan prosedur yang menghambat kreativitas mereka; memberi
kesempatan kepada masyarakat untuk dapat berperan serta dalam proses penyusunan
peraturan kebijakan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan. Pemberdayaan dan
keterbukaan akan lebih mendorong; akuntabilitas dalam pemanfaatan sumber daya,
dan adanya keputusan-keputusan pembangunan yang benar-benar diarahkan sesuai
prioritas dan kebutuhan masyarakat, serta dilakukan secara riil dan adil sesuai
aspirasi dan kepentingan masyarakat.
Untuk
mengakomodir aspirasi masyarakat yang terus berkembang serta dalam menghadapi
perubahan yang terjadi baik dalam lingkungan nasional maupun lingkungan
internasional yang secara langsung akan berpengaruh pada roda pemerintahan dan
pelaksanaan program pembangunan di negara kita, maka diperlukan adanya suatu
pemerintahan kelurahan yang tangguh dan didukung oleh sistem dan mekanisme
kerja yang profesional dalam memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat.
Pemerintahan desa harus benar-benar siap dan mampu untuk mengelola setiap
potensi yang ada dalam lingkungan masyarakat untuk dapat mewujudkan
kesejahteraan bagi rakyatnya.
Pemerintah
desa juga harus cepat dan tanggap dalam memperhatikan segala sesuatu yang
menjadi kebutuhan warga masyarakatnya. Diharapkan dengan terciptanya
pemerintahan kelurahan yang tangguh dan mandiri yang dapat memenuhi
kebutuhan-kebutuhan masyarakat dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, dan dapat mewujudkan program-program pembangunan yang terencana
secara efektif dan efisien yang pada akhirnya diharapkan dapat mewujudkan cita-cita
masyarakat yang adil dan sejahtera
Fenomena
penyelenggaraan pemerintahan yang kurang partisipatif, tidak transparan dan
tidak akuntabel menyebabkan pelayanan adminsitrasi menjadi tidak efektif, hal
ini diperburuk lagi dengan kualitas pendidikan dan keterampilan kerja aparatur pemerintahan
desa yang rendah sehingga berdampak pada upaya pencapaian pemerintahan yang
baik khusus pelayanan aparatur di Desa Yainuelo.
Pelayanan
aparatur di Desa Administratif Yainuelo berlangsung dari pukul 08.00-14.30 WIT,
namun staf desa yang bertugas, sering mangkir dari jam kerja bahkan menunda pekerjaan
yang pada akhirnya pelayanan masyarakat menjadi tidak efektif dan pelaksanaan
tugas tidak produktif. Kenyataan ini memberikan dampak terhadap upaya
perwujudan pemerintahan yang baik di Desa
Administratif Yainuelo, olehnya itu dibutuhkan adanya peningkatan peran kepala
desa dalam meningkatan kualitas dan kinerja staf sehingga tujuan yang
diharapkan dapat tercapai.
Tidak
transparansi atau keterbukaan pemerintahan administratif Desa Yainuelo dalam
membuat kebijakan-kebijakan, sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh
masyarakat. Transparansi pada akhirnya akan menciptakan horizontal
accountabilility antara pemerintah dengan masyarakat. Ini akan menciptakan
pemerintahan yang tidak efektif, efisien, akuntabel, dan responsif terhadap
aspirasi dan kepentingan masyarakat.
Fakta
yang sangat mencolok sebagai bukti masih lemahnya pemerintahan yang baik (good governance) selama ini adalah Pemerintah Desa Administratif Yainuelo disini berperan dalam perencanaan program
pembangunan didaerah harus mampu berkoordinasi dan bekerjasama dengan
masyarakat dan mampu menampung segala aspirasi masyakat, agar dapat mengetahui
apa yang menjadi kebutuhan masyarakat
Masih
banyaknya penyelewengan-penyelewenagn dalam penyelenggaraan pemerintahan di Desa
administrasi Yainuelo Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah menunjukkan
bahwa kepala desa masih belum melaksanakan prinsip-prinsip pemerintahan yang
baik. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengetahui
pelaksanaan pemerintahan yang baik pada Pemerintahan Desa Administrasi Yainuelo
Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah Untuk itu peneliti tertarik untuk
mengambil judul penelitian.
Adapun
konsep dasar yang menjadi landasan berpikir penulis dalam penelitian ini yaitu
sebagai berikut:
1.
Teori Kepemimpinan
Dalam
bahasa Indonesia “pemimpin” sering disebut penghulu, pemuka, pelopor, pembina,
panutan, pembimbing, pengurus, penggerak, ketua, kepala, penuntun, raja,
tua-tua, dan sebagainya. Sedangkan istilah Memimpin digunakan dalam konteks
hasil penggunaan peran seseorang berkaitan dengan kemampuannya mempengaruhi
orang lain dengan berbagai cara.
Istilah
pemimpin, kemimpinan, dan memimpin pada mulanya berasal dari kata dasar yang sama
“pimpin”. Namun demikian ketiganya digunakan dalam konteks yang
berbeda.Pemimpin adalah suatu lakon/peran dalam sistem tertentu; karenanya
seseorang dalam peran formal belum tentu memiliki ketrampilan kepemimpinan dan
belum tentu mampu memimpin. Istilah Kepemimpinan pada dasarnya berhubungan
dengan ketrampilan, kecakapan, dan tingkat pengaruh yang dimiliki seseorang;
oleh sebab itu kepemimpinan bisa dimiliki oleh orang yang bukan “pemimpin”.Keberhasilan
seorang pemimpin ditentukan oleh sifat-sifat, perangai atau ciri-ciri yang
dimiliki pemimpin itu.Atas dasar pemikiran tersebut timbul anggapan bahwa untuk
menjadi seorang pemimpin yang berhasil, sangat ditentukan oleh kemampuan
pribadi pemimpin.Dan kemampuan pribadi yang dimaksud adalah kualitas seseorang
dengan berbagai sifat, perangai atau ciri-ciri di dalamnya (Riswanda: 1998).
Salah
satu tugas utama dari seorang pemimpin adalah membuat keputusan.karena
keputusan yang dilakukan para pemimpin seringkali sangat berdampak kepada para
bawahan mereka jelas bahwa komponen utama dari efektifitas pemimpin adalah
kemampuan mengambil keputusan yang sangat menentukan keberhasilan yang
bersangkutan melaksanakan tugas-tugas pentingnya.pemimpin yang mampu membuat
keputusan dengan baik akan lebih efektif dlam jangka panjang dibandingkan
dengan mereka yang tidak mampu membuat keputusan dengan baik.
Salah
satu teori kepemimpinan adalah “Trait Theory” yang mengidentifikasi
karakteristik yang menentukan kepemimpinan yang baik.Karakteristik tersebut
bisa mencakup kepribadian, dominasi dan kehadiran pribadi, karisma, kepercayaan
diri, pencapaian atau prestasi, atau bisa juga kemampuan untuk memformulasikan
visi dengan jelas.Salah satu diskusi yang menarik dari teori ini adalah apakah
karakteristik seorang pemimpin tersebut bias gender, misalnya apakah pemimpin
itu harus pria, atau sebaliknya, apakah wanita bisa menjadi pemimpin.
Pertanyaan lainnya, apakah karakteristik tersebut menjamin bahwa seseorang akan
menjadi pemimpin yang baik, apakah seorang pemimpin itu sebatas membuat
perubahan saja, serta apakah pemimpin itu dilahirkan atau diciptakan.
Teori
yang kedua adalah “Behavioural Theory“ yang secara tersirat menyatakan bahwa
seorang pemimpin itu bisa dilatih, yaitu dengan memusatkan pada cara melakukan
sesuatu, misalnya tugas, pekerjaan, dan berbagai aktivitas lainnya. Dengan
penguasaan cara tersebut maka seseorang bisa mempunyai kemampuan lebih dari
orang lain. Akhirnya, orang lain pun bisa mengikuti apa yang anda lakukan.
Akhirnya orang yang mempunyai penguasaan tersebut menjadi seorang
pemimpin.Fokus itu sendiri terdiri dari dua, yaitu pemimpin fokus terhadap
kelembagaan dari pekerjaan secara terstuktur, atau membangun hubungan
(relationship) yang berfokus pada proses.Jadi bisa saja ada pemimpin yang lebih
mementingkan pekerjaan (walaupun mungkin relasi dengan bawahannya buruk), namun
ada juga pemimpin yang lebih menitikberatkan pada relasi yang baik dengan
bawahannya dibanding hasil akhir atau tujuan organisasi.Pertanyaan yang manarik
adalah, adakah pemimpin yang dapat meraih keduanya, yakni pekerjaan sukses
dibarengi dengan relasi yang harmonis dengan bawahan (Muchlas, Mahmuri:1998).
Terori
yang ketiga adalah “Contingency Theory”.Menurut teori ini, kepemimpinan bersifat
luwes atau fleksibel. Gaya kepemimpinan yang berbeda bisa diterapkan pada waktu
yang berbeda tergantung lingkungannya.Dengan demikian, kepemimpinan bukanlah
sekumpulan karakteristik yang dapat dialihkan begitu saja dalam konteks yang
berbeda. Intinya, seseorang mungkin bisa menjadi otoriter pada lingkungan
tertentu, namun berubah menjadi pemimpin yang demokratis pada lingkungan yang
lain. Sebagai contoh kasus, apakah seorang bapak rumah tangga akan mempunyai
gaya kepemimpinan yang berbeda antara di rumah atau di lingkungan rumahnya
dibandingkan ketika menjadi seorang manajer di sebuah perusahaan. Jadi gaya
kepemimpinan tersebut bisa berubah tergantung tipe bawahan, sejarah organisasi
atau bisnisnya, budaya perusahaan, kualitas hubungan, wujud perubahan yang
diinginkan, serta norma-norma yang dianut di perusahaan (Keban, T. Yeremias:1994).
2.
Teori Good Govermence/Pemerintahan Yang Baik
Istilah
“governance atau pemerintahan yang baik” menunjukkan suatu proses di
mana rakyat bisa mengatur ekonominya, institusi dan sumber-sumber sosial dan
politiknya tidak hanya dipergunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk
menciptakan kohesi, integrasi, dan untuk kesejahteraan rakyat. Dengan demikian,
bahwa kemampuan suatu negara mencapai tujuan negara sangat tergantung pada
kualitas tata kepemerintahan di mana pemerintah melakukan interaksi dengan
sektor swasta dan masyarakat (Thoha; 2000, 12).
Pemerintahan
yang baik adalah suatu kesepakatan menyangkut pengaturan negara yang diciptakan
bersama oleh pemerintah, masyarakat madani, dan swasta. Pemerintahan yang baik
juga merupakan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang
saham, pengurus (pengelola perusahaan), pihak kreditur, pemerintah, karyawan,
serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan
dengan hak-hak atau kewajiban mereka, atau dengan kata lain suatu system yang
mengatur dan mengendalikan perusahaan.
Lembaga
Administrasi Negara (2000) medefinisikan pemerintahan yang baik (good
governance) sebagai penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan
bertanggung jawab, serta efisien dan efektif dengan menjaga
“kesinergisan” interaksi yang konstruktif di antara domain-domain negara,
sector swasta dan masyarakat (society). Pada tataran ini, pemerintahan
yang baik (good governance) berorientasi pada 2 (dua) hal pokok, yakni:
Pertama, orientasi ideal negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional.
Pada tataran ini, good governance mengacu pada demokratisasi dalam kehidupan
bernegara dengan elemen-elemen konstituennya, seperti legitimacy,
accountability, scuring of human right, autonomy and devolution of power
dan assurance of civilian control; Kedua, pemerintahan yang berfungsi
secara ideal yaitu secara efektif dan efisien dalam melakukan upaya mencapai
tujuan nasional. Dalam konteks ini, good governance tergantung pada pada
sejauh mana struktur serta mekanisme politik dan administratif berfungsi secara
efektif dan efisien.
Dengan jernih Mas’oed menjelaskan, bahwa governance
merupakan kegiatan, proses atau kualitas memerintah. Bukan tentang struktur
pemerintahan, tetapi kebijakan yang dibuat dan efektivitas penerapan kebijakan.
Kebijakan bukan dibuat oleh seorang pemimpin atau satu kelompok, melainkan dari
proses konsultasi antara berbagai pihak yang terkena kebijakan.