PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Data statistik
tahun 2005 menunjukkan
bahwa 65% penduduk
indonesia tinggal di
wilayah pedesaan, dimana
35%-nya masih hidup
di wilayah terpencil.
Dari angka tersebut dapat
diperkirakan bahwa keberadaan
masyarakat di wilayah
terpencil akan memberikan kontribusi (share) yang signifikan bagi
pembangunan wilayah dalam
skop yang lebih
luas.
Keberadaan masyarakat
di wilayah terpencil
atau yang sekarang
lazim disebut dengan
istilah Komunitas Adat
Terpencil (KAT) tersebut
pada umumnya berada
pada kondisi miskin
dan tidak sejahtera,
serta jauh dari
sentuhan pembangunan dan
modernisasi. Hal tersebut
disebabkan karena lemahnya
sistem kebijakan pemerintah
dalam hal pemerataan
pembangunan.
Menurut Hamid (2010)
komunitas adat, merupakan
sebuah realitas sosial
yang terkait dengan
proses asal-usul dan
munculnya suatu komunitas
bangsa. Komunitas ini
berasal dari sejumlah
individu yang berdiam
di suatu tempat
tertentu dengan sistem
nilai (value system) tertentu pula
yang mengatur pola-pola
interaksi antar individu
anggota komunitas, sedang
interaksi dengan individu
diluar komunitas cenderung
tidak diatur dalam
sistem nilai yang
dianut.
Eksistensi
komunitass adat, termasuk
komunitas adat terpecil
selama ini cenderung
dianggap sebagai bagian
pelengkap dari masyarakat
pada umumnya. Fungsinya
lebih cenderung dijadikan
sebagai kawasan khusus
yang diperuntuhkan bagi
keperluan wisata dan
untuk penelitian-penelitian sosioantropologis. Keunikan
dan keeksotisan adat
istiadatnya hanya dieksploitasi
untuk semata tujuan-tujuan
ekonomis seraya melupakan
pemenuhan hak-haknya sebagai
komunitas yang harus
dilindungi dari pengaruh
budaya dari luar (mainstream
culture).
Sebagai sebuah
komunitas, orang-orang yang menjadi
anggota komunitas tersebut
secara individu memiliki
hak dan kewajiaban
sebagaimana warga negara
lainnya. Hak untuk
hidup, hak mendapatkan
pendidikan, hak untuk
hidup sejahtera, hak
untuk bebas dari
rasa takut dan
hak untuk mengembangkan
budayanya adalah beberapa
hak-hak yang bersifat
azasi yang mutlak
diberikan kepadanya. Keberadaannya
yang terisolasi dengan
masyarakat pada umumnya
bukanlah halangan untuk
adanya persamaan hak
dan kewajiban.
Komunitas
adat yang banyak
dikaji dan dijumpai
hampir merata pada
kelima pulau besar
di Indonesia. Beberapa
komunitas adat yang
sempat disebut disini
antara lain :
Suku Badui di
pulau Jawa, suku
Anak Dalam di
pulau Sumatera, di
pulau Kalimantan ada
suku Asmat di
pulau Irian, dan
di Sulawesi ada
komunitas Kajang.
Data yang
tersedia di Direktorat
Jenderal Pemberdayaan Sosial
Departemen Sosial RI menunjukan
bahwa populasi komunitas
adat terpencil pada
tahun 2005 tercatat
sebanyak 267.550 KK
atau berkisar 1,1
juta jiwa. Populasi
komunitas adat terpencil
ini tersebar di
27 provinsi, 211
kabupaten, 807 kecamatan,
dan 2.328 desa.
Melalui berbagai upaya,
jumlah komunitas adat
terpencil yang telah
berhasil diberdayakan hingga
tahun 2004 berjumlah
61.188 KK atau
sekitar 23 persen,
sedangkan sisanya (206.362
KK atau 77 persen)
masih dalam proses
atau belum mendapatkan
kesempatan pemberdayaan.
Fakta ini
memberikan gambaran bahwa
proporsi komunitas adat
terpencil yang belum
ditangani masih relatif
besar, sehingga berbagai
upaya masih perlu terus dilakukan.
Terlepas dari itu,
komunitas adat terpencil
menjalani kehidupan dalam
kekhasan secara sosial,
ekonomi, dan budaya,
sehingga mudah dibedakan
dengan masyarakat yang
relatif lebih maju.
Karakteristik umum yang
melekat pada mereka
seperti yang tesaji
dalam tebel 1:
Tabel 1. Karakteristik Umum
Komunitas Adat Terpencil
No
|
Karakteristik
Umum Komunitas Adat
Terpencil
|
1.
|
Peralatan teknologinya sederhana
|
2.
|
Bentuk komunitas
yang kecil, tertutup
dan homogen
|
3.
|
Terbatasnya akses
pelayanan sosial, ekonomi,
dan politik
|
4.
|
Pranata sosial
yang bertumpu pada
hubungan kekerabatan
|
5.
|
Pada umumnya
masih hidup dengan
sistem ekonomi subsisten
|
6.
|
Pada umumnya
sangat terpencil secara
geografis dan suit
dijangkau
|
7.
|
Ketergantungan pada
lingkungan hidup dan
sumber daya alam
setempat relatif tinggi
|
Sumber data,
Almisar Hamid, 2010
Karena itu,
menurut Pasetijo (2010)
dalam kebijakan pemerintah
di tahun 1999/2000,
masyarakat adat masih
disebut sebagai “masyarakat
terasing” yang membawa
masalah sosial. Namun
titik pandang melihat
masalah sosialnya yang
berbeda. Mereka dianggap
sebagai lapisan masyarakat
paling bawah dalam
strata perkembangan Indonesia.
Yang mempunyai masalah
sosial dengan berbagai
ketertinggalan dalam pencapaian
pemenuhan kebutuhan dasar
hidupnya layaknya manusia.
Dengan keadaan
ketertinggalan itu mereka
sulit untuk mencapai
standar hidup manusia
normal. Masalah sosial
masyarakat terasing ini,
juga dilihat dalam
koridor pemerataan hasil-hasil
pembangunan dan azas
keadilan untuk mewujudkan
kesejateraan bersama. Jadi
memang point of viuw-nya
berbeda dengan masa
Orde Baru sebelumnya.
Masalah sosial bukan
lagi disandarkan pada
wujud stabil/tidaknya struktur
sosial masyarakat tetapi
kepada pemenuhan standar
hidup dan keadilan
sosial.
Untuk memantapkannya/menstabilkannya maka
pemerintah membuat program-program pembangunan
untuk mereka. Agar
kehidupan mereka stabil/mantap, kehidupan
mereka disesuaikan dengan
norma-norma standart yang
berlaku dalam masyarakat
Indonesia. Seperti memeluk
agama resmi yang
diakui oleh pemerintah,
hidup di desa
dan lain sebagainya.
Fenomena serupa
juga terdapat di
Provinsi Maluku, dimana
di daerah ini
masih terdapat masyarakat
suku terasing/komunitas adat
terpencil. Dimana kurang
lebih terdapat empat
(4) komunitas adat
terpencil, yang tersebar
dari Pulau Seram
Bagian Timur, Selatan,
Seram Utara sampai
dengan Pulau Buru
bagian Utara dan
Pulau Buru bagian
selatan. Tentang empat
(4) komunitas adat
di Provinsi Maluku,
tersaji pada tabel:
Tabel 2. Masyarakat
Tertinggal di Provinsi
Maluku
No.
|
Nama Masyarakat
Terasing
|
Tempat Domesili
|
1.
|
Suku Noaulu
|
Seram Selatan
(Maluku Tengah)
|
2.
|
Suku Hoaulu
|
Seram Utara
(Maluku Tengah)
|
3.
|
Suku Batik
|
Seram Timur
(Seram Timur)
|
4.
|
Suku Bupolo
|
Buru (Buru,
Buru Selatan)
|
Sumber
data, Dinas Sosial Provinsi Maluku, 2011
Pada umumnya
kondisi masyarakat suku
terasing yang berada
di Provinsi Maluku,
tidak berbeda jauh
dengan suku-suku terasing
yang berada di
Provinsi lainnya di
tanah air, dimana
memprihatinkan. Hal ini
dikarenakan pemenuhan sosial
mereka yang mencakup
hak-hak dasar belum
terlaksana secara baik.
Faktor ini, tentu
berdampak terhadap kualitas
hidup mereka. Khusus
di Kabupaten Maluku
Tengah, yang merupakan
tempat berdomesili masyarakat
terasing “Suku Noaulu”
hidup dalam kondisi
yang memprihatinkan.
Dimana separu
dari mereka telah
puluhan tahun menetap
dikawasan pesisir, dan
separunya lagi masih
mengembara di hutan-hutan
di kawasan Pulau
Seram. Kondisi mereka
cukup memprihatinkan, dimana
masih terbalut dengan masalah-masalah sosial,
seperti : masih
tingginya angka buta
huruf, lingkungan perumahan
yang tidak layak
huni, kondisi kesehatan
yang tidak terlampau
baik, tidak memiliki
sandang yang memadai,
dan masih tergantung
dari perekonomian tradisional.
Tentang kondisi sosial
mayarakat terasing Suku
Noaulu pada Desa
Bunara Kecamatan Amahai
Kabupaten Maluku Tengah
tersaji pada tabel
3.
Tabel 3. Kondisi
Sosial Masyarakat Terasing Suku
Noaulu Pada
Negeri Sepa Kecamatan
Amahai Kabupaten Maluku Tengah
No.
|
Kondisi Sosial
Suku Noaulu
|
1.
|
Tingginya angka
buta aksara
|
2.
|
Tidak memiliki
sandang yang memadai
|
3.
|
Kondisi kesehatan
yang tidak telampau
baik
|
4.
|
Lingkungan perumahan
yang tidak layak
huni
|
5.
|
Masih tergantung
dari perekonomian tradisional
|
Sumber data,
hasil analisis peneliti,
2013
Berbagai masalah
sosial-masalah tersebut, mengindikasikan berbagai
kebijakan dari program
perberdayaan masyarakat tertinggal
“Suku Noaulu” oleh Pemerintah Kabupaten
Maluku Tengah yang
dilaksanakan langsung oleh
Dinas Sosial Kabupaten
Maluku Tengah selama
ini belum terlaksanakan
dengan baik. Atas
dasar argumentasi tersebut,
hal ini menarik
untuk dijadikan riset: “Kebijakan
Pembinaan Suku Tertinggal “Nuaulu” di Negeri Sepa Kecamatan Amahai Kabupaten
Maluku Tengah
B. Permasalah
Bertolak dari uraian narasi
dari latar belakang
penulisan diatas, maka
permasalahan pokok yang
dapat dirumuskan guna
dibahas dalam kajian
ini adalah: Bagaimana Kebijakan
Pemerintah Daerah Kabupaten
Maluku Tengah dalam
program pembinaan masyarakat tertinggal
Suku Noaulu di Dusun Bunara
Kecamatan Amahai ?
C. Tujuan dan
Kegunaan Penelitian
Adapun tujuan
dari penelitian ini
adalah :
1.
Untuk
mengetahui sejauh mana
kebijakan Pemerintah Daerah
Kabupaten Maluku Tengah
dalam program pembinaan
masyarakat tertinggal Suku
Noaulu di Kecamatan
Amahai
2.
Sebagai
bahan acuan dan
sumbangan pemikiran kepada
masyarakat didalam mengkaji
kebijakan Pemerintah Daerah
Kabupaten Maluku Tengah
dalam program pembinaan
masyarakat tertinggal Suku
Noaulu di Dusun
Bunara Kecamatan Amahai
3.
Sebagai
bahan informasi untuk
dijadikan rujukan dalam
penelitian selanjutnya
4.
Sebagai
salah satu persyaratan
dalam menyelesaikan Studi di Program
Studi Ilmu Pemerintahan
Universitas Darussalam demi
memperoleh gelar Sarjana.
BAB II
URAIAN TEORITIS
Setelah pada
bab I di paparkan
tentang pendahuluan yang
berisikan : latar belakang,
tujuan penulisan, landasan
teori, devenisi operasional
dan metodologi penelitian
dan analisis data,
maka pada Bab
II ini diuraikan
teori menyangkut : (a)
kebijakan, (b) pembinaan, dan
(c) suku tertinggal.
Untuk mengawali
suatu riset penelitian
keberadaan teori sangat
diperlukan. Pasalnya merupakan
landasan umum bagi
suatu penyelidikan. Dimana,
teori mempunyai peranan
yang vital skaligus
strategis guna menentukan
hubungan antara fenomena
sosial yang akan
diteliti. Menurut Creswell
(1993) teori adalah
serangkaian bagian atau
variabel, defenisi, dan
dalil yang saling
berhubungan yang menghadirkan
sebuah pandangan sistematis
mengenai fenomena dengan
menentukan hubungan antar
variabel, dengan maksud
menjelaskan fenomena alamiah. Untuk
memberikan pemahaman tentang
permasalahan yang diteliti,
maka teori yang
akan diteliti, maka
teori yang akan
digunakan dalam penelitian
ini yakni : teori kebijakan,
pembinaan dan suku
tertingal.
a).
Kebijakan
Dye (2010)
menyebutkan kebijakan sebagai
pilihan pemerintah untuk
melakukan atau tidak
melakukan sesuatu (whatever
government chooses to
do or not
to do). Sedangkan
menurut Heglo (2010)
kebijakan sebagai “a couruse
of action intended
to accomplish some
end,” atau sebagai
suatu tindakan yang
bermaksud untuk mencapai
tujuan tertentu.16
Senada dengan
itu, friedrich (1997)
mendefenisikan kebijakan sebagai
tindakan yang diusulkan
seseorang, kelompok, atau
pemerintah dalam suatu lingkungan
tertentu dengan menunjukan
kesulitan-kesulitan dan kemungkinan-kemungkinan usulan
kebijaksanaan tersebut dalam
rangka mencapai tujuan
tertentu.
Selanjutnya Laswel
dan Kaplan (1997)
mendefenisikan kebijakan sebagai
suatu program pencapaian
tujuan, nilai-nilai dan
tindakan-tindakan yang terarah.
Sementara itu Rae
dan Wilde (1997)
mendefenisikan kebijakan sebagai
tindakan yang dipilih
yang mempunyai arti
penting dalam memepengaruhi
sejumlah besar orang.
Berdasarkan rumusan
teori yang dipaparkan
oleh para ahli
tersebut, dapat dikatakan
bahwa, kebijakan merupakan
tindakan yang diusulkan
individu, lembaga dalam
rangka memecahkan suatu
masalah sekaligus mencapai
tujuan tertentu dari
individu atau kelompok.
Terkait dengan
itu, Silalahi (1989)
mengemukakan bahwa terdapat
semacam karakteristik dari
pembuatan kebijakan :
1.
Adanya
kenyataan bahwa kewenangan
dalam lembaga eksekutif
mempunyai struktur kirarki.
2.
Adanya
pengaru yang kuat
serta profesional yang
berbeda dengan kriteria
dalam pembuatan kebijakan.
3. Adanya kegiatan
bahwa proses kebijakan
atau kebijaksanaan dalam
birokrasi kurang memperhatikan
masyarakat (adanya rahasia).
Dari ketiga
macam karakteristik pembuatan
kebijakan tersebut, kemudian
Salisbury dan Heins
(1989) membagi kebijakan
atas empat golongan
yaitu :
1.
Corak
kebijakan membagi (distributive)
2.
Membagi kembali (redistributive)
3.
Mengatur (regulatory) dan
4.
Mengatur
sendiri (self regulatory)
Oleh karena
itu, jika kita memicau
pada empat golongan kebijakan yang disebutkan tersebut,
maka kebijakan Pemerintah
Daerah Kabupaten Maluku
Tengah Dalam Program
Pembinaan Masyarakat tertinggal
Suku Noaulu di Dusun Bunara
Kecamatan Amahai termasuk
dalam corak kebijakan
mengatur (regulatory) hasil kepada
suatu kelompok. Caiden (2001)
mengemukakan bahwa ruang
lingkup studi pemerintahan
meliputi :
1.
Adanya
partisipasi masyarakat
2.
Adanya
kerangka kerja kebijakan
3.
Adanya
strategi-strategi kebijakan
4.
Adanya
kejelasan tentang kepentingan
masyarakat
5.
Adanya
kelembagaan lebih lanjut
dari kemampuan kebijakan
pemerintah
6.
Adanya
isi kebijakan evaluasi.
Proses kebijakan
yang secara pokok
menetapkan garis-garis umum
dalam rangka memecahkan
persoalan-persoalan
masyarakat tidak bisa
dilepaskan dari lembaga-lembaga pemerintah
jika polcy ditetapkan
oleh pemerintah, maka
persoalan yang kemudian
timbul ialah bagaimana
polcy itu dilaksanakan.
Menurut Thompson
(2010) hal yang
paling kritis dalam
kebijakan pemerintah adalah
usaha untuk melaksanakan
kebijakan. Maksudnya jika
suatu kebijakan pemerintah
telah diputuskan, kebijakan
tersebut tidak berhasil
dan terwujud kalau
tidak dilaksanakan. Usaha
untuk melaksanakan kebijakan
ini membutuhkan keahlian
dan ketrampilan menguasai
persoalan yang dikerjakan.
Itulah sebabnya kedudukan
birokrasi dalam hal
ini mempunyai posisi
yang strategis.
b).
Pembinaan
Pembinaan adalah
sebuah konsep populer
dalam sistem organisasi
birokrasi di indonesia. Sering
didengar istilah konsep
aparatur negara, pembinaan
Pegawai Negeri Sipil,
pembinaan karier, pembinaan
masyarakat tertinggal, pembinaan
remaja, pembinaan masyarakat
desa, dan sebagainya.
Konsep ini dianggap
penting sebab sangat menentukan
kesinambungan tujuan pembangunan
nasional dan stabilitas
nasional.
Pembinaan dalam
bahasa asing disebut
coacing. Pembinaan
merupakan hal umum
yang digunakan untuk
mengingatkan pengetahuan, sikap,
kecakapan dibidang pendidikan,
ekonomi, sosial, kemasyarakatan dan
lainnya. Pembinaan menekankan
pada pendekatan praktis,
pengembangan sikap, kemampuan
dan kecakapan sedangkan
pendidikan lebih pada
penekanan teorotis.
Menurut Poerwadarminta (1987 : 182),
adalah yang dilakukan
secara sadar, terencana,
teratur dan terarah
untuk meningkatkan pengetahuan
sikap dan ketrampilan
subjek dengan tindakan
pengarahan dan pengawasan
untuk mencapai tujuan.
Sedangkan menurut Hardjana
(1998), menyebutkan pembinaan
adalah suatu proses
pembelajaran dengan melepaskan
hal-hal yang sudah
dimilikinya yang bertujuan
untuk membantu dan
mengembangkan kecakapan dan
pengatahuan yang sudah
ada serta mendapatkan kecakapan dan
pengetahuan untuk mencapai
tujuan hidup dan
juga kerja yang
sudah dijalani secara
efektif dan efesien.
Berdasarkan uraian
diatas, dapat dilihat
bahwasanya pembinaan terjadi
melalui proses pelepasan
hal-hal yang bersifat
menghambat dan mempelajari
pengetahuan dengan kecakapan
baru yang meningkatkan
taraf hidup dan
kerja yang lebih
baik. Menurut Widjaja
(1988) pembinaan adalah
suatu peroses atau
pengembangan yang mencakup
urutan-urutan pengertian, diawali
dengan mendirikan, menumbuhkan,
memelihara pertumbuhan tersebut
yang disertai usaha-usaha
perbaikan, menyempurnakan dan
mengembangkannya.
Senada dengan pendapat itu,
Rasyid et.all (2010)
mengatakan bahwa pembinaan
adalah segala usaha dan
kegiatan mengenai perencanaan,
pengorganisasian,
pembiayaan, koordinasi, pelaksanaan
dan pelaksanaan suatu
pekerjaan untuk mencapai
tujuan dengan hasil
yang maksimal. Untuk
menghindari biasa kepentingan
individu dengan kepentingan
organisasi, maka diperlukan pembinaan
yang bermuatan suatu
tugas, yakni meningkatkan
disiplin dan motivasi.
Sedangkan menurut
Riyanto (2004) pembinaan
adalah usaha kegiatan
yang dilakukan secara
berdaya guna dan
berhasil guna untuk
memperoleh hasil yang
lebih baik. Sementara
itu, Vibiz (2010).
Menyebutkan pembinaan adalah
seni dan praktek
inspirasi, energi dan
memfasilitasi kinerja, pembelajaran
dan pengembangan.
Pada sisi
lain Koni (1997)
menyebutkan bahwa pembinaan
berarti uasah, atau
tindakan dan kegiatan
yang dilakukan secara
berdaya guna dan
berhasil guna untuk
memperoleh hasil yang
lebih baik. Sedangkan
Tutorial (2010) menyebutkan,
pembinaan berbedah dari
konseling (yang ditujukan
untuk orang-orang yang
ingin mengatasi pengalaman
yang menyakitkan dari
masa lalu), seperti
yang difokuskan pada
visi untuk membangun
masa depan dan
bergerak maju kearah
itu.
Merujuk pada
pendefenisian diatas, jika
diinterpretasikan lebih jauh,
maka pembinaan didasarkan atas suatu
konsensus yang baku
dan memiliki sifat
berlaku untuk semua.
Pembinaan merupakan suatu
perangkat sistem yang
harus dijalankan secara
fungsional untik menjamin
bertahannya sistem tersebut
hingga mencapai tujuan
yang diharapkan. Defenisi
ini berlaku untuk
semua konsep pembinaan.
Jika dipertemukan
dengan ciri masyarakat
Indonesia yang pluralistik,
maka akan melahirkan
suatu persatuan dan
kesatuan. Konsekwensinya, semua
perbedaan hanya sebuah
simbol dan tidak
diindahkan, yang riil
dan menjadi alasan
bagi kesadaran bangsa
adalah kesatupaduan. Pertanyaan
yang harus dibayar
disini adalah, apakah
pembinaan dengan cara
dan pola yang
sama harus dipaksakan
kepada semua unsur
masyarakat tradisional maupun
medern, organisasi nonformal,
yang secara geografis,
kebudayaan dan orientasi
nilainya berbedah.
c).
Suku Tertinggal
Koentjaningrat (1993),
mengemukakan bahwa bangsa Indonesia
memiliki faktor aneka
warna bangsa yang
merupakan suatu sifat
yang sering dibanggakan.
Ungkapan yang demikian
tidak berlebihan, sebab
bangsa Indonesia memiliki
aneka ragam budaya
dan ratusan suku
yang tersebar diribuan
pulau. Setiap suku
dikenal dengan ciri
khas masing-masing, kaya
dalam tradisi dan
keindahan alamnya.
Suku tertinggal
dalam konteks Indonesia
adalah kelompok etnis
minoritas yang lemah
dan terisolasi diwilayah
tertentu karena, ketergantungan mereka
pada habitat alam
mereka dan sensitif
terhadap perubahan habitat
tersebut dan juga,
kebiasaan sosial budaya
mereka. Kelompok yang
lemah dan tidak
beruntung secara ekonomis akan
mendapat perhatian khusus
dalam proses pengambilan
keputusan forum dan
dalam strategis pengurangan
kemiskinan kabupaten, namun
mereka tidak termasuk
sebagai suku terasing.
Menurut Endah
(2010) masyarakat suku
tertinggal atau yang
sering disebut sebagai
masyarakat primitif, merupakan
kelompok mesyarakat berlevel
paling rendah. Secara
bahasa primitif (prima,
primair atau primus)
artinya pertama, satu
atau asli. Sedangkan
dalam Panduan Umum
Studi Kelayakan Persiapan
Perberdayaan KAT Tahun
2003, Depsos (1976)
menyabutkan suku tertinggal
adalah sekelompok masyarakat
dan atau suku-suku
tertentu yang dikategorikan
masih tertinggal secara
sosial budaya sehingga
belum bisa membaur
dengan masyarakat sekitarnya.
Sementara itu,
menurut Dit.BMT Depsos
(1987) suku tertinggal
adalah kelompok masyarakat
yang mendiami suatu
lokasi daerah yang
terpencil, terisolir, maupun
mereka yang hidup
mengembara dikawasan laut,
yang tingkat kesejahteraan
sosial mereka masih
sangat sederhana dan
terbelakang ditandai dengan
sangat sederhananya sistem
sosial, sistem idiologi
serta sistem teknologi
mereka belum sepenuhnya
terjangkau oleh proses
pelayanan pembangunan.
Pada sisi
lain menurut Dit
BMT, Depsos (1992)
suku tertinggal adalah
kelompok masyarakat yang
mendiami suatu lokasi
tertentu, baik yang
orbitasinya terpencil, terpencar
dan berpindah-pindah maupun
yang hidup mengembara
dikawasan laut, yang
taraf kesejahteraannya masih
mengalami ketertinggalan, ditandai
oleh adanya kesenjangan
sistem sosial, sistem
idiologi dan sistem
teknologi mereka belum
atau sedikit sekali
terintegrasi dalam proses
pembangunan nasional.
Sesuai Kepmensos
No. 5/HUK/1994 tentang
Pembinaan Kesejahteraan Sosial
Masyarakat Tertinggal (1994)
adalah keompok-kelompok masyarakat
yang bertempat tinggal
atau berkelana di
tempat-tempat yang secara
geografis terpencil, terisolasi
dan secara sosial-budaya
tertinggal dan atau masih
terbelakang dibandingkan dengan
masyarakat bangsa Indonesia
pada umumnya. Masyarakat
yang memiliki ciri-cicri
tersebut dinyatakan tertinggal
secara struktur. Oleh
sebab itu, mereka
harus dikeluarkan dari
posisi keterasingan itu
melalui pembinaan, yakni
pembinaan yang seluru
proses teknis maupun
nonteknis telah baku
dan berlaku kepada
semua jenis masyarakat
tertinggal.
Terlepas dari
itu, adapun ciri-ciri
dan sifat-sifat suku
terasing menurut Endah
(2010) yakni :
1.
Isalement/terisoasi
2.
Hidup
menggantungkan diri dengan
alam
3.
Masyarakat lebih
bersifat konservatif
4.
Kurang
diferensiasi
Sedangkan adapun sifat-sifat primitif
menurut Endah (2010),
adalah sebagai berikut :
1.
Adanya
rasa solidaritas yang
besar
2.
Uniformitas anggota
besar
3.
Hak
milik perseorangan tidak
nampak
4.
Nilai
benda diniawi mempunyai
arti megis.
BAB III
PROFIL LOKASI
PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Penelitian ini
dilaksanakan di Pulau
Seram bagian selatan,
Kabupaten Maluku Tengah.
Salah satu kecamatan
yang berada dalam
Kabupaten Maluku Tengah
adalah Kecamatan Amahai.
Penelitian ini dilakukan
pada dua negeri
yang terdapat pada
kecamatan amahai, Negeri
Sepa dan Negeri
Tamilouw. Dalam wilayah
kedua negeri tersebut,
bermukim orang-orang Nuaulu
dalam kampung tersendiri.
Lokasi penelitian tersebut
ditetapkan atas dasar
kajian empiris terhadap
masyarakat Suku Nuaulu,
terutama ritual inisiasi Pataheri dan Posuno
serta studi pembauran
antara masyarakat dengan
agama kesukuan orang
Nuaulu dengan masyarakat
beragama islam, Negeri
Sepa dan Negeri
Tamilouw.
- Asal-usul
Dalam
pemukiman orang-orang Nuaulu,
terdapat suatu tempat
yang bernama Werihulawano
(weri artinya tali, hulawano artinya emas; jadi werihulawano berarti
tali emas) yang
terletak dikepala air
Nua. Di dalamnya
berdiam suatu kelompok
masyarakat yang disebut Hu’ulo
(manusia gunung), yang bagi
orang Sepa disebut
Nuaulu. Dalam kehidupan
sehari-hari, mereka selalu
rukun dan damai,
namun pada suatu
ketika terjadi kesalahpahaman di
antara mereka, yakni
tentang tempat tinggal
mereka yang baru.
Sebagian masyarakat menginginkan
untuk mencari lokasi
baru di tepi pantai,
sedangkan yang lainnya
masih ingin tetap
tinggal di kampung
lama.
Berdasarkan kejadian
tersebut, kemudian lahir
kesepakatan masyarakat Maluku
dalam kehidupan mereka
yang biasa disebut
dengan istilah “atas bawah”.
Istilah “atas” ditujukan kepaada
masyarakat Nuaulu yang
masih tinggal di
kampung lama (daerah
pegunungan) sedangkan istilah “bawah” ditujukan kepada
masyarakat Nuaulu yang
sudah berpindah kedaerah
pesisir pantai.
Kehidupan orang
Sepa Tamilouw yang
beragama Islam dan
orang Nuaulu yang
beragama animisme menempatkan
mereka pada monodualisme (dua agama yang berbeda, tetapi
disatukan dalam budaya), sehingga dapat
melambangkan budaya yaitu “atas bawah”.
Adapun
kata Nuaulu berasal
dari kata “nua” yang berarti
Sungai Nua. Sedangkan kata “ulu” berarti “hulu”. Dengan
demikian, kata “Nuaulu” Hulu Sungai
Nua. Hal ini
disebabkan karena pemukiman
mereka berada di
hulu Sungai Nua.
Nama lain untuk
menyebut Suku Nuaulu
ini adalah Nuahatan. Kata “hatan” sendiri
berarti batang, sehingga
istilah “Nuahatan” berarti
batang air Nua.
Nama ini diberikan
oleh orang Sepa
kepada mereka sesuai
dengan tempat asalnya
dan setelah perjanjian
Paku Mamoloru disetujui.
Orang
Nuaulu, jika dilihat
dari proses kedatangannya
ke Negeri (Desa)
Sepa ini, melalui
lima tahapan, yaitu
pada awalnya adalah
dari Nua, kemudian
berpindah lagi di
suatu tempat yang
bernama Soponia, dan
kemudian berpindah lagi
ke tempat yang
baru, yaitu Salawai,
setelah itu mereka
pindah ke Aipura,
dan dari Aipura
baru mereka menuju
ke Itin Silalouw di Negeri
Sepa (Itin artinya
bekas/tanda, Sila artinya datang louw artinya kumpul,
jadi Itin Silalouw artinya bekas/tanda
datang untuk berkumpul).
Menurut
kajian etnografi yang
di kemukakan oleh
M. Saleh Patuhena, penduduk pribumi
Maluku berasal dari
Melanesia, tetapi menurut
pendapat umum masyarakat
setempat,mereka berasal dari
Alifuru yang masih
terdapat pada pulau-pulau
Seram, Halmahera, dan Buru
sekarang. Mungkin orang
Alifuru itu adalah
Proto Melayu yang
menurut Sarasin bersaudara,
mereka migrasi ke
Nusantara setelah orang-orang
Melanesia. Mereka terdesak
oleh kelompok Deotro Melayu, sehingga
mereka masuk ke
daerah pedalaman dan
membentuk kelompok-kelompok yang terpisah.
Alifuru
di Seram yang
menjadi nenek moyang
dari orang-orang pribumi
di Maluku Tengah
dan Tenggara itu,
berkeliaran di daerah
pegunungan dan hulu
dari dua sungai
besar, yaitu Sapalewa
di Utara dan
Tala di selatan pulau
itu. Dalam sebagian
kapata, disebutkan
bahwa orang Alifuru
itu pada mulanya
berkeliaran di tanah
pegunungan Nunusaku. Ketika
jumlahnya makin bertambah
sebagian di antaranya bergerak
ke arah daratan
rendah, menelusuri sungai
Sapalewa dan sungai
Tala. Orang-orang Alifuru
yang berada di
sungai Sapalewa dan
sekitarnya di sebut alone,
sedangkan mereka yang
berada di sungai
Tala dan sekitarnya
disebut wemale. Ada dugaan
kelompok alone berasal dari
utara (Sulawesi utara atau
Halmahera utara), sedangkan wemale diperkirakan
berasal dari Melanesia.
Dalam
gelombang penyebaran selanjutnya,
orang-orang Alifuru itu
menyeberang dan menghuni
pulau-pulau sekitar pulau
seram. Kelompok alone bergerak
ke timur, menghuni
daratan seram bagian
timur dan kepulauan
sekitarnya, dan pada
akhirnya sampai ke
kepulauan Kei dan
kepulauan lainnya di
Maluku Tenggara. Selain
itu, mereka bergerak
ke arah barat
sampai ke Huamual
dan sebagian di
antara mereka melalui
sungai Eti untuk
mendiami daerah sekitarnya
dan sebagian lainnya
menyeberang ke pulau
Ambon dan pulau
Haruku. Kelompok wemale mendiami
tanah daratan beberapa
meter atau kilo
meter dari pesisir,
sedangkan sebagian lainnya
menyeberang dan mendiami
pulau Saparua dan
Nusalaut. Karena dalam
memori kelektif masyarakat
dinyatakan bahwa mereka
berasal dari Alifuru
di Seram, maka
pulau asal mereka
itu di sebut
Nusa Ina (pulau ibu). Di
Maluku Utara, masyarakat
menganggap tanah asal
mereka adalah Halmahera (pulau besar).
- Geografis
Masyarakat Nuaulu
adalah suatu satuan
hidup manusia yang
mendiami empat buah
petuanan yaitu, Bunara, Hahualan, Ruhua, Yalahatan, yang berada
di bawah kekuasaan
Negeri (Desa) Sepa dan
Negeri Tamilouw di
seram selatan, dalam
wilayah Kecamatan Amahai,
Kabupaten Maluku Tengah.
Jarak
Negeri Sepa dengan
Masohi, Ibu Kota
Kabupaten Maluku Tengah
sejauh 31 km. Sedangkan
Negeri Tamilouw 41 km.
Kabupaten Maluku Tengah
merupakan salah satu
Daerah Tingkat II di
Provinsi Maluku. Secara
geografis Kabupaten Maluku
Tengah terletak di
wilayah tengah Provinsi
Maluku pada posisi
2,5o-7,5 LS dan 125o-132,50 BT .
Kecamatan Amahai
terletak pada 128o 10-129o 45 BT antara
3o 7-3o 27 LS,
dengan luas 1.290.20 km2 yang
terdapat 19 Desa,
termasuk Negeri (Desa) Sepa dan
Negeri Tamilouw.
Wilaya
Maluku Tengah berbatasan :
1. Sebelah utara
dengan Laut Seram
2. Sebelah
timur dengan perairan
Irian Jaya.
3. Sebelah selatan
dengan laut Banda.
4. Sebelah Barat
dengan laut Buru
Luas
wilayah Kabupaten Maluku
Tengah seluruhnya ±
283.931 km2 yang terdiri
atas luas laut
± 255.090 km2 dan
luas daratan ±
28.841 km2.
Suku
Nuaulu yang berada
di Negeri Sepa
bermukim pada tiga
kampung, Bunara, Hahualan, dan
Ruhua, sedangkan yang
berada di Negeri
Tamilouw bertempat tinggal
di kampung Yalahatan.
Kampung-kampung orang Nuaulu
berada dalam satuan
administrasi pemerintahan desanya
masing-masing. Di Maluku
Tengah, setiap negeri
mempunyai tanah petuanan (wilayah) yang sangat
luas. Negeri Sepa
dan Negeri Tamilouw
dengan petuanannya berdekatan
satu sama lain.
Kedua Negeri tersebut
berbatasan dengan Negeri
lain dan petianannya
sebagai berikut :
1. Sebelah utara
berbatasan dengan petuanan
Negeri Sawai.
2. Sebelah timur
berbatasan dengan petuanan
Negeri Haya.
3. Sebelah barat
berbatasan dengan petuanan
Negeri Ruta
4. Sebelah selatan
berbatasan dengan laut
Banda.
- Iklim
Iklim
di Maluku Tengah,
termasuk desa yang
di diami orang-orang Nuaulu
di seram selatan,
adalah iklim tropis
dan iklim musim,
karena daerahnya terdiri
dari beratus-ratus pulau
dan di kelilingi
oleh laut yang
luas, maka iklimnya
di pengaruhi oleh
iklim laut dan
akan berlangsung seirama
dengan iklim musim.
Di
seram selatan di
kenal dua musim
yang berlangsung silih
berganti, musim timur
berlangsung dari bulan
April sampai September
yang di tandai
dengan bertiupnya angin
timur yang membawah
banyak hujan, sedangkan
musim barat mulai
bulan Oktober hingga
Maret yang di
tandai dengan bertiupnya
angin barat dan
barat laut yang
berubah-ubah dengan curah
hujan yang relatif
sedikit. Bulan pertama
dari setiap musim,
yaitu April dan
Oktober disebut pancaroba.
Pada musim pancaroba,
keadaan laut agak
tenang karena angin
betiup sangat lemah.
Secara
administrasi jumlah kelompok
Nuaulu yang berada
dalam wilayah Negeri
Sepa dan Negeri
Tamilouw mendiami empat
kampung sebagaimana telah
dijelaskan. Jumlah penduduk
dan jumlah kepala
keluarga orang Nuaulu
di empat kampung
tersebut seperti tertera
pada tabel 5.
Tabel 5.
Jumlah kampung
(dusun) dan jiwa kelompok
masyarakat suku
Nuaulu
Nama Kampung
|
Luas Wilayah
Kampung
|
Jumlah
Penduduk
|
Jumlah KK
|
Keterangan
|
Bunara
Hahualan
Ruhua
Yalahatan
(Tamilouw)
|
100 M2
50 M2
100 M2
100 M2
|
237 jiwa
94 jiwa
556 jiwa
345 jiwa
|
52
18
104
76
|
|
Jumlah
|
350 M2
|
1232 jiwa
|
250
|
Sumber : kantor Negeri Sepa dan
Negeri Tamilouw tahun 2013
Data
dalam tabel tersebut
memperlihatkan bahwa di
Bunara satu keluarga rata-rata
5 orang, Hahualan
5 orang, Ruhua
5 orang, dan Yalahatan 4 orang. Dengan begitu, Jumlah anggota
dalam satu keluarga
rata-rata 5 orang.
Keluarga semacam ini
merupakan keluarga kecil.
Satu keluarga terdiri atas
ayah, ibu, dan
3 orang anak.
Dalam satu rumah
hanya terdapat satu keluarga.
Tampaknya, dikampung
Ruhua paling banyak
penduduk, sedangkan Hahualan paling
kurang penduduknya. Perbedaan
luas wilayah berpariasi, tiga kampung
memiliki luas wilayah
100 m2 yaitu
Kampung Bunara, Ruhua, dan
Yalahatan, sedangkan kampung
Hahualan hanya memiliki
luas wilayah 50 m2.
B. Sistem Kekerabatan
Dalam masyarakat
Nuaulu, dikenal istilah
marga. Marga adalah kelompok kekerabatan
yang meliputi orang-orang
yang mempunyai kakek bersama
atau percaya bahwa
mereka adalah keturunan
dari seseorang kakek bersama
menurut perhitungan garis
patrinial dan kebapakan. Jadi, semua orang
yang semarga adalah
orang yang mempunyai
hubungan kekerabatan melalui perkawinan.
Menurut Levi-Strauss,
bagi masyarakat primitif,
orang-orang yang berada
diluar batas kesukuannya,
tidak dianggap sebagai
umat manusia karena
orang primitif menganggap
semua orang diluar
kelompoknya sebagai orang asing,
atau justru dianggap
bukan sebagai manusia
atau hewan yang
berbahaya atau hantu.
Menurut Lowie, kekerabatan adalah
hubungan-hubungan sosial yang
terjadi antara seseorang
dengan saudara-saudaranya atau
keluarganya, baik dari jjalur
ayahnya atau ibunya.
Dengan demikian, sistem
kekerabatan adalah sebuah
keranggka interaksi antara
mereka yang merasa
mempunyai hubungan kekerabatan.
Pusat sistem kekerabatan
adalah keluarga, baik
keluarga inti yang
terdiri dari ayah,
ibu, dan anak-anak
mereka maupun keluarga
luas yang terdiri
dari keluarga inti
ditambah kakek, nenek,
paman-bibi, para sepupu, keponakan,
dan lain-lain.
Disamping itu,
menurut Radcliffe Brown, dikalangan
kebanyakan masyarakat primitif,
hubungan ssosial individu
sebagian besarnya adalah
diatur berdasarkan kekeluargaan.
Hubungan ini terjadi
dengan wujudnya pola-pola
tingkah laku tertentu
yang boleh dikatakan
tetap bagi tiap-tiap satu
jenis hubungan yang
dapat dikenal. Terdapat
pola tingkah laku
yang istimewa, misalnya
pola tingkah laku
bagi seorang anak
laki-laki terhadap bapaknya
dan adik laki-laki terhadap
abangnya. Pola-pola itu berbeda
diantara satu masyarakat
yang lain, tetapi
ada beberapa prinsip
atau kecenderungan asasi
yang terdapat dikalangan semua
masyarakat, atau dikalangan
semua masyarakat dari
jenis yang tertentu.
Iakatan kekerabatan
merupakan salah satu
pranata kemasyarakatan yang
penting. Istilah-istilah yang digunakan untuk
menunjukan relasi bagaimana
seseorang (ego) dengan orang
lain sebagai kerabatnya
dapat dilihat dari istilah-istilah yang
digunakan untuk menyapa
maupun menyebut, dari
hubungan yang dilibatkan
karena perkawinan maupun
melalui keturunan.
Sistem kekerabatn
dalam pranata sosial
masyarakat suku Nuaulu,
menempatkan marga atau fam
pada posisi penting
dalam struktur lembaga
adat Nuaulu seperti
tergambar dalam skema
di bawah ini.
Keterangan
:
a.
Matoke
(kepala adat), marga yang
bertanggung jawab kepada
semua soa (ipane) dalam
hubungannya dengan urusan
adat.
b.
Sounawe
aipura (guru),
marga yang bertanggung
jawab dalam masalah
kepercayaan bila ada
ritual-ritual inisiasi dalam
marga ini yang
sangat berperan, seperti
dalam upacara Pataheri
dan Posuno.
c.
Soumory,
marga yang bertanggung
jawab kepada tiang
tengah rumah adat baeleu (Sounawe), mementara
tiang depan di
tanggung oleh Sounawe
Aipura.
d.
Kamama, marga
yang bertanggung jawab
kepada tiang dapur baeleu
(Sounawe aipura) dan tipa
besar.
e.
Leipary
(Marinyo), marga yang
bertanggung jawab untuk
setiap adat yang
di musyawarakan harus disampaikan kepada
seluru warga, biasanya
informasi tersebut disampaikan
oleh petugas yang
biasa disebut matim.
A. Pendidikan
Pendidikan (education) merupakan
usaha sadara dan
terencana untuk mewujudkan
suasana belajar, dan
proses pembelajaran agar
peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi
dirinya, untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia,
serta ketrampilan yang
diperlukan dirinya.
Tingkat pendidikan
merupakan hal yang
vital bagi kemajuan
suatu daerah.pasalnya melalui
pendidikan akan membuat
masyarakat sukses dalam
meraih cita-cita yang
mereka inginkan. Sehingga
jalan untuk dapat
meningkatkan taraf hidup
masyarakat kearah yang
lebih baik lagi
dapat tercapai. Hal
ini didasari oleh pandangan positif
dari masyarakat bahwa,
dengan pendidikan masyarakat
akan memiliki kualifikasi
kelulusan dalam bentuk
ijazah, dimana dengan
ijazah tersebut dapat
digunakan masyarakat untuk
memperoleh pekerjaan, pada
instansi pemerintah dan
instansi awasta.
Bagi suku
Nuaulu belum memandang
penting arti pendidikan
bagi kehidupan mereka. Sehingga buta
aksara (tidak tahu membaca)
sangat tinggi. Dimana
masih menjadi problem
serius yang melilit
kehidupan sosial mereka.
Tak pelak untuk
mengembangkan hidup mereka
kearah yang lebih
baik lagi diperhadapkan
dengan problem ini. Akibatnya
mereka masuk dalam
kategori orang miskin.
Tentang jumlah fasilitas
pendidikan di Negeri Sepa
yang didiami suku
Nuaulu tersaji pada
tabel 6 :
Tabel 6. Jumlah
Fasilitas Sosial Pada Sektor Peendidikan
Yang Digunakan
Suku Nuaulu di Negeri Sepa
No
|
Sekolah
|
Jumlah
|
1.
|
Taman
kanak-kanak (TK)
|
-
|
2.
|
Sekolah Dasar (SD)
|
1
|
3.
|
Sekolah
lanjutan tingkat pertama (SLTP)
|
-
|
4.
|
Sekolah
lanjutan tingkat atas (SLTA)
|
-
|
Total
|
1
|
Sumber data, Kantor Desa Sepa, April
2013
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Setelah pada Bab
IV diuraikan
tentang aspek-aspek
yang meliputi kebijakan Pemerintah
Daerah Kabupaten Maluku
Tengah dalam program
pembinaan masyarakat terasing
Suku Nuaulu di Dusun Bunara,
Ruhua dan Hahualan
di Negeri Sepa Kecamatan Amahai, yang mencakup
; (a) Pembinaan baca tulis kepada
Suku Nuaulu di Negeri Sepa, (b) Pelayanan kesehatan kepada
Suku Nuaulu di Negeri Sepa, (c) Pemberdayaan perekonomian kepada Suku
Nuaulu
di Negeri Sepa, dan (d)
Perbaikan lingkungan perumahan Suku Nuaulu di
Negeri
Sepa. Adapun kesimpulan dan saran sebagai berikut ;
A. Kesimpulan
Dalam pembinaan baca tulis
kepada Suku Nuaulu pada Dusun
Bunara, Hahualan, dan Dusun Ruhua di Negeri
Sepa yang didiami Suku Nuaulu terungkap bahwa, Pemerintah Daerah Kabupaten
Maluku
Tengah melalui Dinas Sosial
Kabupaten Maluku Tengah bersama dengan dinas terkait tidak sering melakukan
program pembinaan baca tulis
kepada masyarakat Suku Nuaulu. Kemudian dalam pelayanan kesehatan kepada Suku Nuaulu pada Dusun
Bunara, Hahualan, dan Dusun Ruhua di Negeri Sepa yang didiami Suku Nuaulu juga tidak sering
dilakukan program pelayanan kesehatan kepada masyarakat Suku Nuaulu.
Sedangkan pemberdayaan perekonomian
kepada Suku Nuaulu pada Dusun Bunara di Negeri Sepa yang didiami Suku Nuaulu terungkap bahwa, Pemerintah Daerah Kabupaten Maluku Tengah melalui Dinas Sosial Kabupaten Maluku Tengah bersama dengan dinas terkait jarang sekali
melakukan program pemberdayaan perekonomian kepada masyarakat Suku Nuaulu di Negeri
Sepa. Adapun perbaikan
lingkungan perumahan Suku Nuaulu pada Dusun
Bunara, di Negeri Sepa yang didiami Suku Nuaulu terungkap bahwa, Pemerintah Daerah Kabupaten Maluku Tengah melalui Dinas Sosial Kabupaten Maluku
Tengah bersama dengan dinas terkait tidak sering melakukan program perbaikan lingkungan perumahan masyarakat Suku Nuaulu di Negeri Sepa.
Dengan demikian berbagai kebijakan
Pemerintah Daerah Kabupaten Maluku
Tengah melalui Dinas Sosial Kabupaten Maluku
Tengah dalam program untuk mencapai
tujuan Rencana Strategi (Renstra) kurun waktu 5 tahun (2007–2012) salah satunya yakni program
pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT) atau masyarakat terasing Suku Nuaulu pada Dusun Bunara, di Negeri Sepa Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah gagal. Hal ini
dikarenakan tidak pernah direalisasikan berbagai program pembinaan tersebut.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang disajikan pada paragraf
sebelumnya, terlihat bahwa, berbagai program pembinaan masyarakat terasing Suku Nuaulu pada Dusun Bunara, di Negeri
Sepa Kecamatan Amahai tidak direalisasikan sama sekali oleh Pemerintah
Daerah Kabupaten Maluku Tengah melalui Dinas Sosial Kabupaten Maluku Tengah.
Atas kegagalan yang dihadapi
Pemerintah Daerah Kabupaten Maluku
Tengah melalui Dinas Sosial
Kabupaten Maluku
Tengah dalam pembinaan masyarakat terasing Suku Nuaulu tersebut dapat
disarankan sebagai berikut :
Bahwa pembinaan baca tulis kepada Suku Nuaulu pada Dusun Bunara, di Negeri Sepa,
kedepan perlu direalisasikan secara rill oleh Pemerintah Daerah Kabupaten
melalui Dinas Sosial Kabupaten Maluku
Tengah beserta instansi terkait. Sehingga
mereka bisa keluar dari buta aksara sekaligus keluar dari masalah sosial yang mereka hadapi selama ini. Kemudian pelayanan
kesehatan kepada Suku Nuaulu di Dusun Bunara, di Negeri Sepa, pada waktu yang akan datang perlu
diimplementasikan secara rill oleh Pemerintah Daerah Kabupaten melalui Dinas
Sosial Kabupaten Maluku Tengah beserta instansi terkait. Sehingga memiliki
dampak yang positif bagi peningkatan kesehatan mereka sekaligus mereka bisa
keluar dari masalah sosial yang mereka hadapi selama ini.
Sedangkan pemberdayaan perekonomian
kepada Suku Nuaulu di Dusun Bunara, di Negeri Sepa, pada masa yang akan datang perlu direalisasikan secara rill oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten melalui Dinas Sosial Kabupaten Maluku Tengah beserta instansi terkait. Sehingga mereka bisa
memiliki tingkat perekonomian yang optimal guna menghidupi keluarga mereka sekaligus keluar dari masalah sosial yang mereka hadapi selama ini. Begitu-pula perbaikan lingkungan perumahan
Suku Nuaulu di Negeri Sepa, Negeri Sepa kedepan perlu secara serius diperhatikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten melalui Dinas Sosial Kabupaten Maluku Tengah beserta
instansi terkait. Sehingga mereka
bisa memiliki lingkungan perumahan yang layak sekaligus mereka bisa keluar dari masalah
sosial yang melilit mereka selama ini.