A. Latar Belakang
Hidup
adalah perbuatan”, demikianlah kata Sutrisno Bachir. Hidup itu adalah pilihan
demikian kata yang lain. Dan masih banyak lagi definisi-definisi subyektif
tentang kehidupan ini. Namun yang terpenting, bahwa hidup adalah memperjuangkan
apa yang menjadi nilai-nilai kehidupan itu sendiri. Para pahlawan menjalani
kehidupannya untuk memperjuangkan sebuah nilai kemerdekaan sejati.
Para
ilmuwan menjalani kehidupannya untuk memperjuangkan sebuah nilai kebenaran
pengetahuan dan pembelajaran. Dan masih banyak lagi contoh-contoh pemaknaan
dari kehidupan yang kesemuanya itu sebenarnya menjelaskan hakikat kehidupan itu
sendiri. Nilai-nilai kehidupan itu beraneka ragam, namun pada dasarnya ia hanya
terbagi menjadi dua bagian besar yaitu nilai kebaikan dan nilai keburukan.
Setiap individu diciptakan Tuhan bebas untuk menentukan jalan hidupnya
berdasarkan pada nilai-nilai kehidupan yang ada. Implikasinya, manusia pasti
akan mencari tahu nilai-nilai kehidupan itu, baik melewati proses internalisasi
dan pembelajaran dari pengalaman yang ia alami. Sehingga sampai ada pepatah
yang mengatakan “pengalaman adalah guru yang paling baik”.
Ketika
manusia telah mengetahui nilai-nilai kehidupannya, maka saat itulah hati
sanubarinya akan bersuara memberikan pilihan atas nilai-nilai tersebut.
Pemahaman dan penghayatan yang dilakukan akan membawanya kepada kearifan hidup
yang berujung pada munculnya sikap hidup yang sesuai dengan nilai kehidupan.
Dengan demikian, manusia akan menjadi baik manakala ia menginternalisasi
nilai-nilai kehidupan yang baik. Sebaliknya, manusia akan menjadi buruk ketika
ia menginternalisasi nilai-nilai kehidupan yang buruk. Maka dari itu, dalam
makalah ini akan kami bahas mengenai perkembangan nilai, moral dan sikap
manusia. Pembahasan ini meliputi definisi; karakteristik; faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan dan upaya pengembangan nilai, moral dan sikap; dan
upaya pengembangannya.
Pendidikan
adalah cermin kepribadian bangsa, hal ini tentunya esensial dengan amanat UU No
20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan
nasional adalah “menciptakan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Yuhan
Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan
menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Tapi apa yang
terjadi pada penerapannya sistem pendidikan pada saat ini yang lebih
berorientasi pada pengembangan kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan
emosional (EQ) saja, dimensi kecerdasan yang lain seperti kecerdasan spiritual
(SQ) di marginalkan. Padahal, Kecerdasan Intelektual (IQ) dan Kecerdasan
Emosional (EQ) sudah kita pahami pengertiannya serta bagaiamana keduanya
apabila bersinergi. Namun apabila kedua kecerdasan terebut tidak disinergikan
dengan SQ maka bisa berakibat fatal. SQ sendiri bukanlah menjadi “ahli petapa”,
duduk termenung dan diam menikmati indahnya spiritualitas.
Seseorang
bisa saja sukses dengan mempunyai kecerdasan IQ dan SQ, seorang penipu atau
yang lebih popular saat ini adalah para koruptor, tentunya dia harus cerdas dan
jago bersrategi, untuk itu diperlukan IQ. Sementara untuk uji “timing” dalam
pelaksanaan strategi, bernegosiasi, berkomunikasi, dan mampu merebut hati orang
agar mau di ajak berspekulasi dan berkompromi dengannya di perlukanlah EQ.
semangat juang tinggi, mereka selalu tampak prima dan percaya diri namun niat
dan ahklaknya sangat buruk, itulah bentuk IQ, EQ bila tidak memiliki SQ.
Bahkan
menurut sebuah penelitian, kunci terbesar seseorang adalah dalam EQ yang
dijiwai dengan SQ. Banyak orang yang di PHK bukan karna tidak mampu melakukan
pekerjaan dengan baik, bukan karna tidak mampu mengoprasikan sesuatu dan bukan
karna tidak mampu berkomunikasi dengan baik namun karna mereka tidak memiliki
intergritas, tidak jujur, tidak bertangung jawab dan tidak amanah pada pekerjaanya.
Itu karena mereka tidak mempunyai keseimbangan dalam tiga kecerdasan IQ , EQ,
dan SQ. Ketiga kecerdasan ini, terutama Kecerdasan Spiritual (SQ) harus di
sinergikan dengan kondisi pendidikan pada saat ini sehingga kepribadian peserta
didik dapat terbentuk dengan baik.
B. Perkembangan Spiritual Peserta Didik
Spiritual
adalah suatu ragam konsep kesadaran individu akan makna hidup, yang
memungkinkan individu berpikir secara kontekstual dan transformatif sehingga
kita merasa sebagai satu pribadi yang utuh secara intelektual, emosional, dan
spiritual. Kecerdasan spiritual merupakan sumber dari kebijaksanaan dan
kesadaran akan nilai dan makna hidup, serta memungkinkan secara kreatif
menemukan dan mengembangkan nilai-nilai dan makna baru dalam kehidupan individu.
Kecerdasan spiritual juga mampu menumbuhkan kesadaran bahwa manusia memiliki
kebebasan untuk mengembangkan diri secara bertanggung jawab dan mampu memiliki
wawasan mengenai kehidupan serta memungkinkan menciptakan secara kreatif
karya-karya baru.
Sedangkan
ingersol dalam Desmita menyatakan, spiritualitas sebagai wujud karakter
spiritual, kualitas atau sifat dasar dan upaya dalam berhubungan atau bersatu
dengan tuhan. Sehingga dapat diartikan bahwa, kecerdasan spiritual sebagai
bagian dari psikologi memandang bahwa seseorang yang beragama belum tentu
memiliki kecerdasan spiritual. Namun sebaliknya, bisa jadi seseorang yang
humanis-non-agamis memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi, sehingga sikap
hidupnya inklusif, setuju dalam perbedaan (agreeindisagreement), dan penuh
toleran. Hal itu menunjukkan bahwa makna "spirituality" (keruhanian)
disini tidak selalu berarti agama atau bertuhan. Sehingga dari
kuti-kutipandiatas penulis memilih judul proses perkembangan moral dan
spiritual peserta didik karena, proses merupakan suatu hal yang sangat penting,
dimana sangat menentukan hasil atau mencapai puncak dan akhirnya.
C. Makna Perkembangan Spiritual Peserta
Didik Echoks
dan Shadily dalam Desmiata berpendapat bahwa, kata spiritual berasal dari
bahasa Inggris yaitu ”spirituality”. Kata dasarnya “spirit” yang berarti roh,
jiwa, semangat. Sedangkan Ingersoll dalam Desmiata berpendapat bahwa, kata
spiritual berasal dari kata latin “spiritus” yang berarti, luas atau dalam
(breath), keteguhan hati atau keyakinan (caorage), energy atau semangat
(vigor), dan kehidupan.
Kata sifat
spiritual berasal dari kata latinspiritualis yang berarti ”of the spirit”
(kerohanian) Menurut Aliah dan purwakaniahasan dalam Desmita menyatakan
spiritualitas memiliki ruang lingkup dan makna pribadi yang luas, dengan kata
kunci sebagai berikut : a. Meaning(makna). Makna merupakan sesuatu yang
signifikan dalam kehidupan manusia, merasakan situasi, memiliki dan mengarah
pada suatu tujuan. b. Values (nilai-nilai). Nilai-nilai adalah kepercayaan,
standar dan etika yang dihargai. c. Transcendence (transendensensi).
Transendensi merupakan pengalaman, kesadaran dan penghargaan terhadap dimensi
transendental bagi kehidupan di atas diri seseorang. d. connecting
(bersambung). Bersambung adalah meningkatkan kesadaran terhadap hubungan dengan
diri sendiri, orang lain, tuhan dan alam. e. Becoming (menjadi). Menjadi adalah
membuka kehidupan yang menuntut refleksi dan pengalaman, termasuk siapa
seseorang dan bagai mana seseorang mengetahui.
Dari kutipan
diatas dapat diartikan bahwa perkembangan spiritual adalah jiwa seorang manusia
memiliki semangat dan memiliki kepercayaan yang dalam terhadap diiri sendiri,
orang lain, tuhan dan alam, yang terjadi karena pengalaman dan kesadaran dalam
kehidupan diatas diri seseorang. Sedangkan pendapat Fowler dalam Desmita
(2009:279) menyebut spiritual atau kepercayaan suatu yang universal, ciri dari
seluruh hidup, tindakan pengertian diri semua manusia, entah mereka menyatakan
diri sebagai manusia yang percaya dan orang yang berkeagamaan atau sebagai
orang yang tidak percaya sebagai apapun.
D. Kecerdasan Spiritual Pada Peserta Didik
Kecerdasan spiritual
dibutuhkan oleh setiap individu dalam menjalani kehidupan, termasuk anak-anak
dan remaja. Kecerdasan spritual merupakan inti yang dapat menggerakan
kecerdasan lainnya. Kecerdasan
spiritual merepresentasikan motif dasar individu dalam pencarian makna sebagai
makhluk. Stephen Covey mengungkapkan bahwa
“Spiritual
Intelligence is the central and most fundamental of all the intelligence
because it becomes the source of guidance of the other three. Spiritual
intelligence represents our drive for meaning and connection with infinite”.
Pendapat
tersebut menegaskan bahwa kecerdasan spiritual merupakan jembatan yang menghubungkan,
menyeimbangkan perkembangan dimensi-dimensi kecerdasan lain yang secara fitrah
telah diberikan oleh Yang Maha Pencipta. Selain itu Danah Zohar dan Ian
Marshall mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk
menghadapai persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk
menempatkan prilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan
kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih
bermakna dibandingkan dengan yang lain. Dalam ESQ, kecerdasan spiritual adalah
kemampuan untuk memberikan makna spiritual terhadap pemikiran, prilaku dan
kegiatan, serta mampu menyinergikan IQ, EQ, dan SQ dengan komperhensif. Oleh
karena itu, setiap individu perlu mengembangkan dan meningkatkan kualitas
kecerdasan spiritual sebagai salah satu kecakapan hidup yang harus dimiliki.
Perkembangan
spiritualitas merupakan proses yang bersifat kontinum dan dinamis,
spiritualitas dalam konteks perkembangan anak merupakan proses perkembangan
kesadaran mengenai hakikat dan keberadaan diri, orang lain dan lingkungan,
serta seluruh alam semesta.
Konsep
interkoneksi tiga kompenen dari Search-Institute (2008) menjelaskan bahwa
konsep perkembangan spiritual anak merupakan proses yang bersifat konstan namun
sekaligus proses dinamis yang berkesinambungan. Artinya, setiap orang pasti
mengalami proses perkembangan spiritual, akan tetapi berbeda dalam proses dan
pencapaiannya, hal tersebut akan dipengaruhi oleh interkoneksi ketiga komponen
utama dari perkembangan spiritual, yaitu:
1)
Kesadaran,
2)
Perasaan saling memiliki dan terhubung satu dengan yang lain, dan
3)
Pandangan dan cara hidup.
Ketiga
komponen tersebut akan saling terhubung dalam proses perkembangan spritual
anak, akan tetapi perkembangan tiga komponen tersebut akan sangat dipengaruhi
oleh lingkungan dimana individu tumbuh dan berkembang.
Komponen kesadaran merupakan keadaan dimana individu menjadi lebih
peka terhadap keberadaan dirinya, orang lain, dan keseluruhan ciptaan, sebagai
wujud dari pencapaian identitas, makna, dan tujuan hidup sebagai makhluk.
Komponen rasa saling memiliki dan merasa saling
terhubung, adalah sikap untuk selalu mencari, menerima, atau terbuka
terhadap pengalaman yang berhubungan dengan interaksi dengan sesama yang
mengembangkan kesadaran saling membutuhkan antar sesama manusia, serta
kesadaran saling membutuhkan dengan unsur kehidupan lainya, seperti alam,
masyarakat, nilai, dan makhluk hidup lainnya, dari perkembangan komponen ini
akan mengantarkan pada kesadaran akan kekuatan Sang Maha Pencipta, yang akan
memperteguh keyakinan yang akan diwariskan dari waktu kewaktu. Komponen pandangan dan cara hidup,
merupakan cara individu mengekspresikan jati diri, hasrat, nilai, pengembangan
hubungan dengan sesama, aktivitas-aktivitas yang dipilih untuk membentuk diri
sendiri, keluarga, komunitas, masyarakat, dan dunia yang lebih luas, serta
pandangan hidup dan pengorbanan.
Berbagai
paparan konsep mengenai spiritualitas di atas dapat dipahami bahwa
spiritualitas merupakan kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu yang
diperlukan dalam menjalani proses kehidupan. Dalam hal ini, Spiritualitas juga
memiliki dampak positif terhadap kehidupan remaja, berdasarkan penelitian.
Peneliti telah menemukan bahwa berbagai aspek agama terkait dengan hasil yang
positif bagi remaja.
Agama juga
memiliki peran dalam kesehatan remaja dan masalah prilaku mereka Kebanyakan
remaja yang religious menerapkan pesan kasih sayang dan kepedulian terhadap
sesama. Spiritualitas dalam konteks perkembangan anak merupakan proses
perkembangan kesadaran mengenai hakikat dan keberadaan diri, orang lain dan
lingkungan, serta seluruh alam semesta. Perkembangan spiritualitas juga
ditandai dengan kemampuan untuk menjalin hubungan dengan sesama, dan
mengembangkan hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa atau kekuatan yang berada di
luar dirinya. Spiritualitas juga membantu anak untuk bisa mengekspresikan
identitas diri, nilai-nilai dalam proses menjalin hubungan dengan sesama.
Dalam kecerdasan spiritual yang
dialami peserta didik juga, kita dapat melihat satu persatu tanda-tanda dari SQ
yang telah berkembang dengan baik mencakup hal-hal berikut untuk menguji SQ
peserta didik
a)
Kemampuan bersikap fleksibel (adaptif secara spontan dan aktif).
b)
Tingkat kesadaran diri yang tinggi.
c)
Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan.
d)
Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai.
e)
Kemampaun untuk menghadapi melampaui rasa sakit.
f)
Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu.
g)
Kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal.
h) Kecenderungan nyata
untuk bertanya “mengapa” atau “bagaimana jika” untuk mencari
jawaban-jawaban yang mendasar.
i) Menjadi
apa yang disebut oleh para psikolog sebagai bidang mandiri yaitu memiliki
kemudahan untuk bekerja melawan konvensi.
Melalui
penggunaan kecerdasan spiritual peserta didik secara utuh terlatih dan melalui
kejujuran dan keberanian diri yang dibutuhkan bagi pelatih semacam itu,
kita dapat terhubung kembali dengan sumber dan makna terdalam dalam diri
peserta didik, peserta didik dapat menggunakan perhubungan itu untuk
mencapai tujuan dan proses yang jauh lebih luas.
Perkembangan
kecerdasan spiritual akan erat kaitannya dengan perkembangan spiritual, perkembangan
penghayatan keagamaan, dan perkembangan keyakinan, serta berbagai aspek
perkembangan lainnya.
Hal ini
senada dengan penjelasan Abin Syamsuddin yang menyatakan bahwa
perkembangan perilaku keagamaan dalam satu paket dengan perkembangan perilaku
sosial dan moralitas. Bahkan, dijelaskan bahwa perkembangan penghayatan
keagamaan sejalan dengan perkembangan moralitas dan erat kaitannya dengan
perkembangan intelektual, emosional, dan volisional (konatif).
Hal ini dimungkinkan karena secara potensial (fitriah) manusia adalah makhluk
sosial (zoon politicon) dan makhluk beragama.
Kecerdasan
spiritual berkembang bersama fungsi-fungsi kehalusan perasaan (afektif)
disertai kejernihan akal budi (kognitif). Kedua fungsi tersebut mendorong
individu untuk mengalami, mempercayai, bahkan meyakini dan menerima tanpa
keraguan tentang adanya kekuatan yang Mahaagung yang melebihi apapun termasuk
dirinya. Proses inilah yang disebut penghayatan keagamaan atau disebut juga
pengalaman religi (the religious experiences).
Perkembangan
pengahayatan keagamaan dalam sudut pandang Brigtman (Abin Syamsuddin, merupakan
pengakuan atas keberadaan (the excistence of great power) dan
mengakui-Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur yang eternal (abadi) yang
mengatur tata hidup manusia dan alam semesta raya ini.
Pendapat
tersebut di atas, menegaskan bahwa perkembangan kecerdasan spiritual sejalan
dengan aspek perkembangan lainnya, antara lain perkembangan kognitif, emosi,
moral, dan penghayatan keagamaan. Hyde (Hood, Jr. et.al, 2009:
77) memaparkan bahwa untuk mengkaji perkembangan spiritualitas dan penghayatan
keagamaan harus juga mengkaji perkembangan kognitif, “The study of
religion in childhood and adolescence has been dominated for thirty years by
investigations of the process by which religious thinking develops”.
Gagasan ini didasarkan pada asumsi bahwa perkembangan penghayatan keagamaan
berhubungan dengan kemampuan individu mencerna dan memaknai informasi, yang
menjadi ranah perkembangan kognitif.
Mempertegas
konsep perkembangan penghayatan keagamaan, Abin Syamsuddin (2007: 109)
menjelaskan bahwa secara kualitatif, karakteristik perkembangan penghayatan
keagamaan masa anak sekolah, yaitu rentang 7-8 tahun sampai 11-12 tahun,
ditandai dengan.
1.
Sikap keagamaan bersifat reseptif disertai dengan
pengertan;
2.
Pandangan dan paham ketuhanan diperolehnya secara
rasional berdasarkan kaidah-kaidah logika yang berpedoman pada indikator alam
semesta sebagai manifestasi dari keagungan-Nya;
3.
Penghayatan secara rohaniah semakin mendalam,
pelaksanaan kegiatan ritual diterimanya sebagai keharusan moral.
Terkait
dengan hal ini menjelaskan dengan lebih ekstrim“Although Piaget is no longer
held on a pedestal, his influence remains considerable. For many, it is hard to
think of religious development in other than cognitive terms”. Sekalipun
teori perkembangan kognitif dari Piaget dikembang dengan landasan yang kurang
kuat, akan tetapi pengaruhnya sangat besar terhadap perkembangan kognitif dan
aspek lainnya, bahkan untuk beberapa alasan, agak sulit mengkaji perkembangan
penghayatan keagamaan tanpa menggunakan kajian perkembangan kognitif.
Salah satu
teori perkembangan spiritual yang dikembangkan berdasarkan pada teori Piaget
digagas oleh Fowler, James W.F (Aliah,
2006:297), teori perkembangan spiritual dalam konteks teori perkembangan Fowler
dikenal dengan faith development, dipandang sebagai inti dari
perkembangan kecerdasan spiritual. Teori Fowler menjelaskan bahwa sepanjang
rentang kehidupan manusia, keimanan sebagai orientasi
holistik yang menunjukkan adanya hubungan antara individu dengan alam semesta
akan mengalami tahap perkembangan (stages of faith development).
Fowler
mengkategorikan perkembangan spiritual menjadi beberapa tahapan, anak usia
sekolah dasar akan berada pada tiga tahap (rentang) usia perkembangan keimanan,
yaitu 0-7 tahun, 7-11 tahun, dan 11-20 tahun. Pada setahun awal usia anak
sekolah dasar, yaitu di usia tujuh tahun masih dikategorikan dalam tahap
praoperasional. Pada tahap ini kepercayaan (keimanan) masih bersifat
intuitif-proyektif. Ciri karakteristik keimanan masih menganggap khayalan
sebagai realitas. Berkaitan dengan hakikat kebenaran, anak pada usia ini akan
konsekuen terhadap dirinya sendiri, namun masih memperbandingkan antara sikap
percaya dan tidak percaya.
Pada usia
tujuh sampai sebelas tahun, yaitu usia yang dianggap murni pada rentang sekolah
dasar, dikategorikan dalam tahap pra sampai konkrit operasional. Pada tahap ini
kepercayaan (keimanan) bersifat Mythical-Literal.
Karakteristik keimanan merupakan hasil penerjemahaman kisah agama secara
literal. Berkaitan dengan hakikat kebenaran, anak pada usia ini meyakininya
dalam wujud keadilan.
Adapun pada
dua tahun terakhir usia sekolah dasar, yaitu usia sebelas sampai dengan tiga
belas tahun, dikategorikan pada rentang sebelas sampai dengan dua puluh tahun,
yaitu pada tahap formal operasional dan moralitas
konvensional. Pada tahap ini, kepercayaan (keimanan) sudah bersifat
sintetik-konvensional. Biasanya, karakteristik keimanan individu diwujudkan
dalam bentuk kepatuhan terhadap kepercayaan orang lain. Kebenaran ada pada apa
yang dikatakan orang lain.
Dalam hal
ini, peserta didik dapat menjadikan SQ pedoman saat peserta didik berada
diujung masalah eksistensial yang paling menantang dalam hidup berada diluar
yang diharapkan dan dikenal, di luar aturan-aturan yang telah diberikan,
melampaui pengalaman masa lalu, dan melampaui sesuatu yang kitahadapi. SQ
memungkinkan memungkinkan untuk menyatukan hal-hal yang bersifat
intrapersonal dan interpersonal serta menjembatani kesenjangan antara diri
sendiri dan orang lain. Dan peserta didik biasanya menggunakan kecerdasan
spiritual saat:
a.
Siswa selaku peserta didik behadapan dengan masalah
eksistensial seperti saat siswa merasa terpuruk, khawatir, dan masalah masa
lalu akibat penyakitdan kesedihan. SQ menjadikan siswa sadar bahwa siswa
mempunyai masalah eksistensial yang membuat siswa mampu mengatasinya, atau
setidak-tidaknya siswa dapat berdamai dengan masalah tersebut, SQ memberikan
siswa rasa yang dalam menyangkut perjuangan hidup.
b.
Siswa menggunkannya untuk menjadi kreatif, siswa
menghadirkannya ketika ingin menjadi luwes, berwawasan luas, atau spontan
secara kreatif.
c.
Siswa dapat menggunakan SQ untuk menjadi cerdas secara
spiritual dalam beragama, SQ membawa siswa kejantung segala sesuatu, kekesatuan
di balik perbedaan, ke potensi di balik ekspresi nyata.
d.
Siswa menggunakan SQ untuk mencapai perkembangan diri
yang lebih utuh karena siswa memiliki potensi untuk itu.
e.
Kecerdasan spiritual memberi siswa suatu rasa yang
dapat menyangkut perjuangan hidup.
E. Karakteristik
Perkembangan Spiritual
Karakteristik
perkembangan spiritualitas anak usia sekolah Tahap mythic-literalfaith, yang
dimulai usia 7-11 tahun. Menurut Fowler dalam desmita, berpendapat bahwa tahap
ini, sesuai dengan tahap perkembangan kognitifnya, anak mulai berfikir secara
logis dan mengatur dunia dengan kategori -kategori baru. Pada tahap ini anak
secara sistematis mulai mengambil makna dari tradisi masyarakatnya, dan secara
khusus menemukan koherensi serta makna pada bentuk-bentuk naratif. Sebagai anak
yang tengah berada dalam tahap pemikiran operasional konkret, maka anak usia
sekolah dasar akan memahami segala sesuatu yang abstrak dengan interpretasi
secara konkret.
Hal ini juga
berpengaruh terhadap pemahaman mengenai konsep-konsep keagamaan. Dengan
demikian, gagasan-gagasan keagamaan yang bersifat abstrak yang tadinya dipahami
secara konkret, seperti tuhan itu satu,tuhan itu amat dekat, tuhan ada di
mana-mana, mulai dapat di pahami secara abstrak.
Karakteristik perkembangan spiritualitas
remaja Dibandingkan dengan masa awal anak-anak misalnya keyakinan agama remaja
telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Kalau pada awal masa anak-anak
ketika mereka baru memiliki kemampuan berfikir simbolik Tuhan dibayangkan sebagai
person yang berada di awan, maka pada masa remaja mereka mungkin berusaha
mencari sebuah konsep yang lebih mendalam tentang Tuhan dan eksistensi.
Perkembangan pemahaman terhadap keyakinan agama sangat dipengaruhi oleh
perkembangan kognitifnya. Oleh sebab itu, meskipun pada masa awal anak-anak ia
telah diajarkan agama oleh orang tua mereka, namun karena pada masa remaja
mereka mengalami kemajuan dalam perkembangan kognitifnya.
Mungkin
mereka mempertanyakan tentang kebenaran keyakinan agama mereka sendiri. Menurut
Muhammad Idrus dalam Desmita pola kepercayaan yang dibangun remaja bersifat
konvensional, sebab secara kognitif, efektif dan sosial, remaja mulai
menyesuaikan diri dengan orang lain yang berarti baginya (significantothers) dan
dengan mayoritas lainya.
F. Perkembangan Spiritual Terhadap Pendidikan
Untuk
mengembangkan spiritual, pendidikan sekolah formal yang di tuntut untuk
membantu peserta didik dalam mengembangkan spiritual mereka, sehingga mereka
dapat menjadi manusia yang religius. Sejatinya pendidikan tidak boleh
menghasilkan manusia bermental benalu dalam masyarakat, yakni lulusan
pendidikan formal yang hanya menggantungkan hidup pada pekerjaan formal semata.
Pendidikan selayaknya menanamkan kemandirian, kerja keras dan kreatifitas yang
dapat membekali manusianya agar bisa survaydan berguna dalam masyarakat.
Strategi
yang mungkin dilakukan guru di sekolah dalam membantu perkembangan spiritual
peserta didik yaitu sebagai berikut:
a.
Memberikan pendidikan keagamaan melalui kurikulum
tersembunyi, yakni menjadi sekolah sebagai atmosfer agama secara keseluruhan.
b.
Menjadikan wahana yang kondusif bagi peserta didik
untuk menghayati agamanya, tidak hanya sekedar bersifat teoritis, tetapi
penghayatan yang benar-benar dikontruksi dari pengalaman keberagamaan.
c.
Membantu peserta didik mengembangkan rasa ketuhanan
melalui pendekatan spiritual paranting,seperti:
1.
Memupuk hubungan sadar anak dengan tuhan melalui doa
setiap hari.
2.
Menanyakan
kepada anak bagaimana tuhan terlibat dalam aktivitasnya sehari-hari.
3.
Memberikan kesadaran kepada anak bahwa tuhan akan
membimbing kita apabila kita meminta.
4.
Menyuruh anak merenungkan bahwa tuhan itu ada dalam
jiwa mereka dengan cara menjelaskan bahwa mereka tidak dapat melihat diri
mereka tumbuh atau mendengar darah mereka mengalir, tetapi tahu bahwa semua itu
sungguh-sungguh terjadi sekalipun mereka tidak melihat apapun.
G. Proses
Perkembangan Spiritual Peserta Didik
Teori Fowler
dalam Desmita mengusulkan tahap perkembangan spiritual dan keyakinan dapat
berkembang hanya dalam lingkup perkembangan intelektual dan emosional yang
dicapai oleh seseorang. Dan ketujuh tahap perkembangan agama itu adalah:
1.
Tahap prima faith. Tahap kepercayaan ini terjadi pada
usia 0-2 tahun yang ditandai dengan rasa percaya dan setia anak pada
pengasuhnya. Kepercayaan ini tumbuh dari pengalaman relasi mutual. Berupa
saling memberi dan menerima yang diritualisasikan dalam interaksi antara anak
dan pengasuhnya.
2.
Tahap intuitive-projective, yang berlangsung antara
usia 2-7 tahun. pada tahap ini kepercayaan anak bersifat peniruan, karena
kepercayaan yang dimilikinya masih merupakan gabungan hasil pengajaran dan
contoh-contoh signitif dari orang dewasa, anak kemudian berhasil merangsang,
membentuk, menyalurkan dan mengarahkan perhatian sepontan serta gambaran
intuitif dan proyektifnya pada ilahi.
3.
Tahap mythic-literalfaith, Dimulai dari usia 7-11
tahun. pada tahap ini, sesuai dengan tahap kongnitifnya, anak secara sistematis
mulai mengambil makna dari tradisi masyarakatnya. Gambaran tentang tuhan
diibaratkan sebagai seorang pribadi, orangtua atau penguasa, yang bertindak
dengan sikap memerhatikan secara konsekuen, tegas dan jika perlu tegas.
4.
Tahap synthetic-conventionalfaith, yang terjadi pada
usia 12-akhir masa remaja atau awal masa dewasa. Kepercayaan remaja pada tahap
ini ditandai dengan kesadaran tentang simbolisme dan memiliki lebih dari satu
cara untuk mengetahui kebenaran. Sistem kepercayaan remaja mencerminkan pola
kepercayaan masyarakat pada umumnya, namun kesadaran kritisnya sesuai dengan
tahap operasional formal, sehingga menjadikan remaja melakukan kritik atas
ajaran-ajaran yang diberikan oleh lembaga keagamaan resmi kepadanya. Pada tahap
ini, remaja juga mulai mencapai pengalaman bersatu dengan yang transenden
melalui simbol dan upacara keagamaan yang dianggap sakral. Simbol-simbol
identik kedalaman arti itu sendiri. Allah dipandang sebagai “pribadi lain” yang
berperan penting dalam kehidupan mereka. Lebih dari itu, Allah dipandang
sebagai sahabat yang paling intim, yang tanpa syarat. Selanjutnya muncul
pengakuan bahwa allah lebih dekat dengan dirinya sendiri. Kesadaran ini
kemudian memunculkan pengakuan rasa komitmen dalam diri remaja terhadap sang
khalik
5.
Tahap individuative- reflectivefaith, yang terjadi
pada usia 19 tahun atau pada masa dewasa awal, pada tahap in8i mulai muncul
sintesis kepercayaan dan tanggung jawab individual terhadap kepercayaan
tersebut. Pengalaman personal pada tahap ini memainkan peranan penting dalam
kepercayaan seseorang. Menurut Fowler dalam Desmita (2009:280) pada tahap ini
ditandai dengan:
a.
Adanya kesadaran terhadap relativitas pandangan dunia
yang diberikan orang lain, individu mengambil jarak kritis terhadap asumsi-asumsi
sistem nilai terdahulu.
b.
Mengabaikan kepercayaan terhadap otoritas eksternal
dengan munculnya “ego eksekutif” sebagai tanggung jawab dalam memilih antara
prioritas dan komitmen yang akan membantunya membentuk identitas diri.
6.
Tahap Conjunctive-faith, disebut juga
paradoxical-consolidationfaith, yang dimulai pada usia 30 tahun sampai masa
dewasa akhir. Tahap ini ditandai dengan perasaan terintegrasi dengan
simbol-simbol, ritual-ritual dan keyakinan agama. Dalam tahap ini seseorang
juga lebih terbuka terhadap pandangan-pandangan yang paradoks dan bertentangan,
yang berasal dari kesadaran akan keterbatasan dan pembatasan seseorang.
7.
Tahap universalizing faith, yang berkembang pada usia
lanjut. Perkembangan agama pada masa ini ditandai dengan munculnya sistem
kepercayaan transcidental untuk mencapai perasaan ketuhanan, serta adanya
desentralisasi diri dan pengosongan diri. Peristiwa-peristiwa konflik tidak
selamanya dipandangan sebagai paradoks, sebaliknya, pada tahap ini orang mulai
berusaha mencari kebenaran universal. Dalam proses pencarian kebenaran ini,
seseorang akan menerima banyak kebenaran dari banyak titik pandang yang berbeda
serta berusaha menyelaraskan perspektifnya sendiri dengan perspektif orang lain
yang masuk dalam jangkauan universal yang paling tua.
H. Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Perkembangan Spiritual
a.
Pembawaan (internal) Setiap manusia yang lahir, baik
yang masih primitif, bersahaja, maupun yang sudah modern, baik yang lahir di
Negara komunis maupun kapitalis, baik dari orang tua yang saleh maupun yang
jahat, menurut fitrah kejadiannya mempunyai potensi beragama atau keimanan
kepada Tuhan atau percaya adanya kekuatan di luar dirinya yang mengatur yang
mengatur hidup dan kehidupan alam semesta. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia
memiliki fitrah untuk mempercayai suatu zat yang mempunyai kekuatan baik
memberikan sesuatu yang bermanfaat maupun yang mudhorot (mencelakakan). Dalam
perkembangannya, fitrah beragama ini ada yang berjalan secara alamiah dan ada
yang mendapat bimbingan dari rasul dan Allah SWT, sehingga fitrah itu
berkembang sesuai kehendak Allah SWT.
b.
Lingkungan (eksternal) Fitrah beragama merupakan
potensi yang mempunyai kecenderungan untuk berkembang. Namun perkembangan itu
tidak akan terjadi manakala tidak ada faktor luar yang memberikan stimulus yang
memungkinkan fitrah itu berkembang sebaik-baiknya. · Keluarga Keluarga
merupakan lingkungan yang pertama dan utama bagi anak aleh karena itu kedudukan
keluarga dalam pengembangan kepribadian anak sangatlah dominan. Dalam
mengembangkan fitrah beragama, ada beberapa hal yang perlu menjadi kepedulian orang
tua, sebagai berikut :
1.
Sebaiknya orang tua memiliki kepribadian yang baik
atau berakhlakulkarimah. Kepribadian orang tua merupakan unsur- unsur pendidikan
yang tidak langsung memberikan pengaruh terhadap perkembangan fitrah beragama
anak.
2.
Orang tua hendaknya memperlakukan anak dengan baik
3.
Orang tua hendaknya membina hubungan yang harmonis
antara anggota keluarganya
4.
Orang tua hendaknya membimbing, mengajarkan, atau
melatihkan ajaran perkembangan kepribadian agama terhadap anaknya · Sekolah
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang mempunyai program yang
sistematik dalam melaksanakan bimbingan, pengajaran dan latihan kepada anak
(siswa) agar mereka berkembang sesuai dengan potensinya. Menurut Hurlock
pengaruh sekolah terhadap perkembangan kepribadian anak sangat besar, karena
sekolah merupakan substitusi dari keluarga dan guru-guru substitusi dari orang
tua. Dalam upaya mengembangkan fitrah beragama para siswa, sekolah terutama
guru agama mempunyai peranan yang sangat penting dalam mengembangkan wawasan
pemahaman, pembiasaan pengamalan ibadah atau akhlak mulia, maka guru agama
hendaklah memiliki karakteristik sebagai berikut :
1.
Kepribadian yang mantap, seperti jujur, bertanggung
jawab, komitmen terhadap tugas, disiplin dalam bekerja dan respek terhadap
siswa
2.
Menguasai disiplin ilmu terutama bidang yang akan
diajarkan, minimal materi yang terkandung dalam kurikulum
3.
Memahami ilmu-ilmu lain yang relevan untuk menunjang
kemampuannya dalam mengelola proses belajar mengajar.
4.
Masyarakat Implikasi Tugas Perkembangan Remaja dalam
Penyelenggaraan Pendidikan 1. Tugas-tugas perkembangan remaja 2. Tugas
perkembangan merupakan suatu tugas yang muncul pada suatu periode tertentu
dalam rentang kehidupan manusia, apabila tugas itu dapat berhasil dituntaskan
akan membawa kebahagiaan dan kesuksesan dalam menuntaskan tugas berikutnya,
sementara apabila gagal maka akan menyebabkan ketidakbahagiaan pada diri
individu yang bersangkutan, menimbulkan penolakan masyarakat, dan menimbulkan
kesulitan dalam menuntaskan tugas-tugas berikutnya. 3. Tugas perkembangan
berkaitan dengan sikap, perilaku dan keterampilan yang seyogyanya dimiliki oleh
individu Munculnya tugas-tugas perkembangan bersumber pada faktor-faktor : 1.
Kematangan fisik, misalnya, belajar berjalan karena kematangan otot-otot kaki,
belajar bertingkah laku dan bergaul sesama jenis atau dengan lain jenis karena
kematangan organ-organ seksual 2. Tuntutan masyarakat secara kultural, misalnya
belajar membaca, belajar menulis, belajar berhitung, belajar berorganisasi 3.
Tuntutan dari dorongan dan cita-cita individu sendiri, misalnya memilih
pekerjaan, memilih teman hidup 4. Tuntutan norma agama, misalnya taat beribadah
kepada Allah, berbuat baik kepada sesama manusia.
I. Pengaruh Kecerdasan
Emosi dan Spiritual Dalam Perkembangan Pribadi Pserta Didik
Daniel Goleman adalah
salah seorag yang mempopulerkan jenis kecerdasan manusia lainnya yang dianggap
sebagai faktor penting yang dapat mempengaruhi terhadap prestasi seseorang,
yaki kecerdasan emosional, yang kemudian kita mengenalnya dengan sebulan
emosional Quotient (EQ). Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merujuk
pada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain,
kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik
pada diri sendiri dan dalam hubungan dnegan orang lain.
Dalam bukunya, Ary
Ginanjar Agustian menyebutkan dimensi spiritual (SQ) dibentuk oleh ihsan (perilaku
baik), dimensi mental (EQ) dibangun oleh 6 prinsip rukun iman (the principle
of faith). Sedangkan aktifitas fisik dibimbing, diarahkan dan dikendalikan
oleh 5 langkah rukun Islam (the principle of Islam). Ketika formula yang
disampaikan oleh Ary Ginanjar diaplikasikan dalam perkembangan pribadi sosial
pada anak, tentunya sangat berpengaruh positif. Konsep 6 rukun iman dan 5 rukun
Islam adalah sebuah metode yang mengajarkan sebuah tanggung jawab moral dan
sosial pada kehidupan pribadi dan sosial anak dimana awal perkembangan pribadi
sosial anak bergantung pada sistematika kepribadian secara terstruktur dengan
pola-pola yang sekiranya memberikan dampak positif pada perkembangannya.
Emosional lebih
dominan dalam mengatur dan menangani perasaan yang bermuatan emosi. Antara EQ
dan SQ sangat menpunyai peranan penting dalam pengembangan maupun perkembangan
pribadi dan sosial pada anak, karena hal itu merupakan satu kesatuan yang
mengatur pola sikap “bagaimana” anak seharusnya menghadapi dirinya sendiri
(aspek pribadi) dan juga menghadapi orang lain (aspek sosial).
Keterkaitan antara
kecerdasan emosional dan spiritual (ESQ) tidak dapat dilepaskan dalam kehidupan
pribadi dan sosial anak, Muhibbin Syah memberikan pandangannya tentang
keterkaitan tersebut bahwa perilaku moral pada umumnya merupakan unsur
fundamental dalam bertingkah laku sosial. Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan merumuskan
beberapa tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek
pribadi-sosial salah satunya adalah memiliki komitmen yang kuat dalam
mengamalkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, pergaulan dengan teman sebaya,
sekolah, tempat kerja, maupun masyarakat pada umumnya. Maka dalam hal ini
tentulah kcerdasan emosional dan spiritual (ESQ) mempunyai sumbangsih kepada
perkembangan pribadi sosial pada anak antara lain:
1.
Memberi
kesadaran agar bersikap rendah hati.
2.
Memberi
keyakinan terhadap sosok yang diagungkan sehingga bisa mengilhami untuk menjadi
pribadi yang baik dalam kehidupan pribadi sosial.
3.
Memberi motivasi
untuk selalu
mengatur, mengendalikan serta mengontrol emosi negatif agar perkembangan tetap
seimbang.
4.
Memberi
langkah-langkah sikap yang patut untuk mengembangkan pribadi dan
sosial yang sesuai dengan yang dikehendaki.
K. Faktor
yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi dan Spiritual dalam Perkembangan Pribadi
Sosial Pada Anak
1. Kecerdasan Emosional
Kecerdasan
emosional merupakan sebuah domain dari trait. Kecerdasan emosional di pengaruhi
beberapa faktor, baik faktor yang bersifat pribadi, sosial ataupun gabungan
beberapa faktor. Terdapat banyak faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan
emosioal.
Dibawah ini
diberikan dua teori penyebab/faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional
berdasarkan teori Goleman dan Agustin.
Menurut
Goleman terdapat dua faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional, yaitu:
Faktor internal
Faktor internal merupakan faktor yang timbul dari
dalam diri individu yang dipengaruhi oleh keadaan otak emosional seseorang.
Otak emosional dipengaruhi oleh amygdala, neokorteks, sistem limbik, lobus
prrefrontal dan hal-hal yang berada pada otak emosional.
Faktor Eksternal
Faktor eksternal, merupakan faktor yang datang dari
luar individu dan mempengaruhi atau mengubah sikap pengaruh luar yang bersifat
individu dapat secara perorangan, secara kelompok, antara individu dipengaruhi
kelompok atau sebaliknya, juga dapat bersifat tidak langsung yaitu melalui
perantara misalnya media massa baik cetak maupun elektronik serta informasi
yang canggih lewat jasa satelit.
Sedangkan
menurut Agustian faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional, yaitu:
Faktor psikologis
Faktor psikologis merupakan faktor yang berasal dari
dalam diri individu. Faktor internal ini akan membantu individu dalam
mengelola, mengontrol, mengendalikan dan mengkoordinasikan keadaan emosi agar
termanifestasi dalam perilaku secara efektif. Menurut Goleman (2007) kecerdasan
emosi erat kaitannya dengan keadaan otak emosional.
Bagian otak yang mengurusi emosi adalah sistem limbik.
Sistem limbik terletak jauh dalam hemisfer otak besar dan terutama bertanggung
jawab atas pengaturan emosi dan impuls. Peningkatan kecerdasan emosi secara
fisiologis dapat dilakukan dengan puasa. Puasa tidak hanya mengendalikan
dorongan fisiologis manusia, namun juga mampu mengendalikan kekuasaan impuls
emosi. Puasa yang dimaksud salah satunya yaitu puasa sunah Senin Kamis.
Faktor pelatihan emosi
Kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang akan
menciptakan kebiasaan, dan kebiasaan rutin tersebut akan menghasilkan
pengalaman yang berujung pada pembentukan nilai (value). Reaksi emosional
apabila diulang-ulang pun akan berkembang menjadi suatu kebiasaan. Pengendalian
diri tidak muncul begitu saja tanpa dilatih. Melalui puasa sunah Senin Kamis,
dorongan, keinginan, maupun reaksi emosional yang negatif dilatih agar tidak
dilampiaskan begitu saja sehingga mampu menjaga tujuan dari puasa itu sendiri.
Kejernihan hati yang terbentuk melalui puasa sunah Senin Kamis akan
menghadirkan suara hati yang jernih sebagai landasan penting bagi pembangunan
kecerdasan emosi.
Faktor pendidikan
Pendidikan dapat menjadi salah satu sarana belajar
individu untuk mengembangkan kecerdasan emosi. Individu mulai dikenalkan dengan
berbagai bentuk emosi dan bagaimana mengelolanya melalui pendidikan. Pendidikan
tidak hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga di lingkungan keluarga dan
masyarakat. Sistem pendidikan di sekolah tidak boleh hanya menekankan pada
kecerdasan akademik saja, memisahkan kehidupan dunia dan akhirat, serta
menjadikan ajaran agama sebagai ritual saja. Pelaksanaan puasa sunah Senin
Kamis yang berulang-ulang dapat membentuk pengalaman keagamaan yang memunculkan
kecerdasan emosi. Puasa sunah Senin Kamis mampu mendidik individu untuk
memiliki kejujuran, komitmen, visi, kreativitas, ketahanan mental,
kebijaksanaan, keadilan, kepercayaan, peguasaan diri atau sinergi, sebagai
bagian dari pondasi kecerdasan emosi.
2.
Kecerdasan Spiritual
Menurut Syamsu Yusuf (2002: h.136) ada beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi perkembangan keadaan spiritual anak, yaitu faktor
pembawaan (internal) dan lingkungan (ekstrnal) adapaun penjelasannya yaitu:
Faktor Pembawaan (internal)
Secara hakiki perbedaan manusia dengan binatang adalah
manusia mempunyai fitrah beragama. Oleh sebab itu manusia disebut juga dengan
homo religius. Fitrah beragama ni tidak memilih kapan manusia tersebut itu
berada dan dilahirkan. Dari zaman yang masih primitif sampai modern, setiap
anak yang lahir dari rahim orangtua yang baik ataupun jahat, bahwasanya secara
kodrati setiap manusia memiliki kepercayaan terhadap sesuatu yang berada di
luar kekuasaannya yang memiliki kekuatan untuk mengatur kehidupan alam semesta.
Dalam masyarakat primitif sering kita jumpai melalui
bukti-bukti peninggalan prasejarah. Adanya kepercayaan terhadap roh-roh
gaibyang dapat memberikan kebaikan atau kejahatan. Semua hal tersebut
diperlihatkan melalui pemberian saji-sajian (bahasa sunda sesajen) yang dibuat
untuk mengusir ataupun meminta tolong kepada roh-roh yang mereka percayai.
Selain itu benda-benda yang dianggap keramat, seperti keris, atau batu juga
seringkali mereka percayai sebagai benda yang memiliki kekuatan-kekuatan yang
dapt mendatangkan kebaikan bagi dirinya sendiri. Tidak heran jika mereka
mengeramatkannya. Bahkan, dikalangan mesyarakat modern pun masih ada yang
percaya terhadp hal-hal yang bersifat takhayul tersebut. Melihat kenyataan di
atas maka tidak bisa dipungkiri bahwa setiap manusia yang lahir telah memiliki
kepercayaan terhadap suatu zat yang mempunyai kekuatan untuk mendatangkan
kebaikan ataupun kemudhoratan (mencelakakan).
Faktor Lingkungan (eksternal)
Fitrah beragam merupakan salah satu potensi yang
memiliki kecenderungan untuk berkembang ke arah yang lebih baik lagi. Namun
potensi tersebut tidak akan berkembang manakala tidak ada faktor luar
(eksternal) yang turut serta mewarnai pertumbuhan dan perkembangan setiap
individu. Jika kita menginginkan potensi beragama setiap anak berkembang ke
arah yang lebih baik, tentu kita harus dapat menkondisikan situasi dan
lingkungan yang ada disekitar mengarah kepada hal tersebut untuk mencapai
tujuan yang diinginkan. Disini lingkungan yang dimaksud menurut Syamsu Yusuf
yaitu, keluarga, sekolah, dan masyarakat. Adanya keserasian antara keluarga,
sekolah, dan masyarakat akan dapat memberikan dampak positif bagi anak,
termasuk dalam pembentukan jiwa keagamaan dalam diri anak. Adapun penjelasana
dari masing-masing lingkungan adalah sebagai berikut :
1. Lingkungan keluarga
Keluarga merupakan lingkungan yang pertama dan utama
bagi setiap anak. Tentunya dalam hal ini orangtua menjadi orang yang paling
bertanggungjawabdalam menumbuhkembangkan kecerdasan beragam pada anak. Para
orangtua dibebankan tanggungjawab untuk membimbing potensi keagamaan anak
sehingga diharapkan akan terbentuk kesadaran beragama (religious consciousness)
dan pengalaman agama (religious experience) dalam diri anak-anak secara nyata
dan benar. Anak-anak diberi bimbingan sehingga mereka tahu kepada siapa mereka
harus tunduk dan bagaimana tatacara sebagai bentuk pernyataan dan sikap tunduk
tersebut. Tentunya pembentukan jiwa keagamaan ini haruslah dimulai sejak anak
dalam kandungan sampai ia lahir.
2. Lingkungan Sekolah
Lingkungan sekolah merupakan lingkungan kedua bagi
anak setelah keluarga. Karena hampir setengah hari anak menghabiskan waktunya
bersama teman dan gurunya di sekolah. Tentunya segala sesuatu yang ada di
sekolah akan menjadi model bagi anak untuk ditiru. Seperti yang diungkapkan
Hurlock(1959: h.561) bahwa pengaruh sekolah terhadap perkembangan kepribadian
anak sangat besar, karena sekolah merupakan subtitusi dari keluarga dan
guru-guru subtitusi dari orangtua.
Hal ini menggambarkan bahwa guru merupakan orangtua
kedua bagi anak-anak. Peran guru di sekolah memberikan kontribusi yang sangat
besar bagi seluruh perkembangan anak, baik kognitif, sosial, emosi maupun
afektif. Sayangnya masih banyak sekolah yang lebih menitikberatkan perkembangan
anak secara akademik dengan mengukur kecerdasan setiap anak melalui deretan
angka sebagai salah satu ukuran perbandingan antara anak yang satu dengan yang
lainnya.
Tentunya hal tersebut harus dijadikan bahan pemikiran
bagi seluruh guru sebagai penanggungjawab pendidikan bagi anak untuk tetap
menggali seluruh potensi dan kecerdasan anak sesuai dengan tahapan
perkembangannya. Karena sekolah adalah lembaga pendidikan formal yang mempunyai
program sistemik dalam melaksanakan pengajaran, bimbingan dan latihan kepada
anak agar mereka berkembang sesuai dengan potensinya.
Dalam kaitan mengembangkan fitrah keagamaan dalam diri
anak, maka gur waji memberikan keteladanan dan perkataan, sikap maupun
perbuatan yang baik serta cara berpakaian yang sesuai dengan ajaran agama Islam
dalam kehidupan sehari-hari. Semua itu akan lebih efektif jika semua guru dan
staf di sekolah dapat merefleksikanya melaui pembiasaan yang dimulai dari diri
sendiri. Selain itu diperlukan juga guru agama yang memiliki kepribadian yang
mantap (akhlak mulia), menguasai disiplin ilmu agama islam, dan memahami
ilmu-ilmu yang lain yang menunjang kemampuannya dalam mengelola proses belajar
mengajar. Namun bukan berarti pengembangan kecerdasan beragama hanyalah menjadi
tanggungjawab guru agama saja. Melainkan juga menjadi tanggungjawab guru bidang
studi laing dengan cara tetap menyisipkan nilai-nilai agama dalam seluruh
proses belajar mengajar setiap hari.
3. Lingkungan Masyarakat.
Selain faktor keluarga dan sekolah, lingkungan
masyarakat jua turut mempengaruhi perkembangan kecerdasan beragama pada anak.
Lingkunan masyarakat yang dimaksud meliputi lingkungan rumah sekitar anak
sebagai tempat bermain, televisi, serta mediacetak seperti buku cerita maupun
komik yang paling banyak digemari oleh anak-anakusia dini. Menurut syamsu Yusuf
lingkungan masyarakat adalah situasi atau kondisi interaksi sosial dn
sosiokultural yang secara potensial berpengaruh terhadap perkembangan fitrah
beragama atau kesadaran beragama individu. Dalam msayarakt akan terbentuk suatu
perilaku yang dominan pada setiap individu karena adanya interaksi sosialyang
terjadi antara teman sebaya maupun dengan anggota masyarakat lainnya. Pada diri
anak akan muncul perilaku baik ataupun tidak baik tergantung seberapa besar
lingkungan sekitarna mempengaruhi dalam pergaulan sehari-hari. Karena pada
dasarnya anak cepat sekaliterpengaruh oleh hal-hal yang ia lihat, dengar dan
rasakan.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Hurlock yang
mengemukakan bahwa standar atau aturan-aturan ‘gang’ (kelompok bermain)
memberikan pengaruh kepada pandangan moral dan tingkah laku para anggotanya”.
Disini dapat dikemukankan bahwa kualitas perkembangan kesadaran beragama bagi
anak sangat bergantung pada kualitas perilaku atau pribadi orang dewasa atau
warga masyarakat. Jika anak sering bergaul dengan lingkungan yang kurang baik,
maka bukan tidak mungkin anak akan berperilaku sama dengan apa yang ia lihat
dan dengar dalam kehidupan sehari-harinya.
Selain
manusia sebagai faktor yang mempengaruhi perkembangan beragama anak, media
cetak dan televisi juga turut serta memberikan andil besar dalam mewarnai
pertumbuhan anak dalam lingkungannya.